Di tengah merebaknya pandemi Covid-19, partisipasi dari berbagai kalangan diharapkan untuk menanggulanginya. Tidak terkecuali dari perguruan tinggi. Para dosen lintas bidang keilmuan didorong untuk melakukan riset terkait Covid-19.

Hal itu mengemuka dalam konferensi video bertajuk “Prioritas Riset Nasional dan Penelitian Inovatif Terkait Pandemi Covid-19” yang diselenggarakan Jumat (8/5/2020).

Kegiatan yang dilakukan dalam bingkai Rencana Induk Riset Nasional 2017-2045 itu menampilkan Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi terkait Covid-19 Ristek/BRIN yang juga Rektor Universitas Trisakti Prof dr Ali Ghufron Mukti MSc PhD.

Dimoderatori Direktur Lembaga Penelitian Universitas Trisakti Dr Astri Rinanti MT, kegiatan diikuti seluruh wakil rektor, dekan, dan dosen Universitas Trisakti.

Di Indonesia, untuk menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi dibentuk badan riset dan inovasi nasional (BRIN).

Rektor Universitas Trisakti Prof dr Ali Ghufron Mukti MSc PhD.(Foto: dok. Universitas Trisakti)

“Pemerintah melalui BRIN mendorong peneliti khususnya dosen untuk melakukan penelitian khususnya dalam penanganan Covid-19 yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat,” ujar Ghufron.

Terkait hal itu, di Universitas Trisakti, telah disusun Program Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19. Sejumlah program yang dilakukan meliputi, pertama, pencegahan, melalui tanaman obat/empon-empon, vaksin, suplemen dan alat pelindung diri (APD); kedua, skrining dan diagnosis berupa rapid test berbasis antibodi dan antigen, test kit RT-PCR, dan mobile lab; ketiga, alat kesehatan dan pendukung seperti ventilator dan robot pemberi obat; serta keempat, obat dan terapi.

Adapun kendala yang dihadapi, ungkap Ghufron, yaitu sumber daya manusia (SDM) dan anggaran riset yang dimiliki masih jauh dari standar.

“Untuk SDM, peneliti berkualitas S3 hanya 15 persen dari total peneliti, 1,071 per juta penduduk dan rasio kandidat SDM Iptek masih rendah, di angka 5,6 persen. Sedangkan anggaran riset, kurangnya regulasi yang mendukung anggaran riset masih rendah, sebesar 0,25 persen per GDP,” paparnya. [*]