Pengetahuan pertama seseorang belajar hukum akan berhadapan dengan dua persoalan dasar dari hukum, yaitu apa itu hukum (what the law is) yang kemudian melahirkan adagium “No Suchen die Juristen eine definition du ichrem begrief von recht”, dan dari mana hukum itu berasal (where it come from). Tampaknya kedua pertanyaan itu dijawab oleh John Austin dengan satu pernyataan Command of the Sovereign. Hukum adalah perintah penguasa, sekaligus penguasa sebagai asalnya hukum. Dari berbagai literatur yang terbaca, pandangan John Austin ini lebih merupakan rekaman praktik kekuasaan menciptakan hukum sesuai kebutuhannya. L’Etat Cest Moi Raja Louis Ke-XIV di Perancis, adalah bentuk konkret command of sovereign, tanpa memperhatikan apakah hukum itu baik, bermanfaat, sekaligus diterima oleh masyarakat atau tidak.
Karena demikian, perlu dipahami dengan benar kata sovereign yang secara harfiah diterjemahkan sebagai kedaulatan yang berarti kekuasaan tertinggi. Dalam lapangan ilmu hukum tata negara, kedaulatan terbagi ke dalam: kedaulatan Tuhan (God sovereignty); kedaulatan raja (king sovereignty); kedaulatan negara (state sovereignty); kedaulatan hukum (law sovereignty); dan kedaulatan rakyat (people sovereignty). Dari kelima macam kedaulatan itu, kedaulatan rakyat atau demokrasi yang banyak dianut negara di dunia dan berpadu dengan kedaulatan negara dan kedaulatan hukum. Ajaran ini memberi makna bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan yang dapat dialihkan pemegangnya kepada penguasa yang dipilih rakyat secara demokratis, dengan tugas melaksanakan kedaulatan sesuai dengan kehendak rakyat.
Meski demikian, dalam praktik masih ada, bahkan banyak negara menjalankannya bertentangan dengan kedaulatan rakyat yang dianutnya. Negara seolah-olah berkuasa dengan kehendaknya sendiri, atas nama command of the sovereign. Praktik ini, selain kedaulatan rakyat, melawan kedaulatan hukum yang sesungguhnya berfungsi melindungi rakyat, negara, dan hukum itu sendiri. Oleh karena itu, command of the sovereign John Austin ini penting diberi makna yang tegas, tetapi bijak bahwa kehendak negara adalah implementasi kehendak kedaulatan rakyat. Kehendak rakyatlah yang harus jadi kehendak negara, bukan kehendak negara menjadi kehendak rakyat.
Jika ditelaah secara saksama, jujur, dan berdasarkan kebebasan akademik, sebetulnya ajaran kedaulatan rakyat sangat beririsan dengan ajaran Islam. Kerakyatan adalah konsep “roiyah” atau kepemimpinan. Jadi, kedaulatan rakyat adalah kedaulatan berdasarkan kepemimpinan, yang dalam Islam tidak hanya berkaitan dengan banyaknya orang, tapi juga kepada satu orang diri sendiri adalah pemimpin bagi dirinya yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di “yaumul akhir”. Sebagai konsekuensi kepemimpinan melekat pada diri pribadi manusia, apalagi bagi mereka yang kebetulan dipercaya untuk memimpin banyak orang dari sebuah negara. Untuk diketahui, konsep negara, konsep kepemimpinan, konsep kedaulatan, Islam mengaturnya secara rinci bagaimana ketiganya harus dijalankan yang tujuan utamanya kemaslahatan bagi seluruh makhluk terutama umat manusia dalam menciptakan “Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur”. Artinya, Islam tidak menciptakan kemaslahatan bagi segolongan dan/atau sekelompok orang tertentu.
Konsep kedaulatan rakyat dalam Islam sangat jelas terlihat dalam ritual ibadah shalat berjemaah. Imam adalah pemimpin yang dipilih makmum (rakyat), yang bertanggungjawab atas keamanan dan kelancaran sampai shalat selesai. Dalam hal terjadi kesalahan atau kekeliruan Imam dalam membaca ayat Al Quran, spontan makmum akan memberi kritik dalam bentuk meluruskan bacaan dan dengan kesadaran diri Imam mengikuti kritikan itu. Dalam hal imam tetap dengan bacaannya sendiri yang salah, imam akan dibatalkan dan digantikan oleh makmum sampai shalat selesai. Pembatalan itu merupakan tanggung jawab makmum bagi kebaikan, kelancaran, dan keselamatan imam, makmum, dan tempat dilaksanakan kegiatan shalat, dalam rangka mencapai tujuan “Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur”.
Atas dasar itu, dalam menyongsong genap usia 50 tahun pada Juli 2021 mendatang, Fakultas Hukum Unisba tertantang dan menyiapkan diri untuk membangun pemahaman konsep “command of sovereign” John Austin dengan konsep kepemimpinan Islam di atas. Dalam konsep yang dikembangkan FH Unisba, kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan, kepada masyarakat Fakultas Hukum dan Allah SWT. Bagi FH Unisba, memaknai “command of sovereign” adalah ketika akan menetapkan hukum, harus senantiasa berorientasi kepada kepentingan dan kecenderungan perkembangan masyarakat, yang secara konseptual diimplementasikan melalui pencapaian lulusan dengan karakter mujahid (pejuang), mujtahid (pemikir), dan mujaddid (pembaharu) yang dijiwai dengan kesungguhan. Selamat milad ke-50 Fakultas Hukum Unisba, selamat dan sukses selalu mengibarkan bendera hukum yang berkedaulatan rakyat dengan dijiwai nilai-nilai Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. (Rusli Kustiaman Iskandar, Dosen Fakultas Hukum Unisba)
Menghasilkan lulusan yang inovatif, kreatif, dan adaptif yang berakhlakul karimah. Situs web: https://www.unisba.ac.id