Memiliki anak yang sehat dan cerdas adalah dambaan setiap orangtua. Dambaan itu merupakan investasi jangka panjang untuk masa depan yang lebih baik dan gemilang. Tak heran, orangtua melakukan segala upaya agar anaknya sehat dan cerdas.
Mereka memberikan pola asuh yang optimal dengan memperhatikan makanan yang sehat, segala bentuk keterampilan sejak usia dini yang diberikan melalui berbagai kursus, serta pendidikan melalui sekolah dengan pilihan yang dianggap berkualitas, serta upaya lain yang mungkin dilakukan. Lantas, apakah anak-anak Indonesia sudah cerdas?
IPM Indonesia masih rendah
Walaupun banyak generasi muda yang memberikan prestasi yang membanggakan, jika dibandingkan dengan kecerdasan anak-anak dari negara lain, tingkat kecerdasan anak Indonesia masih rendah. Pada 2012, Organisation for Economic Co-operation and Development – Programme for International Student Assessment (OECD PISA) meneliti kemampuan anak di 65 negara dalam bidang membaca, matematika, dan sains. Hasilnya, anak Indonesia berada di posisi ke-64 dari 65 negara yang diteliti. Jadi, masih jauh tertinggal dari Singapura (posisi ke-2), Vietnam (posisi ke-17), Thailand (posisi ke-50), dan Malaysia (posisi ke-52).
Hal ini mengindikasikan kualitas sumber daya manusia Indonesia masih rendah. Bahkan, bila dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI), Indonesia berada di peringkat ke-113 dari 188 negara pada tahun 2015 (www.id.undp.org). Jadi, masih jauh tertinggal. Mengapa bisa terjadi demikian?
Salah satu faktor yang menjadi penyebab menurunnya kualitas sumber daya manusia adalah kondisi kekurangan gizi yang menahun pada masa balita. Kekurangan gizi menahun ini menghasilkan kondisi 3G, yaitu gagal tumbuh, gagal kembang, dan gangguan metabolisme pada balita atau stunting.
Stunting kondisi gagal tumbuh pada balita akibat kekurangan gizi kronis terutama pada sejak masa hari pertama kehidupan (konsepsi) hingga usia 2 tahun. Akibatnya, perkembangan otak dan tumbuh kembang anak akan terhambat. Ini berdampak pada produktivitas dan kualitas sumber daya manusia. Masalah stunting ini terjadi pada 37,2 persen atau hampir 9 juta anak Indonesia (Riskesdas 2013).
Pencegahan
Untuk mencegah anak mengalami stunting, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, pastikan ibu hamil mendapat pelayanan kesehatan dan gizi khususnya asupan gizi sejak masa kehamilan sesuai untuk kebutuhan ibu dan janin dalam kandungan, dalam periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan. Selain itu, ibu hamil harus minum tablet tambah darah (TTD).
Faktor ini menjadi hal utama yang penting dalam memastikan kecerdasan anak sejak janin dalam kandungan. Asupan gizi digunakan untuk perkembangan fisik dan otak janin. Kedua, berikan ASI eksklusif sampai anak berusia 6 bulan dan diteruskan sampai umur 2 (dua) tahun.
Setelah bayi lahir, pemberian ASI eksklusif merupakan bagian terpenting bagi kecerdasan anak. Banyak penelitian yang dilakukan mengenai kaitan ASI dan kecerdasan anak di kemudian hari. Menurut hasil studi dalam jurnal The Lancet Global Health, semakin lama anak mendapatkan ASI (hingga 12 bulan), maka makin besar manfaat yang didapat. Contohnya, saat mengenyam pendidikan, anak yang mendapat cukup ASI, kecerdasannya akan terus meningkat. Ia juga akan lebih mampu menempuh semua jenjang pendidikan.  Dengan demikian, ia juga akan lebih mampu untuk menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi.
Ketiga, pantau tumbuh kembangnya. Perkembangan si kecil juga tergantung pada pertumbuhannya (tinggi badan, berat badan, lingkar kepala, dan lingkar lengan atas), serta kemampuan yang telah dicapai menurut tonggak-tonggak perkembangan sesuai usianya. Untuk itu, ibu sebaiknya selalu mengunjungi posyandu atau layanan kesehatan terdekat untuk memantau tumbuh kembangnya.
Terakhir, pastikan bahwa ibu hamil dan ibu balita paham akan kebutuhan kesehatan dan gizinya dengan melakukan konsultasi dengan tenaga kesehatan. [IKLAN/*/ACA]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 20 Februari 2018