Hasil riset berjudul “Predicted Growth in Plastic Waste Exceeds Efforts to Mitigate Plastic Pollution” yang terbit di jurnal Science pada September lalu memperkirakan terdapat 19 hingga 23 juta metrik ton sampah plastik yang dihasilkan secara global pada 2016 memasuki ekosistem perairan. Bila tidak ditangani serius oleh negara-negara di dunia, diprediksi pada 2030 akan terdapat 53 juta metrik ton sampah plastik yang mencemari ekosistem perairan.
Indonesia yang aktif di dalam Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) tentu telah memiliki berbagai cara penanggulangan sampah plastik. Bahkan, Indonesia berpotensi menjadi pilot country program Nuclear Technology for Controlling Plastic Pollution (NUTEC Plastic) yang memfasilitasi pemanfaatan teknologi nuklir untuk pengelolaan dan daur ulang limbah plastik.
Program yang ditargetkan akan dimulai pada 2021 ini diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi negara ini dalam penerapan teknologi inovatif pengolahan plastik. Selain itu, program yang terintegrasi dengan program nasional penanggulangan limbah plastik diharapkan dapat membantu pencapaian target pengurangan limbah plastik, baik secara nasional maupun regional.
Terkait dengan regulasi, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Namun, Guru Besar Bidang Pencemaran dan Toksikologi Laut Universitas Hasanuddin, Makassar, Akbar Tahir, menilai, perundangan ini belum dijalankan dengan baik. Dari sisi alokasi anggaran penanganan dan pengelolaan sampah juga dinilai minim (Kompas, 19 September 2020).
Akbar juga menjelaskan, masalah sampah sulit dihadapi karena negara ini dihadapkan pada kesadaran dan tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah. “Prasarana pengelolaan sampah juga masih belum memadai dan ditambah dengan minimnya anggaran,” tegasnya.
Peraturan gubernur
DKI Jakarta, sebagai ibu kota negara, telah memiliki berbagai langkah dalam menekan polusi sampah plastik sekaligus menyukseskan program NUTEC Plastic dan regulasi tentang pengelolaan sampah. Salah satu upaya yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta adalah mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan dan Pasar Rakyat, yang diterapkan mulai 1 Juli lalu.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI Jakarta Andono Warih mengapresiasi komitmen seluruh pasar tradisional di Ibu Kota yang berada di bawah naungan Perumda Pasar Jaya dalam menerapkan kebijakan bebas kantong plastik keresek sekali pakai tersebut. Dikatakan pula bahwa upaya tersebut merupakan bentuk sinergitas antara pemerintah daerah, pelaku usaha, dan konsumen sebagai penentu keberhasilan penerapan kebijakan penggunaan kantong belanja ramah lingkungan.
Budi daya “maggot”
Selain menerapkan kebijakan bebas kantong plastik keresek sekali pakai, Pemprov DKI Jakarta, melalui Dinas LH Provinsi DKI Jakarta, juga melakukan langkah lain dalam mengelola sampah, dalam hal ini sampah organik, di antaranya melalui budi daya maggot, yakni larva yang dapat mengubah material organik menjadi biomassanya.
“Dinas LH saat ini sedang mengembangkan pengolahan sampah organik dapur dengan teknologi biokonversi Black Soldier Flies, maggot. Melalui teknik ini, sampah organik, khususnya yang dari dapur bisa kita konversikan menjadi protein dalam bentuk pupa dari Black Soldier Flies. Pupa ini akan bisa kita gunakan selanjutnya untuk pakan ternak, unggas, maupun ikan,” ujar Andono.
Sejumlah kelompok masyarakat telah memulai budi daya tersebut, di antaranya pesantren yang terletak di Jakarta Timur. Langkah tersebut mendapat apresiasi Dinas LH Provinsi DKI Jakarta. Dengan membudi daya maggot, reduksi sampah organik di pesantren tersebut dapat mencapai 400 kilogram dalam sehari. Para santri juga menggunakan maggot sebagai pakan ternak mereka, seperti ikan dan ayam.
“Mari warga Jakarta, kita bersama-sama mengurangi sampah organik dengan menggunakan Maggot Black Soldier Flies. Dengan demikian, sampah di Jakarta akan bisa berkurang sangat signifikan,” ajak Andono.