Saat buka TikTok, apakah yang muncul? Remaja menari tanpa tujuan. Sekilas media sosial sebatas buang-buang waktu. Namun, ketika gerakan Black Lives Matter marak di Amerika Serikat, TikTok ternyata jadi sarana advokasi memperjuangkan kesetaraan. Ternyata, media sosial berpotensi jadi wahana untuk hal-hal serius.

Pada masa pandemi, media sosial marak jadi penolong era kenormalan baru. Saat industri bertekuk lutut, pegawai yang kehilangan pekerjaan atau kena pemotongan menggunakan media sosial untuk mencari rezeki jual aneka barang dan jasa. Tema kesehatan mental pun menjamur, seiring warganet (netizen) mengais-ngais jawaban bagaimana beradaptasi memelihara kewarasan sementara kondisi tak pasti. Tak lagi pengisi waktu senggang, media sosial kini bahkan jadi penolong.

Bagaimana dengan pendidikan? Kebanyakan guru memandang media sosial laksana musuh lantaran memecah konsentrasi tugas akademik. Minat remaja pada media sosial sejatinya wajar. Tugas perkembangan usia tersebut adalah memperluas lingkaran sosial, yang melalui persahabatan mereka bertahap mandiri dari keluarga. Media sosial jadi tempat remaja bermain sambil belajar berdikari.

Melihat perkembangan di atas, mungkinkah media sosial bertransformasi jadi ranah akademik? Salah satu potensi adalah lewat mata pelajaran Bimbingan Konseling (BK). Kenyataan menunjukkan jumlah guru BK jauh lebih kecil dibandingkan kebutuhan akan layanan konseling yang dibutuhkan siswa menetapkan pilihan penting dalam hidup, misalnya memilih jurusan, pendidikan tinggi sampai karir. Saat kini siswa belajar dari rumah, guru BK semakin kehilangan interaksi, yang sejak awal sudah serba terbatas, kini jadi semakin terpagari layar laptop. Padahal, penggalian minat dan bakat tetap jadi capaian pembelajaran.

Tulisan ini merekomendasikan guru BK memanfaatkan media sosial. Dengan masuk ke wilayah yang semula momok, guru BK menjumpai siswa dalam lingkungan autentik tempat mereka merdeka. Jika tugas BK diubah jadi konten, siswa justru bisa tampil mengekspresikan diri. Contohnya mengenal diri, siswa membuat konten kreatif tentang siapa dirinya menggunakan ilustrasi dengan bahasa visual estetis dilengkapi keterangan gambar memikat. Contoh lain mengenal lingkungan sosial, siswa menyusun tugas kelompok berbentuk bincang-bincang membahas isu terkini keseharian via podcast. Lewat TikTok, siswa membuat video edukasi tentang tips menghindari relasi sosial tak sehat, seperti perundungan, kekerasan dalam berpacaran, bahaya narkotika dan obat-obatan terlarang, dan sebagainya.

Saat memilih jurusan, siswa melakukan riset Youtube menggali berbagai profesi menarik. Untuk mengenal karier, siswa melakukan wawancara dengan IGTV di Instagram dengan praktisi atau profesional dari lingkungan keseharian tempat mereka mengali seperti apa dunia kerja.

Ketika tugas ini diunggah siswa ke media sosial yang dikelola guru BK, guru BK dapat mencapai pembelajaran sekalipun berjarak sosial. Bagi siswa, karya mereka bahkan bisa jadi portofolio sebagai amunisi berkompetisi di pasar tenaga kerja.

Demi itu semua, guru BK memang sebaiknya bertransformasi, belajar peran baru, yaitu produser konten. Media sosial yang dulu musuh kini justru perlu dirangkul agar bisa jadi sarana guru BK mencapai capaian pembelajaran. (Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo MA MPsi Psikolog, Psikolog Pendidikan, Program Studi Psikologi Universitas Pembangunan Jaya)