Asia dan Timur Tengah dinilai memiliki potensi pemulihan ekonomi yang lebih kuat dibandingkan dengan wilayah lain di dunia. Ini memberikan kesempatan bagi negara-negara tersebut mencanangkan green transition (transformasi hijau) dalam agenda pembangunan ekonomi mereka.
Kendati demikian, seperti terungkap dalam prediksi yang disampaikan di ICAEW Economic Insight Forum Q3, pelaksanaan pendanaan iklim (climate finance) dihadapkan pada tantangan terkait kondisi anggaran pemerintah yang sedang dalam tekanan. Investasi dari sektor swasta akan sangat diperlukan.
Hasil temuan dari Economic Forecast ini dipresentasikan oleh Chief Economist dan Managing Director di Oxford Economics of Middle East Scott Livermore pada ICAEW Economic Insight Forum Q3 2022 pada 14 September 2022. Bersama Scott, hadir juga para panelis lain, yaitu CFO and Head of Strategy di Dubai Financial Market Ali Amer Al Hashimi; Partner of Financial Advisory Services di Mazars China Tim Yu, FCA; dan Group Head of HSBC Center of Sustainable Finance dan Head of Climate Change di MENAT Zoë Knight. Keempatnya bergabung dalam diskusi mendalam tentang tantangan yang dihadapi pasar untuk membangun kembali ekonomi mereka secara berkelanjutan, prioritas green development di masa depan, serta kenaikan suku bunga dan inflasi.
Produk Domestik Bruto (PDB) menyusut di kuartal kedua, sebagian disebabkan kuncitara (lockdown) di Tiongkok. Sementara itu, inflasi meningkat di seluruh dunia termasuk Asia dan Timur Tengah, meskipun tekanan di negara Gulf Cooperation Council (GCC) lebih rendah. Berlawanan dengan kondisi ini, kebijakan moneter diperkirakan akan lebih ketat karena dunia masih akan terus bergulat menghadapi berbagai tantangan eksternal ini.
Baca juga:
Bersama ICAEW, B20 Rekomendasikan Kebijakan Anti-Pencucian Uang
Pemprov DKI Jakarta Tekan Emisi Gas Rumah Kaca melalui “Green Building”
Meski begitu, dunia telah menunjukkan tanda-tanda pemulihan positif. Karena sebelumnya guncangan lonjakan pasokan yang besar menyebabkan laju inflasi memuncak, kondisi sekarang mulai membaik. Meskipun perang antara Rusia-Ukraina telah menyebabkan guncangan perdagangan dan membuat pasar negara berkembang mengalami lonjakan harga pangan, harga komoditas secara keseluruhan diperkirakan akan menurun pada 2023. Terlebih lagi, aturan darurat kebijakan terkait pandemi Covid-19 mulai melonggar pada akhir 2022 di Asia, sehingga diperkirakan suku bunga akan meningkat kembali ke tingkat yang sama seperti sebelum pandemi.
Meskipun Asia memiliki performa yang kuat pasca-pandemi, pertumbuhan Tiongkok akan menjadi faktor penentu karena pertumbuhan negara ini diprediksi akan tetap lambat, di bawah lima persen pada 2023, dari pertumbuhan tahun 2022 yang sekitar tiga persen. Eksposure yang tinggi terhadap pertumbuhan Tiongkok yang lemah ini disertai gangguan pasokan masih menjadi potensi risiko bagi pertumbuhan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Namun, jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya, tingkat risiko yang dimiliki Indonesia yang dipengaruhi lambatnya pertumbuhan Cina masih lebih baik. Karena dibandingkan Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam dan Filipina, nilai ekspor Indonesia ke Cina masih yang terendah. Selain itu, tingkat kerentanan rantai pasok Indonesia untuk barang setengah jadi pun termasuk di kategori rendah, berbeda jauh dengan Singapura dan Malaysia.
Aksi nyata perubahan iklim di Asia Tenggara rendah
Di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, aksi nyata perubahan iklim masih tergolong rendah sehingga diperlukan investasi dari sektor swasta. Sementara itu, di kawasan Eurasia dan Timur Tengah lebih intensif untuk urusan energi daripada kawasan lainnya karena kebanyakan pemanfaatan listrik yang dihasilkan dari energi terbarukan masih tertinggal di banyak negara di kawasan ini.
Upaya mengalihkan ketergantungan dari bahan bakar berpolusi seperti batu bara ke energi terbarukan akan menjadi tantangan besar untuk mencapai emisi nol-bersih (net zero emission). Dengan demikian, repricing energi untuk menggambarkan biaya kerusakan lingkungan direkomendasikan sebagai bentuk insentif yang didorong pasar untuk mempengaruhi lebih banyak bisnis menggunakan energi terbarukan sebagai pengganti bahan bakar yang berpolusi.
Menurut Climate Action Tracker, penerapan kebijakan dan aksi nyata menanggapi perubahan iklim di Tiongkok, Asia Tenggara (Indonesia, Singapura, Thailand, Vietnam) dan Timur Tengah (Arab Saudi dan Uni Emirat Arab) dianggap masih belum memadai atau kurang ambisius. Menurut pengamatan, tidak semua negara siap untuk transisi ini. Karena itu target yang lebih ambisius didorong untuk segera ditetapkan.
Climate Action Tracker mencatat, Indonesia adalah salah satu dari 14 negara yang dikategorikan sebagai negara yang sangat tidak memadai untuk urusan kebijakan iklim dan penerapannya. Meski begitu, posisi Indonesia ini masih lebih baik ketimbang beberapa negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura, Malaysia dan Vietnam yang berada di kategori kritis.
Di Indonesia sendiri, pada 2015 sumber energi listrik masih didominasi oleh batu bara, gas alam, dan minyak. Diprediksi, baru pada 2050 nanti Indonesia bisa meninggalkan ketergantungan terhadap batu bara dan minyak. Sumber energi listrik di tahun 2050 nantinya akan sudah didominasi energi terbarukan dan hanya menyisakan sedikit dari gas alam.
Melihat fakta ini, climate finance dinilai belum mampu memenuhi apa yang dibutuhkan untuk mencapai tujuannya. Investasi di infrastruktur untuk energi terbarukan, teknologi elektrifikasi dan efisiensi energi menjadi semakin diperlukan. Dan nilai bruto dari investasi infrastruktur ini, seperti yang diprediksi oleh Climate Policy Initiatives akan menelan biaya sekitar 4,5 hingga 5 triliun USD per tahunnya.
Karena anggaran pemerintah cukup membengkak ketika masa pandemi, pembiayaan yang cukup besar untuk mencapai tujuan ini membutuhkan dukungan tambahan dari sektor swasta. Meski demikian, pemerintah dapat membantu mengurangi risiko investasi iklim melalui inisiatif blended finance.
Michael Izza, Chief Executive ICAEW mengatakan, “Transisi dari pandemi membuka kesempatan bagi negara-negara untuk membangun kembali perekonomian mereka dengan cara yang lebih ramah lingkungan. Kota-kota yang memiliki pertumbuhan pesat di Asia dan Timur Tengah semakin rentan terhadap risiko fisik seperti kekeringan, banjir, dan badai tropis. Karena itu, investasi pada upaya mitigasi serta adaptasi sangat diperlukan untuk membangun ketahanan. Green recovery bisa memperkuat daya saing jangka panjang untuk Asia dan Timur Tengah di pasar global yang membutuhkan green practices.”
Sementara itu, Conny Siahaan, ICAEW Head of Indonesia menyebut Indonesia berpotensi tinggi untuk meningkatkan climate finance. “Dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, potensi Indonesia untuk memperkuat climate finance sangat tinggi. Pemerintah gencar mendorong seluruh pihak, terutama pemain industri, dalam menurunkan kadar emisi karbon. Salah satunya yang terbaru adalah rencana pemerintah dalam menyiapkan regulasi baru terkait penggunaan mobil listrik di lingkungan pemerintah dan perencanaan penerapan pajak karbon. Ini adalah langkah awal yang signifikan menuju ekonomi hijau.”
Selain hal-hal tersebut, Economic Insight Forum Q3 juga menghasilkan beberapa temuan lain. Misalnya tentang prospek pertumbuhan di kawasan Timur Tengah yang tetap positif meskipun tingkat pasar di GCC telah meningkat tajam. Alasannya, sektor minyak mendorong pertumbuhan dan memfasilitasi pengeluaran pemerintah yang lebih tinggi di kawasan Teluk, seperti investasi publik yang terkait dengan pertumbuhan, rencana diversifikasi, dan transisi iklim.
Di samping itu, didapati pula kesimpulan bahwa untuk bisa membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat, diperlukan penghapusan capital stock berbasis karbon secara bertahap pada 2050. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan bahwa investasi tambahan yang diperlukan untuk melakukan ini akan senilai satu persen dari PDB dunia setiap tahun dari sekarang hingga 2050.