Lebih dari satu tahun, pandemi Covid-19 di Indonesia belum berakhir. Hingga saat ini, jumlah kasus harian penambahan pasien SARS-COV-2 ini masih dinamis. Berbagai kebijakan telah diambil pemerintah dalam mengatasi pandemi global ini. Kebijakan terbaru yakni adanya larangan mudik pada momen Lebaran lalu. Namun, pada saat yang sama, pemerintah mengizinkan masyarakat untuk berwisata. Hal ini disayangkan oleh pakar kebijakan pemerintah dari Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya Prof Dr V Rudy Handoko MS. “Pemerintah sejak awal tidak terlalu siap membuat kebijakan dalam suasana darurat. Saat dihadapkan dengan keadaan tidak normal, sering kali kebijakan itu tergagap-gagap,” kata Rudy. Ia mencontohkan, saat pertama kali kasus pasien Covid-19 di Indonesia terdeteksi sejak Maret 2020, pemerintah menyebutkan penggunaan masker hanya untuk mereka yang sakit. Ternyata, masker justru merupakan salah satu yang wajib digunakan untuk mencegah penularan.

Prof Rudy memandang pemerintah selalu kebingungan ketika dihadapkan kepada pilihan mendahulukan ekonomi atau kesehatan. Padahal, menurut Prof Rudy, kebijakan yang dibuat bisa saja integratif. “Kenyataannya pemerintah tidak cukup membuat kebijakan yang good policy sehingga dua-duanya menjadi sesuatu yang saling kontradiktif,” paparnya. Lebih lanjut, ia menjelaskan, baik sektor ekonomi, kesehatan, maupun sektor lain bisa disinkronisasikan dan diintegrasikan menjadi smart policy apabila pemerintah memiliki fokus.

Selain itu, mencontoh kebijakan larangan mudik, Prof Rudy menyebut komunikasi publik yang dilakukan pemerintah cukup jelek. Hal ini membuat publik semakin bingung, bahkan menimbulkan ketidakpercayaan publik. “Kalau memang fokusnya Covid, kenapa wisata malah dibuka. Sebaliknya, kalau fokusnya ekonomi, kenapa mudik dilarang, padahal dengan adanya mudik, terjadi pertukaran ekonomi dari kota ke desa. Itu yang saya maksud dengan komunikasi publik yang jelek,” jelas Prof Rudy. Hal yang sama juga terjadi pada pemahaman vaksin. “Ketika ada vaksin yang meragukan, pemerintah tidak cepat dalam merespons supaya masyarakat punya kepastian,” imbuhnya.

Ia pun menekankan edukasi literasi utamanya terkait protokol kesehatan secara jelas menjadi salah satu cara pemerintah mengatasi pandemi. Asumsinya, dengan adanya edukasi literasi, di tempat wisata, kerja, hingga di mana pun, publik akan selalu mengingat agar selalu berhati-hati dan menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Selain itu, kepercayaan pemerintah terhadap publik juga penting dalam mengatasi pandemi di Indonesia. “Publik punya kearifan tersendiri dalam menyikapi permasalahan hidup. Misal, kalau literasi kuat, perlakukan masyarakat desa ke kota juga akan sama. Terlebih masyarakat punya nilai guyub. Orang lebih takut apabila desa menolak dia (pemudik). Hal-hal semacam itu yang tidak dimanfaatkan oleh pemerintah. Rasionalitas yang ada di pemerintah, tidak membaca rasionalitas yang ada di masyarakat,” paparnya. Namun, lanjut Rudy, tak dapat dimungkiri berbagai kebijakan pemerintah sudah cukup baik, “Sekali lagi, sering kali tidak bisa secara komprehensif dan integratif sehingga bisa menjadi good policy. Moga-moga ke depan, pejabat banyak belajar bagaimana mengambil sikap menghadapi kondisi tidak normal seperti ini.” [AYA]