Pemerintah melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi terus menggulirkan dana desa serta melakukan pendampingan pemanfaatan dana desa untuk mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan pemerataan ekonomi di seluruh pelosok Tanah Air.

Dari 74.957 desa di Tanah Air yang menerima dana desa, salah satunya Desa Cupunagara, Kecamatan Cisalak, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Tahun ini, Desa Cupunagara menerima dana desa sebesar Rp 1,13 miliar. Terletak paling ujung di Kabupaten Subang serta kondisi jalan desa yang rusak dan belum teraspal, membuat Desa Cupunagara terisolasi dari desa lainnya.

Kepala Desa Cupunagara Wahidin Hidayat mengatakan, sejak pemerintah serius menggulirkan dana desa ke Desa Cupunagara, warga desa merasakan manfaat langsungnya. Salah satunya, perbaikan jalan desa.

“Baru 3 tahun terakhir ini, warga Desa Cupunagara akhirnya bisa merasakan jalan desa yang beraspal. Setelah diperbaiki menggunakan dana desa untuk melakukan pengaspalan 15 kilometer jalan desa dari total 35 kilometer jalan desa yang masih berbatu dan rusak berat,” tutur Wahidin.

Perbaikan jalan ini memberi dampak langsung dalam hal biaya transportasi warga yang mengangkut hasil pertanian ke pasar. “Sebelum jalan diaspal, ongkos angkutan kendaraan dari desa ke pasar lembang pulang pergi Rp 60.000. Namun, sejak jalan diaspal, ongkos angkutan turun menjadi Rp 40.000 pulang pergi,” tutur Jajang Saripudin (42 tahun), petani kopi Desa Cupunagara.

Produk unggulan

Dana Desa juga dimanfaatkan untuk pembentukan BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) Mukti Raharja yang berperan penting dalam memasarkan produk unggulan desa yaitu kopi arabika yang diberi merek “Kopi Canggah”.

“Sejak dulu, warga Desa Cupunagara sudah menanam kopi, namun yang ditanam hanyalah jenis kopi robusta. Namun, sejak 3 tahun terakhir ini, warga Desa mulai menanam kopi arabika. Kopi arabika khas Desa Cupunagara memiliki rasa manis yang unik karena ditanam di ketinggian di atas 1.200 meter di atas permukaan laut,” ungkap Wahidin.

Dari total 300 hektar lahan yang ditanami kopi, sebanyak 100 hektar ditanami kopi arabika, sedangkan sisanya ditanami kopi robusta. Dari 100 hektar kopi arabika yang ditanam sejak 3 tahun lalu, baru 15 hektar yang bisa dipanen. Dari 15 hektar penanaman kopi arabika, bisa menghasilkan 30-40 ton biji kopi gelondongan. Dari biji kopi ini kemudian diolah menjadi green bean sebanyak 10 ton per tahun.

Melalui BUMDes dan Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Subang, warga Desa Cupunagara diberikan penyuluhan dan edukasi bagaimana menanam dan memetik biji kopi arabika dengan benar. Penyuluhan ini dirasakan sangat membantu petani kopi, Tjutju (60 tahun) yang selama ini menjual biji kopi gelondongan ke tengkulak dengan harga murah.

“Kehadiran BUMDes sangat membantu karena saya awam di bidang pemasaran. Dengan adanya BUMDes, saya cukup menjual kopi ke BUMDes dengan harga lebih tinggi daripada harga jual di tengkulak. Kalau jual di tengkulak harga biji kopi dihargai pada kisaran Rp 5.000/kilogram, tetapi bila dijual ke BUMDes bisa mencapai Rp 7.000/kilogram hingga Rp 9.000/ kilogram,” tutur Tjutju.

Sementara itu, Jajang Saripudin menyatakan, dirinya lebih senang menjual biji kopi ke BUMDes daripada ke tengkulak. Selain karena harga jualnya lebih tinggi, pembayaran dari BUMDes dilakukan secara tunai dan langsung.

Kepala BUMDes Mukti Raharja Risma Wahyuni Hidayat mengungkapkan, Badan Usaha Milik Desa Mukti Raharja baru berdiri akhir tahun 2017 dengan unit usaha kopi dan air isi ulang galon. Omzet per bulannya saat ini baru Rp 10 juta dari modal awal Rp 50 juta dari dana desa.

“Dengan adanya BUMDes, nilai ekonomi kopi arabika warga Desa Cupunagara naik berkali lipat. Biji kopi arabika dari warga desa dibeli oleh BUMDes lalu diolah dan diberikan merek Kopi Canggah. Kopi Canggah dijual ke kafe-kafe di kota Subang, Tasikmalaya, Cianjur, Bandung, dan sekitarnya dengan harga Rp 90.000/kilogram dalam bentuk green bean,” papar Risma. Saat ini, BUMDes menjual kopi arabika natural, semi wash, full wash dan honey.

Potensi lain Desa Cupunagara yang bisa dikembangkan adalah panorama alamnya yang indah, terutama di desa wisata Puncak Eurad yang berada di ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut. “Ke depan, saya ingin mengintegrasikan desa wisata dengan kebiasaan minum Kopi Canggah,” ujar Wahidin. [Viliny Lesmana/StratX KG]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 25 September 2018.