Perkembangan teknologi informasi telah menciptakan “ruang baru” yang disebabkan oleh hadirnya ruang digital. Ruang baru ini mengalihkan berbagai aktivitas manusia (politik, sosial, ekonomi, kultural, spiritual, seksual) di “dunia nyata” ke dalam berbagai bentuk substitusi artifisial. Terjadi migrasi manusia dari “jagad nyata” ke “jagad maya”; komunikasi, interaksi, dan kolaborasi di media sosial. Berbagai cara hidup yang sebelumnya dilakukan berdasarkan relasi-relasi alamiah (natural), kini dilakukan dengan cara baru, yaitu cara artifisial. Kehidupan baru ini dibangun oleh model kehidupan yang dimediasi secara mendasar oleh teknologi.

Menyikapi hal itu, maka lembaga Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital dalam menggelar webinar dengan tajuk “Bangun Demokrasi di Media Digital”. Webinar yang digelar pada Senin, 8 November 2021, pukul 13.00-15.30 diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.

Dalam forum tersebut hadir Muhammad Mustafied (Sekretaris Nur Iman Foundation Mlangi Yogyakarta), Mustaghfiroh Rahayu, MA (Dosen Sosiologi Universitas Gadjah Mada), Rhesa Radyan Pranastiko (Kaizen Room), Anggun Puspitasari, SIP, MSi (Dosen Hubungan International Universitas Budi Luhur Jakarta), dan Julia RGDS, BBA (Putri Tenun Songket Indonesia) selaku narasumber.

Dalam pemaparannya, Mustaghfiroh Rahayu, MA menyampaikan informasi penting bahwa “Secara historis, demokrasi merupakan puncak dari ide untuk membatasi kekuasaan di satu sisi, dan menegakkan kedaulatan rakyat di sisi lain: trias politika, konstitusi dan konstitusionalisme; civil society dan kewarganegaraan; tata kelola pemerintahan demokratis, dan lain sebagainya. Lima syarat terwujudnya negara demokratis yaitu dengan partisipasi efektif, agenda kontrol, kesetaraan pemungutan suara, pemahaman yang tercerahkan, serta inklusivitas. Dalam membahas keterkaitan antara pandemi dan demokrasi, laporan Indeks Demokrasi yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit menunjukkan terjadinya dekadensi demokrasi Indonesia di tahun 2020. Indonesia menempati peringkat ke-64 dengan skor 6,3 yang merupakan skor terendah selama 14 tahun terakhir. Demokrasi menemukan tantangannya di masa pandemi karena banyaknya partisipasi publik yang tereduksi. Padahal, media digital seharusnya dapat dimanfaatkan untuk memperluas ruang-ruang partisipasi publik secara efektif dalam public policy making process melalui teknologi digital, sehingga meningkatkan kesetaraan dalam hak politik.”

Julia RGDS, BBA. selaku narasumber Key Opinion Leader juga menyampaikan bahwa kalau kita tidak cakap digital, kita akan lebih mudah percaya dengan hoaks dan menjadi tim yang provokatif. Dengan ketidakcakapan digital, maka menjadi boomerang yang dapat memecah belah bangsa. Dengan mengedukasi diri, kita bisa menjadi generasi yang cakap digital dan berbudi. Semua orang mempunyai hak bagaimana mereka mengelola kehidupan mereka dan hal itu sah-sah saja, tetapi sebagai manusia kita harus menerapkan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila, bahwa semua orang adalah equal walaupun kita berbeda keyakinan. Cinta dan kasih; ketika kita memiliki itu akan lebih mampu mengontrol diri dan mengontrol apa yang kita lakukan, apakah itu menyakiti orang lain atau tidak. Ia mengajak kita untuk sama-sama menjadi agen dari perubahan itu sendiri. Sebagai generasi muda harus bisa memilah mana berita yang valid, sehingga ketika kita membaca sebuah artikel kita tahu mana artikel yang hanya opini atau fakta. Jangan langsung percaya sebuah postingan ketika kita sendiri sudah mampu untuk memfilter informasi dan mengontrol diri. Jangan pernah puas untuk berhenti belajar dengan mengikuti literasi digital seperti sekarang ini.

Para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Aliza Maryam Hanifa menyampaikan pertanyaan “Demokrasi sangatlah erat di Indonesia, maka dari itu kritik dan saran pun masih terbuka untuk masyarakat luas. Seiring berjalannya teknologi yang maju, masyarakat cenderung mengkritik melalui smartphone atau yang lainnya. Pertanyaan saya, kenapa masih ada masyarakat yang mengungkapkan kritik masih dibungkam dalam media sosial? Apakah dalam hal kritik harus beretika? Lalu kritikan yang beretika itu bagaimana?”

Pertanyaan tersebut pun dijawab dengan lugas oleh Mustaghfiroh Rahayu, MA, bahwa “Jangan sampai karena ingin mengkritik kita menyampaikan dengan emosi dan menyampaikan kata yang tidak baik; sampaikan dengan sopan dan bahasa yang baik. Jangan asal kritik dan ikuti dengan saran, sehingga tidak asal melontarkan celaan. Kritik harus beretika dengan menggunakan bahasa yang baik sesuai dengan fakta, jangan sampai terjerumus ke dalam hal yang seperti itu, kalau memang sudah berdasarkan faktanya maka sampaikan dengan baik. Jangan menggunakan kata-kata yang kasar, dan sebaiknya diikuti dengan saran-saran. Memang ada beberapa kasus pembungkaman kritik, tetapi di era yang demokratis seperti ini kontrol publik juga sudah kuat.”

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Timur. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten. Juga, bagi yang ingin mengetahui tentang Gerakan Nasional Literasi Digital secara keseluruhan bisa ikuti akun Instagram @siberkreasi.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat.