Dalam dekade terakhir ini, pengguna internet di Indonesia meningkat pesat. Kini hampir setengah jumlah penduduk Indonesia telah mengenal internet. Namun, keterbukaan informasi dalam era digital ini tidak hanya menguntungkan, tetapi juga bisa disalahgunakan. Tidak jarang terdengar kasus hukum akibat pemajanan status di media sosial yang menjadi viral dan  penyebaran informasi palsu (hoax) di dunia maya.

Indonesia sebenarnya telah memiliki regulasi untuk TIK, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Awalnya, UU ini dimaksudkan sebagai payung hukum untuk kegiatan transaksi atau perdagangan elektronik di dunia maya (e-commerce). Seiring perkembangan penggunaan internet dan media sosial, sejumlah pasal dalam UU ITE dianggap merugikan, bahkan mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat. Sejumlah pasal cenderung multitafsir dan tumpang tindih dengan peraturan hukum lain.

“Karena dalam penerapannya terjadi dinamika pro dan kontra terhadap beberapa ketentuan di dalamnya, Pemerintah mengambil inisiatif untuk melakukan perubahan minor yang dianggap perlu dan relevan,” jelas Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Rudiantara usai disetujuinya revisi UU ITE untuk ditetapkan menjadi undang-undang melalui Sidang Paripurna DPR RI di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/10).

Perubahan muatan materi

Setelah melalui serangkaian prosedur dan kegiatan sejak 2015, akhirnya Pemerintah dan DPR RI mengesahkan muatan materi perubahan UU ITE. Berikut ini sejumlah muatan materi pokok revisi UU ITE yang diharapkan mampu menjawab dinamika TIK di Indonesia.

Pertama, menurunkan ancaman pidana pencemaran nama baik dari paling lama 6 tahun menjadi 4 tahun dan denda dari Rp 1 miliar menjadi Rp 750 juta. Selain itu, menurunkan ancaman pidana ancaman kekerasan dan atau menakut-nakuti pada pasal 29 dari paling lama 12 tahun penjara menjadi 4 tahun dan denda dari Rp 2 miliar menjadi Rp 750 juta.

Kedua, menambahkan ketentuan “right to be forgotten” atau kewajiban menghapus konten yang tidak relevan bagi penyelenggara sistem elektronik. Pelaksanaan “right to be forgotten” dilakukan atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.

Ketiga, memperkuat peran Pemerintah untuk mencegah penyebarluasan konten negatif di internet dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan pasal 40, yakni pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan informasi elektronik yang memiliki muatan yang dilarang. Pemerintah juga berwenang memutus akses dan/atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk memutus akses terhadap informasi elektronik yang bermuatan melanggar hukum.

Keempat, melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi atas pasal 31 ayat 4 yang mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi ke dalam Undang-Undang. Kelima, menambahkan penjelasan pasal 5 terkait keberadaan informasi elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah.

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Semuel Abrijani Pangerapan mengharapkan, revisi UU ITE ini semakin sempurna sehingga peran TIK dapat memberikan manfaat untuk kemajuan bangsa, mencerdaskan masyarakat, menjaga keutuhan bangsa, meningkatkan kesejahteraan umum, memajukan ekonomi, dan mengembangkan industri kreatif.

Selain itu, Rudiantara juga mengharapkan RUU tentang Perubahan atas UU ITE dapat semakin memberikan perlindungan hukum yang bernafaskan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia.

Revisi UU ITE diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat. Di sisi lain, masyarakat diharapkan semakin cerdas dalam menggunakan internet, menjaga etika dalam berkomunikasi dan menyebarkan informasi, serta menghindari konten berunsur SARA, radikalisme, dan pornografi. [*/MIL]