Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) melakukan studi pemetaan yang bertujuan untuk mendokumentasi inovasi yang dapat diimplementasikan pada jenjang pendidikan dasar. Inovasi ini bisa dilakukan oleh sekolah, pemerintah daerah, NGO, maupun individu, seperti guru, orangtua, atau kepala sekolah.

Inovasi ini diharapkan dapat meningkatkan hasil pembelajaran literasi dan numerasi. Setiap inovasi yang diciptakan diharapkan juga mampu menunjukkan kualitas pengajaran, bentuk dukungan terhadap guru, dan pembelajaran bagi semua.

Di Jawa Timur misalnya, setidaknya terdapat 165 praktik dari inovasi yang menjanjikan. Enam di antaranya telah diteliti yang memunculkan beberapa kesamaan. Pertama, adanya figur yang kuat yang memungkinkan terwujudnya praktik baik tersebut. Kedua, terdapat dukungan dari berbagai pihak. Ketiga, terjadi kolaborasi yang baik antara kepala sekolah dan guru.

Studi ini lalu menarik kesimpulan bahwa mendorong kepemimpinan yang kuat dan kontekstual adalah salah satu cara untuk mendorong lahirnya lebih banyak lagi inovasi dalam dunia pendidikan.

Teropong berkamera

SD Pembangunan Jaya 2 di Kabupaten Sidoarjo memperkenalkan media pembelajaran yang murah, mudah, menarik, dan gampang diterapkan. Guru di sekolah ini melihat bahwa murid memiliki hambatan dalam memahami mata pelajaran matematika dan kesenian batik. Oleh karena itu, dibuatlah Ahmad Dani (Alat Hitung Matematika dan Nilainya) dan Teropong Berkamera.

Ahmad Dani adalah sebuah alat berbentuk papan yang mendorong peserta didik untuk belajar pengelompokan dan keterampilan. Penggunaan alat ini dengan mengelompokkan angka-angka tersebut dalam kategori satuan, puluhan, ratusan, dan ribuan.

Sementara itu, teropong berkamera adalah sebuah teropong yang ujungnya diberi biji-bijian atau kerikil. Teropong ini bisa diputar-putar untuk melihat desain yang berbeda-beda. Kemudian peserta didik diminta untuk mendesain motif batik hingga dicetak sebagai hasil karya siswa.

“Magic mirror”

SDN Sawocangkring di Kabupaten Sidoarjo tak ketinggalan berinovasi. Mereka menciptakan alat yang disebut magic mirror. Ini adalah alat bantu pembelajaran untuk mengatasi permasalahan siswa yang sering menulis karakter huruf dan angka dengan terbalik, seperti huruf b, huruf d, huruf p, dan huruf q.

“Cermin ajaib” ini dibuat dengan menggunakan cermin dan papan yang dibentuk seperti laptop. Sisi papan dibuat pola kotak-kotak supaya bisa ditulis dengan huruf dan angka. Selain itu ada pula media tambahan berupa kertas yang berbentuk huruf dan angka sebagai media pembantu.

Teknik penggunaannya sederhana, yakni de­ngan menulis huruf di papan. Jika huruf di papan ditulis dengan benar, huruf yang muncul di cermin akan salah. Sebaliknya, jika huruf yang ada di cermin benar, huruf yang ditulis di papan adalah salah. Alat ini juga menjadi media pembelajaran dan te­rapi anak-anak yang memiliki hambatan disleksia.

Go-Read

Di Malang, muncul Go-Read. Ini adalah terobosan yang memudahkan para penyumbang buku untuk mengirimkan buku-bukunya ke bank buku dan memfasilitasi pertukaran buku antar taman bacaan.

Kelahiran Go-Read tidak diawali langsung dengan perpustakaan bergerak, tetapi berdiri melalui Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Malang Raya. Go-Read berdiri pada 17 Mei 2016 dan berjalan efektif pada November 2016. Tugas utama Go-Read adalah mengambil buku di masyarakat untuk dikumpulkan di bank buku dan memfasilitasi tukar buku antar-TBM.

Kegiatan ini dilakukan oleh para relawan Go-Read sebanyak 15–20 orang. Kelebihan yang dimiliki Go-Read adalah kemandiriannya yang secara bersama-sama didukung oleh masyarakat tanpa peran langsung dari pemerintah.

Budaya baca

SDN Pabian 1 di Kabupaten Sumenep men­dorong program Budaya Baca. Program ini dicetuskan untuk mendorong berubahnya pola pikir peserta didik untuk gemar membaca. Budaya Baca ini dilaksanakan dengan strategi yang komprehensif, yaitu tidak hanya memberikan buku dan mendorong peserta didik untuk membaca, tetapi juga menciptakan suasana yang baik dengan merenovasi kondisi ruang kelas.

Pertama, SDN Pabian 1 melatih para guru selama 6 bulan untuk mampu mengoperasikan komputer. Kedua, pengelolaan sekolah diperbaiki dengan mendatangkan narasumber untuk konsultasi. Perbaikan pengelolaan sekolah juga disertai bedah kelas untuk menciptakan suasana yang nyaman. Ketiga, untuk memperkaya kegiatan seni budaya, sekolah memanggil praktisi kesenian untuk menjadi narasumber. Keempat, siswa diarahkan untuk membaca minimal selama 15 menit yang dibimbing oleh guru. Kelima, siswa didorong untuk membaca banyak buku dengan adanya tugas meringkas materi bacaan dan mengganti buku bacaan secara rutin di perpustakaan.

Nota kesepakatan

Di provinsi lainnya, Kemdikbud juga telah membuat nota kesepakatan (MoU) Program Inovasi. Contohnya, penandatanganan MoU pada 2 November 2017 di Kupang, NTT. Penandatanganan tersebut dilakukan oleh Kepala Balitbang Kemdikbud dengan Gubernur NTT, serta antara Gubernur NTT dengan bupati di empat kabupaten, yaitu Kabupaten Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, Sumba Timur.

Balitbang Kemdikbud juga membuat kesepakatan dengan Gubernur Kalimantan Utara, serta Gubernur Kalimantan Utara dengan Bupati Kabupaten Malinau dan Bulungan. Program Rintisan Inovasi di Kalimantan Utara dilaksanakan pada tahun ini, yang bertujuan untuk mendukung literasi tingkat awal, penilaian formatif, supervisi kelas melalui media sosial, serta pendistribusian buku bacaan siswa. [*]

Foto-foto dokumen Kemdikbud.

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 7 Mei 2018.