Di dunia bisnis, tantangan dan peluang sering datang bersamaan. Para pemenang bisnis biasanya adalah pelaku yang dengan cepat mengatasi goncangan dan keluar dari krisis.
“Saat terbaik melakukan inovasi justru saat siklus bisnis berada di titik paling bawah. Pada momen tersebut, tak sulit mengajak orang berpikir out of the box dan bertindak revolusioner. Dari situlah biasanya berbagai inovasi lahir,” terang Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Dr A Prasetyantoko.
Momentum krisis finansial global justru mempercepat Revolusi Industri 4.0 yang menggabungkan aspek fisik, digital, dan biologi (brain). Munculnya prototipe mobil tanpa sopir, otomatisasi robotik, serta berbagai implementasi internet of things di dunia bisnis, justru intensif di tengah gejolak dan krisis yang semakin menjadi keseharian.
Esensi dari dunia bisnis adalah terus-menerus melakukan inovasi di tengah risiko dan turbulensi yang makin tinggi. Oleh karena itu, pertama-tama dunia bisnis harus memiliki kompetensi memahami, mengelola, dan memitigasi risiko yang akan makin intensif di masa depan.
“Pada dasarnya, bisnis menghadapi turbulensi yang kian bersifat permanen. Volatilitas selalu terjadi dalam intensitas dan derajat yang berbeda-beda. Dulu krisis adalah situasi abnormal yang hanya terkadang saja terjadi. Kini sebaliknya, krisis menjadi sesuatu yang normal atau selalu terjadi. Hanya sesekali stabilitas terjadi, dan itupun hanya sesaat untuk kemudian bergejolak lagi,” papar Prasetyantoko.
Oleh karena itu, imbuh Prasetyantoko, dunia bisnis ditantang memikirkan ulang berbagai pendekatan dalam mengalkulasi risiko. Tidak hanya risiko dalam pengertian teknis, tetapi juga konsepsi besar mengenai bagaimana bisnis harus berdialektika dengan berbagai perubahan, baik di bidang ekonomi, politik dan sosial.
Konsep tanggung jawab perusahaan juga berkembang dari CSR (corporate social responsibilty) menjadi CSV (corporate-shared value). Lebih jauh lagi, mulai berkembang pendekatan socio-entrepreneurship sebagai gabungan antara pendekatan bisnis dengan tujuan sosial. Di sinilah konsepsi tentang bagaimana sektor bisnis harus berdialog dengan aspek ekonomi dan sosial politik menjadi penting.
Inovasi pendidikan
“Menghadapi perusahaan lanskap seperti ini, Unika Atma Jaya bertekad mendirikan graduate school of business, yang akan berisi berbagai program studi yang memiliki kajian bisnis, dari berbagai sudut. Kami telah memiliki 4 program studi strata 2 di bidang bisnis. Magister Ekonomi Terapan (MET) akan fokus pada kajian risiko di sektor keuangan dan perbankan, Magister Administrasi Bisnis (MAB) fokus pada bisnis internasional dan (socio) entrepreneurship. Selain itu, ada program Magister Manajemen (MM) dengan fokus manajemen strategik, SDM, dan family business. Serta, Magister Akuntansi (MAKSI) sebagai salah satu kekuatan penting Unika Atma Jaya dan sudah diakui para pengguna lulusan,” jelas Prasetyantoko.
Memahami risiko bisnis, menempatkan sektor usaha di tengah konteks sosial, serta berbagai pengetahuan teknis manajerial menjadi kunci untuk keluar dari kemelut bisnis dan turbulensi lingkungan.
“Kampus Semanggi yang berada di jantung kota Jakarta sangat ideal dikembangkan sebagai pusat pembelajaran bidang bisnis dengan membangun kerja sama konkret dengan dunia usaha,” kata Ketua Yayasan Atma Jaya Aswin Wirjadi.
“Kami berencana mengembangkan Kampus Semanggi sebagai lokus kerja sama akademik dan industri. Tanpa kerja sama dengan industri, dunia kampus akan kehilangan relevansi. Kerja sama tidak selalu dalam bentuk program studi yang menghasilkan gelar, tetapi juga dalam berbagai program nongelar, seperti sertifikasi, training, atau program yang bersifat vocational,” imbuh Aswin.
“Selain dengan para praktisi, graduate school of business memiliki rencana pengembangan untuk berkolaborasi dengan beberapa sekolah bisnis ternama di luar negeri. Kehadiran penerima Nobel Ekonomi 2003 Robert Engle dari New York University, Stern School of Business, adalah salah satu bukti komitmen Unika Atma Jaya dalam mengembangkan sekolah bisnis bereputasi global,” imbuh Prasetyantoko.
“Kerja sama dengan regulator juga unsur penting yang perlu dikembangkan. Kampus harus mampu mengintegrasikan kepentingan pelaku usaha, regulator, dan kepentingan umum. Kehadiran tokoh bisnis, masyarakat, dan high rank officers dari pemerintahan akan menjadi kekhasan Kampus Semanggi yang akan terus dikembangkan di masa depan,” Prasetyantoko menjelaskan.
“Memiliki sekolah bisnis dengan peminatan yang begitu luas dan khas di pusat bisnis Ibu Kota merupakan kemewahan yang perlu dimanfaatkan dalam merancang program, baik bergelar maupun nongelar, untuk turut memberikan kontribusi pada perkembangan bangsa, khususnya dunia bisnis di Indonesia,” ujar Prasetyantoko menutup pembicaraan. [IKLAN/*/ACH]