Pelayanan keperawatan merupakan pelayanan integral dari pelayanan kesehatan, dengan pendekatan care (perawatan), bukan cure (pengobatan). Hal ini dengan jelas menggambarkan pelayanan keperawatan berbeda dengan pelayanan medis. Namun, keduanya saling bersinergi memberikan pelayanan terintegrasi yang berkesinambungan kepada pasien sebagai pusat pelayanan (patient centered care).

Perawat dalam melaksanakan perannya melakukan asuhan keperawatan, akan berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya. Salah satunya, tenaga medis atau dokter, yang perawat menerima pelimpahan wewenang dari tenaga medis. Pelimpahan wewenang medis dapat dilakukan secara delegatif dan mandat (Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014).

Pelimpahan wewenang medis tersebut memiliki konsekuensi tanggung gugat dan tanggung jawab profesi. Permasalahan terjadi karena batasan pelimpahan kewenangan yang belum jelas. Pelaksanaan pelimpahan wewenang tersebut berdampak pada aspek legal ketika terjadi tuntutan karena kelalaian maupun kesalahan tindakan yang berakibat pasien cedera.

Hal ini dapat disebabkan wewenang dilimpahkan pada perawat yang kurang kompeten maupun overdelegation (kelebihan delegasi) di luar kewenangan sehingga yang menerima tidak mampu melaksanakannya.

Untuk itu, pentingnya kesadaran yang tinggi bagi pihak-pihak pengemban profesi dan menjunjung tinggi nilai-nilai dalam sumpah jabatan, serta kode etik profesi dan standar praktik profesi, sebagai payung hukum profesi. Perlunya batasan yang jelas dalam pengaturan regulasi terkait pelimpahan wewenang tersebut, khususnya di Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 maupun turunannya PMK 26 Tahun 2019 sehingga tidak terjadi ambiguitas dalam pelaksanaannya yang akan berdampak pada mutu dan keselamatan pasien.

Konteks dan urgensi masalah

Pelayanan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan yang ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit (RI, 2014). Praktik keperawatan adalah pelayanan yang diselenggarakan oleh perawat dalam bentuk asuhan keperawatan.

“Namun, pada praktiknya, perawat selaku profesional pemberi pelayanan kesehatan justru lebih banyak melakukan pelimpahan tugas wewenang dari tenaga medis atau dokter, dari pada asuhan keperawatan sendiri, khususnya di rumah sakit.” Pelimpahan wewenang tersebut diatur dalam regulasi Undang Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang keperawatan, pasal 32 “Mengenai pelimpahan wewenang medis kepada perawat harus dilakukan secara tertulis, dan hanya dapat diberikan kepada perawat profesional dan perawat vokasi yang kompeten atau terlatih.”

Pelimpahan wewenang medis tersebut dibedakan menjadi dua, “Pelimpahan wewenang secara delegatif”, yaitu pelimpahan wewenang secara delegatif untuk melakukan sesuatu tindakan medis diberikan oleh tenaga medis kepada perawat dengan disertai pelimpahan tanggung jawab, dan “Pelimpahan wewenang secara mandat” yakni pelimpahan wewenang secara mandat diberikan oleh tenaga medis kepada perawat untuk melakukan suatu tindakan medis di bawah pengawasan.

Tanggung jawab atas tindakan medis pada pelimpahan wewenang mandat sebagaimana dimaksud, berada pada pemberi pelimpahan wewenang. Hal ini menjadi dilema etis bagi profesi perawat karena pada praktiknya justru memberatkan perawat dalam melakukan pelayanan keperawatan karena jika terjadi tuntutan akibat kelalaian perawat karena terjadi kesalahan tindakan yang berdampak cedera pada pasien, siapakah yang akan bertanggung jawab. Apakah batasan pelimpahan wewenang medis sudah jelas? Selain itu, sudah sesuaikah kompetensi yang menerima wewenang tersebut?

Hal- hal tersebut belum tergambar jelas dalam undang- undang keperawatan, maupun dalam PMK 26 Tahun 2019 (turunan kebijakan dari Undang-Undang keperawatan), jika dikatakan vokasi yang terlatih dengan kompeten yang diperlukan, indikator parameternya pada kompetensi apa yang dikatakan sudah sesuai? Belum tergambar jelas dalam kebijakan tersebut, hal ini sungguh menjadi konsekuensi berat, bila dikaitkan dengan tanggung gugat dan tanggung jawab, serta juga berdampak pada mutu pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien, yang menjadi hak semua pasien.

Profesi keperawatan merupakan profesi yang sangat menghargai segala aspek kehidupan manusia dengan memandang manusia itu unik, hal ini berlandaskan filosofi yang luhur yang meliputi tiga unsur utama, human, holism, dan care. Dari ketiga unsur tersebut, diyakini bahwa manusia sebagai pusat dari asuhan keperawatan dan care/caring sebagai landasan dalam asuhan keperawatan (Nursalam, 2008).

Melihat implikasi kebijakan tersebut, terkait pelimpahan wewenang medis kepada perawat, sangat penting perlu dianalisis lebih dalam, terkait batasan dan tanggung jawab moral demi mutu dan keselamatan pasien.

Kritik terhadap Kebijakan yang ada

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, menjelaskan bahwa dalam menyelenggarakan praktik keperawatan, perawat bertugas sebagai pemberi asuhan keperawatan, penyuluh dan konselor bagi klien, pengelola pelayanan keperawatan, peneliti keperawatan, pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang dan atau pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu.

Pelimpahan wewenang sudah diperinci akan tetapi belum ada batasan yang jelas terkait pelimpahan wewenang medis kepada perawat, baik yang bersifat delegasi maupun mandat. Demikian pula dalam turunannya PMK 26 Tahun 2019, tidak secara obyektif dijelaskan batasan tugas yang dilimpahkan dan batasan jelas bagi yang menerima pelimpahan wewenang tersebut, hal ini menjadi konsekuensi yang akan berdampak pada aspek legal terkait tanggung gugat dan tanggung jawab profesi.

Pelimpahan wewenang medis tersebut memiliki konsekuensi tanggung gugat dan tanggung jawab profesi, permasalahan terjadi karena batasan pelimpahan kewenangan yang belum jelas. Terutama dalam pelimpahan wewenang secara delegatif, yang bentuk tanggung jawabnya secara penuh berpindah kepada yang menerima delegasi. Hal ini menjadi konsekuensi berat jika yang menerima delegasi hanya sebatas perawat vokasi pendidikan diploma keperawatan (jelas secara strata pendidikan tidak sejajar dengan medis) atau pendidikan S-1 Ners (profesional) yang masih baru tanpa pengalaman.

Meskipun pada Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 menjelaskan pelimpahan wewenang diberikan pada perawat profesional (S-1 ners) dan perawat vokasi (D-3) yang memiliki pelatihan sesuai kompetensi yang dibutuhkan, belum jelas batasan kompetensinya dan kewenangannya sehingga dapat terjadi overdelegation (kelebihan delegasi) maupun improperdelegasi (pelimpahan wewenang yang tidak tepat).

Demikian juga dengan pelimpahan wewenang mandat, dalam regulasi dijelaskan pemberian mandat harus dalam pengawasan yang memberikan mandat karena tanggung jawab masih melekat pada pemberi mandat (Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014), yang pelaksanaannya tidak terlaksana demikian, hal ini berdampak konsekuensi yang berat dalam aspek legal bagi perawat serta berimplikasi pada mutu dan keselamatan pasien.

Data penelitian (Purnawan & Wujoso, 2017) yang dilakukan di Puskesmas Cempaka, Kalimatan Tengah, pasien yang berkunjung rata-rata per hari 50 pasien. Tindakan medis dilakukan dokter 20 persen dan 80 persen dilakukan oleh perawat, termasuk memberikan diagnosis dan memberikan resep obat kepada pasien (pelimpahan wewenang dilakukan secara lisan).

Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan tentang pentingnya perlindungan hak-hak konsumen bahwa ”perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Hal ini sangat jelas bahwa pelayanan kesehatan harus diberikan oleh tenaga kesehatan yang kompeten dengan lingkup tanggung jawab sesuai batas kewenangan.

Alternatif kebijakan

Menurut penulis, pengelolaan regulasi terkait pelimpahan wewenang medis kepada perawat, perlu dipertimbangkan adanya kebijakan alternatif yang dapat diambil, terutama melakukan revisi kebijakan yang telah ada maupun membuat kebijakan turunan baru dari UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang keperawatan berupa Peraturan Menteri Kesehatan yang lebih memperincikan batasan-batasan tindakan pelimpahan wewenang yang lebih jelas dari tenaga medis pada tenaga keperawatan tanpa menghilangkan otonomi profesi keperawatan, yang jelas berbeda dengan profesi medis, yaitu keperawatan dengan pendekatan to care, sedangkan kedokteran pada pendekatan to cure.

Secara harfiah, dalam pelimpahan wewenang tindakan medik dari dokter kepada perawat hanya dapat dilakukan secara tertulis sesuai Pasal 32 Poin 1 UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan. Di samping itu jenis tindakan yang dilimpahkan harus jelas sehingga yang dilimpahkan bersifat per kasus tidak bersifat secara general. Pelimpahan secara delegatif hanya dapat dilimpahkan kepada perawat yang memiliki kompetensi sesuai yang diperlukan dan pelimpahan secara mandat diberikan kepada perawat di bawah pengawasannya.

Di sisi lain, dokter dalam melimpahkan wewenang tindakan medik harus disesuaikan dengan kondisi perawat tersebut, tentunya harus lebih diutamakan dilimpahkan kepada perawat senior yang sudah banyak memiliki pengalaman. Sehingga ketika terjadi pelimpahan wewenang tindakan medik dari dokter dapat berjalan dengan baik dan dapat diminimalisasi hal-hal yang tidak diinginkan.

Untuk tindakan-tindakan, harus dibedakan mana yang dilimpahkan secara delegatif dan secara mandat. Jadi, apabila pelimpahan wewenang tindakan medik dari dokter kepada perawat dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dokter dan perawat akan sama-sama terlindungi oleh hukum dan tentunya masyarakat mendapatkan pelayanan dengan maksimal.

Batasan-batasan yang jelas terkait regulasi tersebut, akan menjadi payung hukum yang melindungi masing-masing profesi, meningkatkan tanggung gugat dan tanggung jawab profesi, serta tercipta keharmonisan yang sinergi sebagai interkolaborasi yang baik antarprofesi dalam mengupayakan pelayanan kesehatan berkesinambungan yang bermutu dengan mengutamakan keselamatan pasien.

Perlu juga disikapi secara responsif, oleh institusi yang memberikan pelayanan kesehatan baik pratama maupun paripurna, dari tingkat puskesmas hingga rumah sakit dengan membuat kebijakan lokal terkait batasan-batasan yang lebih detail dan jelas terkait pelimpahan wewenang tersebut dalam SPKK (Surat Penugasan Kewenangan Klinis) oleh pemimpin tertinggi institusi, Standar Operasional Prosedur (SPO), standar praktik profesi dan regulasi lainnya yang menjamin keamanan perawat dalam memberikan praktik keperawatan, baik secara mandiri maupun kolaboratif.

Mengingat hal tersebut, penting bagi institusi pendidikan sebagai pencetak lulusan tenaga keperawatan, harus memiliki integritas tinggi dan menjamin kualitas lulusan kompeten tidak hanya predikat lulus dengan sertifikasi, tetapi menjamin kualitas lulusan kompeten dan siap memberikan asuhan keperawatan yang holistis di mana pun perawat berkarya. Perlunya LAM- PTKes, selaku badan akreditasi pendidikan mandiri menganalisis indikator parameter menilai mutu pendidikan yang sungguh layak lulus sebagai institusi pendidikan sehingga output lulusannya siap bekerja di institusi rumah sakit.

Rekomendasi

Beberapa rekomendasi yang bisa dipertimbangkan, sebagai berikut.

  1. Bagi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, melakukan revisi kebijakan atau kebijakan turunannya dari UU No.38 Tahun 2014 tentang keperawatan, dengan lebih menjelaskan batasan dalam pelimpahan wewenang tersebut, dan konsekuensi legal terkait ketidakpatuhan.
  2. Rumah sakit selaku institusi tempat perawat bekerja, harus mempunyai kebijakan lokal yang mengatur batasan pelimpahan wewenang, baik yang bersifat delegatif maupun mandat, melalui Standar Operasional Prosedur (SOP), petunjuk kerja, Surat Penugasan Kewenangan Klinis dan regulasi lainnya sebagai perlindungan praktik keperawatan, baik mandiri maupun kolaborasi.
  3. Institusi pendidikan memiliki integritas tinggi dalam pelaksanaan trilogi pendidikan, guna menjamin kualitas lulusan perawat yang tidak sekadar lulus, tetapi kompeten dan siap berkarya di ranah kesehatan.
  4. Perlunya LAM-PTKes, selaku badan akreditasi pendidikan mandiri menganalisis indikator parameter menilai mutu pendidikan yang sungguh layak lulus sebagai institusi pendidikan sehingga output lulusannya siap bekerja di institusi rumah sakit.
  5. Kesadaran tinggi dari seluruh profesi keperawatan untuk disiplin melakukan pencatatan lengkap terkait semua asuhan yang diberikan, baik mandiri maupun kolaborasi terkait pelimpahan kewenangan, tanpa mengabaikan pentingnya kompetensi interkolaborasi yang baik dengan profesi lain.
  6. Perlunya kesadaran yang tinggi bagi pihak-pihak pengemban profesi, dan menjunjung tinggi nilai-nilai dalam sumpah jabatan, serta kode etik profesi dan standar praktik profesi, sebagai payung hukum profesi. [Eva Yuliana]