Ketua Pansus I DPRD Provinsi Jawa Barat Daddy Rohanady menilai, wajar ketika di setiap periode anggota DPRD terjadi revisi tata tertib (tatib) karena tatib bersifat dinamis.

“Wajar jika di setiap periode ada revisi (tatib) karena perspektif berbeda. Per­spektif 120 orang berbeda ketika melihat sebuah tatib pasti melihat loophole yang sangat banyak ini memang bukan barang yang tidak pernah diubah. Yang namanya tatib pasti dinamis karena mengatur diri kita sendiri,” ucap Daddy di Gedung DPRD Provinsi Jawa Barat, Selasa (15/10/2019).

Ia menjelaskan, sebelum pansus tata tertib dikukuhkan, sebelumnya dibentuk tim penyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) oleh pimpinan DPRD Sementara. “Kami dibentuk berdasarkan surat tugas yang disampaikan oleh pimpinan DPRD Sementara, kemudian ketika pimpinan definitifnya ditetapkan kami dikukuhkan kembali.”

Dalam perjalanan pembentukan tatib, baik tim penyusun DIM maupun pansus, telah melakukan pembahasan dengan melibatkan berbagai pihak salah satunya dari Kementerian Dalam Negeri dan pakar akademisi. Setelah melakukan pembahasan, dihasilkan 15 item yang selanjutnya dibahas oleh pansus, dan pada akhirnya 15 item tersebut direduksi kembali karena beberapa item dianggap redundant, bahkan ada hal-hal yang diusulkan ternyata sudah di-cover, semisal sosialisasi.

“Memang ada usulan perluasan, tetapi sosialisasi sudah dipayungi di dalam tatib lama, bahkan UU Nomor 23 maupun PP Nomor 12 yang sekarang menjadi acuan sementara bahkan sudah mengatur sosialisasi perda. Peraturan perundang-undangan dae­rah khususnya itu sudah mengatur hak untuk melakukan itu, jadi tidak perlu lagi dilakukan revisi. Mungkin ada perubahan redaksional karena ada usulan dari kawan-kawan terkait dengan hal tersebut,” jelas Daddy.

Terkait adanya rencana penambah­an pimpinan DPRD Provinsi Jawa Barat yang sempat menyita perhatian, Daddy pun menjawab hal tersebut. Saat itu, dalam paripurna DPRD Provinsi Jawa Barat mengusulkan kepada Kementerian Dalam Negeri untuk menambahkan satu pimpinan.

Daddy mengatakan, berdasarkan Pasal 11 butir a itu hanya dicantumkan jumlah pimpinan yang jika jumlah anggota DPRD adalah 85–100 orang, pimpinannya adalah 1 ketua dan 4 wakil ketua.

“Partai Demokrat sebagai pemenang ke-6, kalau 5 kan terpenuhi, jadi Gerindra, PKS, PDI Perjuangan, Golkar, dan PKB sudah ter-cover di dalam PP 12 Tahun 2018. Tapi, bagaimana ketika kekosongan regulasi dikatakan di situ kita di kondisi existing 120 empirisnya kan 120 sekarang, di mana kemudian pengaturannya.”

Anggota DPRD Jawa Barat dari Fraksi Gerindra tersebut menyebut, saat ini, penggunaan koridor 85–100 sudah tidak relevan lagi sehingga hal itulah yang membuat Pansus I mengusulkan di paripurna soal penambahan jumlah pimpinan. “Spirit ini bukan tanpa latar belakang, tadi soal kekosongan hukum. Kedua, kita beranalogi dengan kawan-kawan pusat yang mau menambahkan jumlah pimpinan.”

Terkait dengan usulan penam­bahan tenaga ahli fraksi, Daddy menyebut selama ini sesuai dengan peraturan pemerintah hanya terdapat 1 tenaga ahli bagi 1 fraksi. Daddy menilai jumlah tersebut tidak sesuai dengan kondisi saat ini sehingga pihaknya mendorong jumlah tenaga ahli fraksi tersebut dapat disesuaikan dengan jumlah anggota fraksi.

FOTO-FOTO DOK DPRD PROPINSI JAWA BARAT

“Tenaga ahli fraksi itu kawan-kawan mintanya dalam PP hanya 1 bagaimana kalau anggotanya cuma 5 orang di fraksinya, dibandingkan dengan kami di Gerindra ada 25 orang. Satu melayani 5 dan satu melayani 25 orang itu akan keteteran,” ucap Daddy. Kemudian tenaga ahli AKD, selama ini Daddy menjelaskan pengadaan tenaga ahli dilakukan secara ad hoc dan insidental.

“Kita minta agar permanen sesuai dengan tupoksi masing-masing atau masing-masing AKD yang terkait. BP Perda, misalnya, praktis ahli hukum kemudian komisi satu misalnya pemerintahan, komisi dua perekonomian, komisi tiga khusus keuangan, komisi empat infrastruktur, dan komisi lima kesra,” terang Daddy.

Selain itu, Pansus I DPRD Provinsi Jawa Barat mengajukan soal sosialisasi perda dan 4 pilar. Menurut Daddy, DPRD merupakan lembaga legislatif sosialisasi 4 pilar yang dilakukan oleh MPR, dan MPR juga adalah representasi lembaga perwakilan rakyat dan DPRD Jabar adalah lembaga perwakilan rakyat. Oleh karena itu, wajar menurut Daddy bila kemudian DPRD Jabar juga ikut menyosialisasikan itu sepan­jang dibicarakan dengan TAPD atau pemda karena pemerintahan terdiri atas pemerintah dan DPRD sepanjang ada kemampuan keuangan daerah.

“Kalau itu dianggarkan dan ada di dalam anggarannya sah-sah saja itu menurut pakar. Jadi, menurut saya, sah-sah saja dilakukan, kemudian Kementerian Dalam Negeri mene­guhkan kembali soal itu tetapi tidak bisa digunakan sosialisasi 4 pilar. Dan ini akan tertuang dalam rencana kerja DPRD yang diberi nama sosialisasi peraturan perundang-undangan, baik itu perda maupun produk hukum lainnya. Bahwa frekuensinya akan seperti apa, itu akan terlihat pada frekuensi rencana kerja DPRD Provinsi Jawa Barat,” paparnya.

Terkait dengan staf khusus untuk masing-masing anggota DPRD Jawa Barat, Daddy menyebut Kementerian Dalam Negeri meskipun secara informal diputuskan tidak diberi, pihaknya membutuhkan pendamping yang nantinya akan memberikan dasar-dasar data. Kriteria juga sudah disiapkan. Pihaknya menentukan staf khusus masing-masing dewan minimal berpendidikan S-2. Hal itu karena jumlah anggota dewan periode 2019–2024 adalah 120 orang dengan latar belakang keilmuan yang berbeda-beda. [*]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 21 Oktober 2019.