Pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan untuk membangkitkan nafsu. Cyber pornography adalah bentuk kejahatan kesusilaan yang menggunakan internet sebagai media utama dalam penyebaran segala sesuatu yang mengandung unsur porno dan seksual.
Dampak pornografi pada otak yaitu adiksi, merusak daya ingat dan konsentrasi, mengurangi kontrol impuls dan kemauan, mudah stres, mengecilkan volume otak, serta berisiko menjadi pelaku kejahatan seksual. Sayangnya, dengan hadirnya internet yang begitu luas dan bebas diakses, cukup banyak konten pornografi yang beredar dan dapat ditemukan anak di bawah umur, sehingga dapat mengancam masa depan mereka.
Menyikapi hal itu, Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital menggelar webinar dengan tajuk “Cegah dan Tangkal Bahaya Pornografi dan Pelecehan Seksual di Internet”. Webinar yang digelar pada Kamis, 30 September 2021, diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.
Dalam forum tersebut hadir Yossy Suparyo (Direktur Gedhe Nusantara), Wulan Furrie, MIKom (Praktisi dan Dosen Manajemen Komunikasi Institut STIAMI), Erwan Widyarto (Mekar Pribadi, Penulis, dan Jurnalis), Isharsono (Praktisi Digital Marketing dan Founder IStar Digital Marketing Centre), dan Kneysa Sastrawijaya (Business Owner) selaku narasumber.
Dalam pemaparannya, Wulan Furrie menyampaikan bahwa kasus pornografi mendominasi laporan konten negatif di Kominfo, yang sekaligus mengonfirmasi rendahnya penerapan etika digital di kalangan warganet. Bahaya pornografi mulai dari kecanduan, menurunkan dan merusak fungsi otak, keinginan mencoba dan meniru, hingga membuat anak berani melakukan perbuatan seksual.
“Rasa penasaran inilah yang menjadi dorongan anak-anak untuk melihat lebih banyak konten pornografi lainnya. Kecanduan ini dipicu oleh pengeluaran hormon dopamin pada otak, sehingga akan menimbulkan perasaan bahagia ketika menonton konten pornografi,” jelasnya.
Kneysa Sastrawijaya selaku narasumber Key Opinion Leader juga menyampaikan bahwa perundungan juga merupakan salah satu bentuk pelecehan karena merasakan hati yang sakit walaupun kita tidak menanggapinya. Ia bercerita bahwa dulu di dunia nyata ia mengalami bullying pasti ia akan menangis dan cerita ke orangtua, lalu ke sekolah cerita dengan guru.
Kini, ketika sudah dewasa dan banyak yang meninggalkan hate speech di kolom komentar media sosialnya, ia tidak menghiraukannya. Kalau untuk menghindari konten-konten pornografi dan pelecehan di media sosial menurutnya gampang-gampang susah ya, karena kalau sudah pernah klik sekali di halaman Google Search pasti akan diikuti terus oleh sistemnya. Saat sedang menggunakan mesin pencarian, ia ingatkan untuk jangan mengklik iklan-iklan yang menggiurkan dan ataupun konten-konten yang tidak baik.
Salah satu peserta bernama Ade Nurul Rosyida menyampaikan, “Bagaimana caranya kita bisa mencegah bahaya pornografi pada anak di internet? Jika saja ada sebuah iklan di YouTube yang menurut kami para orangtua tidak seharusnya iklan tersebut muncul, meski anak kami belum mengerti itu iklan apa, karena iklan tersebut dikemas secara menarik seperti animasi kartun?”
Yossy Suparyo menjawab, “Buatlah semua hal yang ter-install di gadget yang dipakai oleh anak dalam mode aman, baik di level browser dan YouTube serta aplilkasi-aplikasi lainnya. Pastikan YouTube yang ter-install adalah yang versi anak dan nyalakan mode ‘private’ jadi anak tidak menginstall aplikasi-aplikasi baru.”
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Selatan. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]