Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.
Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.
Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Etika Dunia Internet: Jarimu, Harimaumu”. Webinar yang digelar pada Selasa (10/8/2021) di Kabupaten Tangerang, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.
Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Dr. Bevaola Kusumasari, M.Si, – Dosen/Pengajar Fisipol UGM, A. Zulchaidir Ashary – Pena Enterprise, Feby Indirani – Penulis & Aktivis Literasi/MA Digital Media dan Dr. Lina Miftahul Jannah, M.Si, – Dosen Universitas Indonesia.
Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Dr. Bevaola Kusumasari membuka webinar dengan mengatakan, perkembangan manusia akan membuat manusia menjadi semakin banyak belajar dan berinovasi dalam perkembangan dirinya.
Komunikasi
Termasuk dalam era pandemi seperti saat ini, manusia menjadi lebih lebih kreatif dalam berkomunikasi. Digitalisasi telah menjadi pengaruh yang sangat luas pada budaya karena munculnya internet sebagai bentuk komunikasi massal, dan meluasnya penggunaan komputer pribadi dan perangkat lain seperti smartphone.
“Tujuannya adalah menjalankan aktivitas komunikasi di ruang digital tetap berjalan dengan efektif. Di Indonesia yang multikultur, etika digital sangat relevan dipahami dan dipraktikkan oleh semua warga Indonesia,” tuturnya.
Etika digital (digital ethics) adalah kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiket) dalam kehidupan sehari-hari.
Sebab, media digital yang cenderung instan, seringkali membuat penggunanya melakukan sesuatu dengannya tanpa sadar sepenuhnya. Tanggung jawab berkaitan dengan dampak atau akibat yang ditimbulkan dari suatu tindakan. Maka bertanggung jawab artinya adalah kemauan menanggung konsekuensi dari perilakunya.
“Negara melindungi kebebasan berekspresi tetapi memiliki batas yang sama dengan hak-hak digital yaitu tidak boleh melanggar hak dan melukai orang lain, tidak boleh membahayakan kepentingan publik, negara dan masyarakat,” ujarnya.
A. Zulchaidir Ashary turut menjelaskan, motivasi para penyebar konten negatif dilandasi kepentingan ekonomi (mencari uang), politik (menjatuhkan kelompok politik tertentu), mencari kambing hitam, dan memecah belah masyarakat.
Hoaks
“Berita bohong atau hoaks adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Berbeda dengan rumor, ilmu semu, atau berita palsu, maupun April Mop. Bertujuan membuat masyarakat merasa tidak aman, tidak nyaman, dan kebingungan,” jelasnya.
Dalam kebingungan, masyarakat akan mengambil keputusan yang lemah, tidak meyakinkan, dan bahkan salah. Hoaks tersebar juga melalui situs web (34,90 persen), Whatsapp, Line, Telegram (62,80 persen), Facebook, Twitter, Instagram, dan Path (92,40 persen).
Menurutnya, dampak dari penyebaran hoaks yakni memicu perpecahan, memicu ketakutan, menurunkan reputasi, membuat fakta menjadi sulit dipercaya hingga korban jiwa. “Dampak buruknya bisa bertahan lama dan mempengaruhi seseorang dalam banyak cara. Mari sampaikan informasi dengan bijak, sopan, dan santun serta mengikuti etika sekaligus peraturan yang berlaku,” pesannya.
Feby Indirani menambahkan, budaya digital adalah sebuah konsep yang menggambarkan bagaimana teknologi dan internet membentuk cara kita berinteraksi sebagai manusia, yaitu cara kita berperilaku, berpikir, dan berkomunikasi dalam masyarakat.
Budaya digital adalah hasil dari perkembangan teknologi persuasif dan inovasi teknologi yang disruptif. Disrupsi adalah perubahan besar-besaran yang secara fundamental mengubah semua sistem, tatanan, dan lanskap yang ada ke cara-cara baru.
“Karakteristik interaksi di era digital yakni menggunakan gawai/perangkat teknologi, memungkinkan anonimitas, pencitraan diri. Lintas batas dan waktu. Kepuasan instan. Ada rekam jejak,” paparnya.
Sebagai pembicara terakhir, Dr. Lina Miftahul Jannah mengatakan, semua orang dengan leluasa membaca unggahan kita, memberikan komentar bahkan dengan mudahnya membagikannya kepada orang lain.
Keamanan digital
“Sehingga menciptakan, ruang tanpa batas antara masyarakat dan media sebagai penyedia informasi,” tuturnya. Untuk itulah diperlukan keamanan digital (digital safety) yang merupakan kemampuan individu dalam mengenali, mempolakan, menerapkan, menganalisis, dan meningkatkan kesadaran keamanan digital dalam kehidupan sehari-hari.
Menurutnya, jejak digital adalah rekam atau bukti yang ditinggalkan setelah beraktivitas di dunia maya yang berpotensi untuk dicari, dilihat, disalin, dicuri, dipublikasikan, atau diikuti oleh orang lain.
Jejak digital dapat membentuk citra diri atau opini terhadap seseorang yang dapat menguntungkan atau merugikan. Saat ini rekam jejak ini akan dipakai untuk studi lanjut, mencari pekerjaan, dan untuk mapping perilaku.
“Jempolmu memang pendek, kalau tidak hati-hati menggunakannya, buntutnya bisa panjang. Hindari langsung berkomentar sebelum tahu berita yang sebenarnya, hindari konten menyinggung SARA dan ujaran kebencian, hindari ucapan provokatif, biasakan memastikan kebenaran berita/klarifikasi sebelum berbagi ke yang lain,” pungkasnya.
Dalam sesi KOL, Julia RGDS mengajak netizen untuk beretika dalam berinternet. Pastikan apa yang mau kita sharing kita harus saring dahulu, lalu kita pastikan ketika kita mau melakukan sesuatu di internet seperti yang disebutkan selalu ada rekam jejaknya.
“Mari kita sama-sama bijaksana dan follow juga akun-akun yang bermanfaat untuk kehidupan kita, baik memotivasi kita ke hal yang lebih baik, meningkatkan dan mengembangkan diri. Karena semakin banyak kita membaca hal-hal yang negatif itu juga memengaruhi pikiran kita juga,” katanya.
Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilakan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Indah menanyakan, apa yang bisa kita terapkan dalam kebiasaan sehari-hari, agar budaya digital yang positif dan aman bisa diterapkan?
“Dengan ketetapan kita untuk melakukan hal dengan tujuan. Pada usia remaja lagi ingin mengetahui dan pelajari hal menarik. Kalau sudah menetapkan tujuan lalu fokus ingin belajar apa yang menunjang proses belajar juga. Selektif dalam memilih akun apa saja yang berguna untuk pertumbuhan anak dan masa belajarnya,” jawab Feby.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Tangerang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan, jika turut didukung oleh semua pihak.