Oleh: Dian Rosdiana
CCPHI I www.ccphi.com
Indonesia masih menghadapi tantangan dalam hal pengendalian malaria. Pada 2017, tercatat hampir 262 ribu kasus malaria di Indonesia. Dampak dari penyakit malaria adalah menurunkan produktivitas kerja karena hampir 66 persen malaria diderita oleh kelompok usia kerja bahkan diperkirakan lebih dari 150.000 hari kerja hilang akibat penyakit Malaria. Kita bekerja keras untuk mencapai target Indonesia bebas dari malaria pada 2030.
Status bebas dari malaria merupakan kondisi tidak ada lagi penularan di satu wilayah geografis tertentu. Menurut catatan Kementerian Kesehatan (2018), pada jumlah kasus malaria tahun 2017, 90 persennya berasal dari Papua, Papua Barat, dan NTT. Itu berarti, sekitar 73,7 juta penduduk Indonesia hidup di daerah endemis malaria. Oleh karena itu, pengendalian malaria di tiga provinsi tersebut menjadi kunci untuk pencapaian target eliminasi malaria nasional pada 2030.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terus mengampanyekan cara-cara konkret yang bisa dilakukan masyarakat untuk mencegah malaria. Agar lebih populer dan mudah diingat, Kemenkes membuat formula ABC.
Pertama (A), awasi dan perhatikan faktor risiko, cara penularan, cara pencegahan, masa inkubasi, gejala, dan tanda malaria. Kedua (B), biasakan menghindari gigitan nyamuk selama di daerah endemis dengan menggunakan kelambu saat tidur. Jika terpaksa keluar, disarankan untuk menggunakan baju panjang dan terang serta memakai losion antinyamuk. Ketiga (C), cek darah jika ada gejala demam selama berada atau sekembalinya dari daerah endemis.
Kelambu dengan insektisida
Nyamuk anopheles yang menyebarkan malaria menggigit manusia pada malam hari. Oleh karena itu, orang-orang di daerah endemis harus mencegahnya dengan memasang kelambu yang sebelumnya sudah dicelup ke dalam insektisida. Dengan ini, nyamuk tidak bisa menggigit karena terhalang. Selain itu, nyamuk yang menempel di kelambu juga mati.

Kelambu yang sudah dicelup ke insektisida dapat bertahan sampai tiga tahun. Sejak 2004 hingga 2017, jumlah total kelambu yang didistribusikan Kemenkes untuk seluruh Indonesia sebanyak 27,6 juta kelambu.
Inisiatif dan peran aktif warga untuk mencegah penyebaran malaria juga sangat diperlukan. Ada beberapa kelompok masyarakat yang sudah melakukan bermacam cara untuk tujuan ini. Warga Kabupaten Asmat, Papua, misalnya. Mereka menyebar ikan pemakan jentik di parit, melakukan penyemprotan dinding rumah untuk mengusir nyamuk, serta membuat parit dengan tingkat ketinggian berbeda agar air mengalir dan jentik nyamuk tersapu.
Pentingnya kemitraan
Upaya pengendalian malaria juga dilakukan secara kolaboratif lewat kemitraan-kemitraan lokal. Di Kabupaten Mimika, Papua, sejak 2013 terdapat kemitraan berlapis untuk menjalankan program pengendalian malaria dengan lebih strategis.
Tingkat pertama kemitraan melibatkan PT Freeport Indonesia (PTFI) dan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme Kamoro (LPMAK). PTFI membentuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) LPMAK pada 2002 untuk mengelola Dana Kemitraan bagi Pengembangan Masyarakat miliknya di dalam wilayah kegiatan PTFI dan sekitarnya. Tingkat kedua adalah antara LPMAK dan dua LSM bidang kesehatan, yaitu Persekutuan Pelayanan Kristen untuk Kesehatan di Indonesia (PELKESI) dan Yayasan Caritas Timika Papua (YCTP). Di sini, LPMAK berfungsi sebagai donor maupun sumber dukungan teknis bagi LSM kesehatan tersebut sejak tahun 2013.
LPMAK melalui biro kesehatannya mendukung PELKESI, dan YCTP melaksanakan program dengan cara terpadu khusus kepada masyarakat. Kegiatan utama program terdiri atas pendidikan bagi masyarakat tentang pencegahan malaria, penyemprotan dengan cara indoor residual spraying (IRS), pembagian kelambu, serta survei tes darah pada siswa-siswa guna memantau penyebaran malaria dan pengobatan kasus malaria.
Selain itu, LPMAK melatih tim YCTP tentang cara melakukan penyemprotan IRS, cara melakukan analisis tes darah, serta cara melakukan pengendalian vektor dan jentik. PELKESI membantu masyarakat membangun pos persediaan obat-obatan di desa serta melatih relawan malaria dari penduduk desa. YCTP membagikan ribuan kelambu dengan memprioritaskan keluarga dengan ibu hamil dan anak balita.
Sebagai lapis kedua kemitraan, PTFI membentuk Community Healht Department (CHD) yang bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Mimika untuk meningkatkan kualitas pelayanan Malaria.
Bersama petugas Dinas Kesehatan (Dinkes) Mimika, CHD berupaya melakukan penguatan sejumlah puskesmas dan meningkatkan sistem rujukan dari puskesmas ke rumah sakit. CHD/PTFI juga melakukan kerja sama erat dengan Litbang Kementerian Kesehatan dan Menzies School of Health Research untuk meneliti kekebalan terhadap obat-obatan anti malaria maupun kemanjuran terapi kombinasi berbasis artemisinin (ACT). Tim CHD juga membantu Puskesmas Timika mengintegrasikan layanan laboratorium klinis, ahli mikroskop malaria CHD memeriksa 13.510 film darah dan mendiagnosis 4.983 kasus malaria, masing-masing mewakili penurunan 54 persen dan 60 persen, dibandingkan tahun 2017. Untuk mematuhi peraturan dan standar pemerintah, semua mikroskopis CHD malaria dilatih dan disertifikasi ulang melebihi standar akreditasi WHO untuk tingkat ahli.
Program sosial terkait kesehatan dari PTFI terus berlanjut. Community Health Development PTFI mengoperasikan sejumlah program kesehatan, dan pengendalian malaria menjadi bagian dari program utamanya. Pada 2018, bersama-sama dengan Timika Malaria Control Program (TMCP) melakukan penyemprotan di 37.094 rumah, dengan rata-rata 713 rumah per minggu (jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, 700 rumah). Pembagian massal kelambu dengan insektisida telah dilakukan pada 2014 dan 2017. Prevalensi malaria di area jangkauan TMCP juga terus menurun, dari 8,5 persen pada 2017 menjadi 5,4 persen pada 2018.
Kemitraan, seperti sudah dituangkan dalam Sustainable Development Goals, menjadi cara yang berkelanjutan untuk mencapai tujuan. Semoga ini dapat memberikan kontribusi untuk target Indonesia bebas dari malaria pada 2030. [*]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 18 April 2019.