Indonesia harus lebih ambisius mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) untuk menghindari terjadinya krisis iklim lebih serius. Semua pihak juga harus menyadari bahwa EBT bukan lagi merupakan pilihan tetapi sebuah keharusan.
Hal tersebut mengemuka pada webinar Soft Launching Virtual dan Bedah Buku “Beralih Lebih Bersih: Menyegarkan Transisi Energi Di Indonesia”, Selasa (27/4/2021).
Buku ini mengupas tentang praktik pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Dengan kemasan laporan jurnalistik khas Kompas, buku ini juga mencatat praktik pengembangan energi terbarukan secara mandiri dan swadaya di tingkat akar rumput.
Di satu sisi, Indonesia sangat berlimpah berkah potensi energi terbarukan yang sedikitnya 419.000 MW dengan pemanfaatan sejauh ini baru 10.400 MW. Sementara itu, Indonesia sudah berkomitmen mendorong pemanfaatan energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050.
Buku tersebut juga mengurai segala kendala dalam pengembangan energi terbarukan dan rekomendasi bagi pemangku kepentingan untuk terus mengoptimalkan energi terbarukan.
Tantangan
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menegaskan, untuk menghindari kenaikan temperatur global di bawah 2 derajat, Indonesia memiliki waktu relatif singkat agar pada 2030 emisi global dapat turun 45 persen dibandingkan 2010.
“Sejak 1980 hingga 2019, emisi kita dari sektor energi telah naik 6 kali lipat. Inilah yang menjadi tantangan bagi kita. Kami di IESR telah melakukan suatu studi mengenai apa yang harus dilakukan untuk dapat mencapai nol emisi,” lanjut Fabby.
Fabby menjelaskan, meski Indonesia telah memiliki kontribusi nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) yang menyatakan akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan upaya mandiri ditambah 12 persen dukungan internasional, hal tersebut masih belum sesuai dengan Persetujuan Paris. Indonesia butuh target yang lebih ambisius.
Dukungan
Sementara itu, Ketua Tim Penulis Buku Beralih Lebih Bersih: Menyegarkan Transisi Energi Di Indonesia yang juga wartawan Harian Kompas Aris Prasetyo menyelisik pemanfaatan beragam energi baru terbarukan di Lombok, Nusa Tenggara Barat; dan Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Pemanfaatan energi bersumber dari pembangkit surya, bayu, dan mikro hidro di daerah-daerah tersebut masih menemui sejumlah kendala, mulai dari permodalan, sumber daya manusia, hingga minimnya dukungan dari para pemimpin.
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto yang juga hadir sebagai narasumber secara lugas mengatakan, tidak ada pilihan lain, Indonesia harus masuk ke energi baru terbarukan, dengan berbagai catatan, baik catatan lingkungan hidup, ekonomi, maupun keterbatasan sumbernya.
Dikatakan pula, kebijakan energi nasional sebagaimana tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2025 saja dirasa kurang memadai jika tidak ada kebijakan extraordinary di bidang energi.
Anggota Dewan Energi Nasional Satya Widya Yudha mengemukakan, jika dilihat dari sisi keekonomian, yang saat ini dapat dengan mudah bergerak ke depan adalah pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Namun, apabila semua rumah di-PLTS-kan, lanjut Satya, kontribusi terhadap kenaikan energi baru terbarukan tidak signifikan. Mengenai teknologi, pihaknya berharap agar para investor dapat menemukan teknologi agar energi baru terbarukan menjadi murah.