Ahli-ahli di bidang science, technology, engineering, and mathematic atau disingkat STEM akan semakin dibutuhkan pada masa depan. Indikasinya bisa dilihat sekarang. Banyak permintaan tenaga ahli STEM mulai dari start up digital hingga industrial. Namun, Indonesia butuh lebih dari sekadar lulusan STEM. Kita butuh lulusan STEM yang tak hanya bisa inovasi, tetapi juga komersialisasi.

Faktanya, banyak ahli STEM di Indonesia yang kesulitan memasarkan inovasinya. Padahal, ada banyak inovasi yang bisa bermanfaat di masyarakat. Namun, ada satu ahli STEM yang tergolong sukses berinovasi sekaligus mengomersialisasikan penemuannya. Dia adalah Prof Ir I Gede Wenten PhD.

United States Patent US5560828 merupakan karya monumental pertama dalam karier keilmuan Wenten. Penemuan yang dipatenkan pada 1993 tersebut langsung dikomersialkan di Eropa. Selain itu, non-modular membrane yang patennya disahkan di Indonesia tak kalah penting. Paten ini telah dikomersialkan dalam skala industri dan dianugerahi ASEAN Outstanding Engineering Award 2010.

Karya paling monumental dari 15 granted patents yang sebagian besar telah dikomersialkan adalah IGW Green Ultrafilter. Paten yang telah dianugerahi Gold Medal-Ganesha Innovation Award 2013 ini diproyeksikan sebagai PDAM umat manusia pada masa mendatang.

“Secara statistik, jumlah ahli STEM di Indonesia memang masih kurang. Namun, seharusnya jumlah yang tak terlalu banyak bisa diimbangi dengan kualitas. Sekarang, kondisinya masih kurang kompetitif,” ujar Wenten.

Sementara itu, ketika ditemui di acara Wisuda Prasetiya Mulya di ICE, BSD, Kamis (14/12), Mari Elka Pangestu selaku Dewan Senat Universitas Prasetiya Mulya menuturkan pendapatnya tentang STEM. Menurut Mari, pada masa depan, Indonesia harus kuat di teknologi.

”Ahli-ahli di bidang STEM belum banyak. Hal ini diperkuat fakta skor STEM kita masih lebih rendah di bawah Vietnam. Tak heran jika banyak perusahaan start up Indonesia kesulitan mencari ahli engineering dan software development. Mereka terpaksa mengambil ahli dari India dan Tiongkok,” ujar Mari.

Menutur Mari, Indonesia tak akan bisa bersaing hanya dengan mengandalkan tenaga kerja murah dan sumber daya alam. Kita sebaiknya bisa menumbuhkan sumber daya saing dari inovasi dan perkembangan teknologi yang mampu membuat barang atau servis baru serta membuat proses lebih efisien dan produktif.

Ledakan teknologi

Rektor Universitas Prasetiya Mulya Dr Djisman S Simandjuntak berpendapat, Indonesia harus menguasai ilmu dan teknologi untuk bisa bertahan menghadapi dunia yang akan datang. Menurut Djisman, dunia akan mengalami ledakan kambrian teknologi.

“Ledakan kambrian sesungguhnya terjadi 50 juta tahun yang lalu ketika kehidupan mengalami pertambahan jenis spesies yang luar biasa. Saya sebut ledakan kambrian teknologi karena dari segala disiplin sekarang sedang berkembang. Di teknologi informasi ada big data, di industri pengolahan ada nano based manufacturing, serta di biologi ada GMO. Berkat digitalisasi, teknologi-teknologi ini bersatu. Hal ini akan menimbulkan ledakan teknologi yang luar biasa,” ungkap Djisman.

Genetically modified organisms (GMO) atau disebut produk rekayasa genetika adalah salah satu contoh kolaborasi akibat digitalisasi. Untuk menciptakan GMO, dibutuhkan kerja sama dari bidang genetik sains, ilmu komputer, dan keahlian petani. Selain itu, GMO membutuhkan keahlian pemasar untuk mengenalkan produk ini ke masyarakat.

“Hal serupa terjadi di bidang kesehatan. Kini kita bisa mengambil darah di suatu tempat, lalu melakukan pemeriksaan diagnostic di mana saja. Kesadaran ini sudah mulai ada. Namun, salah satu masalah di Indonesia yaitu tingkat mastery pendidikan STEM masih rendah,” terang Djisman.

Vice Rektor for Academic Affairs Universitas Prasetiya Mulya Prof Dr Yudi Samyudia menambahkan, beberapa ahli STEM kita baru sampai ke tahap menghasilkan penemuan baru. Mereka belum sampai pada tahap mengomersialkan penemuan tersebut hingga bisa diterima pasar. “Kita harus mendukung inovasi di bidang STEM dan tahu bagaimana cara memasarkannya.”

Transformasi

Melihat kebutuhan tersebut, Prasetiya Mulya yang terkenal sebagai sekolah bisnis, kini bertransformasi menjadi Universitas Prasetiya Mulya. Seiring transformasi tersebut, Prasetiya Mulya membuka beberapa jurusan baru, termasuk yang berhubungan dengan STEM. Djisman menuturkan, jurusan STEM di Universitas Prasetiya Mulya tak hanya meneliti teori, tetapi juga mengubah pengetahuan yang aplikatif untuk dikomersialkan.

“Basis teknologi dan pengembangan ke depan harus kuat di STEM. Fakultas STEM di Prasetiya Mulya akan dikaitkan dengan bisnis. Hal ini yang akan membedakan Universitas Prasetiya Mulya dengan perguruan tinggi lain,” ujar Yudi.

Lebih lanjut, Djisman menekankan pentingnya kolaborasi antara perguruan tinggi dan dunia industri. Teknologi yang diteliti dari dunia bisnis membutuhkan kajian dari perguruan tinggi. Perguruan tinggi juga tak bisa jalan sendiri.

“Ke depan kita tak mungkin unggul jika dunia bisnis dan perguruan tinggi jalan sendiri-sendiri. Ini disebut konsep dual learning. Perguruan tinggi bergandengan tangan dengan dunia bisnis untuk memajukan ilmu pengetahuan yang dikomersialkan untuk kemajuan bisnis dan bangsa,” jelas Djisman.

Yudi menuturkan, Prasetiya Mulya fokus menjadi ekosistem antara perguruan tinggi dengan industri. Walaupun mahasiswa STEM baru ada tahun depan, Prasetiya Mulya sudah menyiapkan segala sesuatunya.

Contohnya, sudah ada beberapa partner yang komitmen kerja sama, seperti PT Adaro Energi. Untuk bigdata ada perusahaan asuransi dari Sinarmas. Untuk food, ada Indofood. Ada juga kerja sama dengan Monash University dan LIPI.

“Prasetiya Mulya sejak semula memilih kewirausahaan menjadi core dari keberadaannya. Dengan membuka jurusan STEM, core itu tetap dipelihara. Kami menyadari kewirausahaan di negeri kita masih sangat langka. Bahkan, kewirausahaan yang berbasis STEM jauh lebih langka lagi. Oleh sebab itu, kita perlu mempercepat gerak jalan kita,” pungkas Djisman. [IKLAN/INO]