Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.
Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.
Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tajuk “Literasi Digital Menghadapi Hoax di Masa Pandemi”. Webinar yang digelar pada Kamis (8/7/2021) di Kota Tangerang itu diikuti oleh puluhan peserta secara daring.
Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Aina Masrurin (Media Planner Ceritasantri.id), Denisa N Salsabila (Kaizen Room), Novi Widyaningrum SIP MA (Researcher, Center for Population & Policy Studies), dan Sri Astuty SSos MSi (staf pengajar Universitas Lambung Mangkurat). Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety.
Hoaks
Aina Masrurin membuka webinar dengan mengatakan, hoaks dengan isu agama menjadi salah satu hoaks terpopuler di Indonesia.
“Prevalensi masyarakat Indonesia yang percaya hoaks masih cukup tinggi. Status sosial ekonomi kerap kali tidak menjadi penentu sikap seseorang terhadap hoaks,” kata Aina.
Ia menambahkan, hoaks dibedakan menjadi tiga, yakni misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Adapun ciri-ciri hoaks yakni berita bombastik, judul serta foto sensasional dan provokatif, mengambil tema yang sedang hangat dan kontroversial.
“Selain itu juga biasanya menyasar isu SARA dan fanatisme disertai suruhan untuk menyebarkan dengan iming-iming imbalan hadiah, pahala, atau keselamatan. Sumber berita berasal dari sumber yang tidak kredibel,” paparnya.
Denisa N Salsabila sebagai seorang narasumber mengatakan, etika digital (digital ethics) adalah kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiket) dalam kehidupan sehari-hari.
“Bahwa menggunakan media digital mestinya diarahkan pada suatu niat, sikap, dan perilaku yang etis demi kebaikan bersama. Demi meningkatkan kualitas kemanusiaan,” tutur Denisa.
Ia juga mengajak masyarakat untuk waspada terhadap informasi palsu dan belum tentu kebenarannya (hoaks). Berita bohong atau hoaks adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya.
Hoaks bertujuan membuat masyarakat merasa tidak aman, tidak nyaman, dan kebingungan. Dalam kebingungan, masyarakat akan mengambil keputusan yang lemah, tidak meyakinkan, dan bahkan salah.
Etika
Etika yang baik dalam penggunaan internet yaitu mematuhi hukum – hukum atau norma – norma yang berlaku dalam dunia internet, tidak melakukan hal hal yang dapat merugikan para pengguna internet lainnya, dan tidak melakukan seruan atau ajakan ajakan yang sifatnya tidak baik.
“Selalu memberikan informasi – informasi yang baik dan berguna bagi para penggunaan internet lainnya. Ingatlah, bahwa jejak digital mungkin saja tidak akan bisa dihapus. Maka, sampaikan dengan bijak, sopan, dan santun serta mengikuti etika sekaligus peraturan yang berlaku,” jelas Denisa.
Sementara Novi Widyaningrum mengatakan, dampak negatif di dunia digital yakni terkait dengan keamanan data, kehidupan sosial, ketentuan hak cipta, kecanduan, kejahatan siber dan terperangkap isu hoaks.
Orang membuat konten negatif biasanya memiliki motif ekonomi, mencari kambing hitam, politik (menjatuhkan kelompok politik tertentu), memecah belah, bahkan iseng atau sekedar cari perhatian.
“Mengapa orang percaya hoaks? Sering kali disebabkan keterbatasan informasi, tingkat popularitas informasi, ketertarikan, dan confirmation bias. Maka dari itu diperlukan etika dalam bermedia sosial, serta cakap dalam menilai dan memverifikasi konten negatif/hoaks,” paparnya.
Sri Astuty sebagai pembicara terakhir memaparkan, tantangan keamanan digital yakni ancaman digital terus berkembang, kompleksitas identitas dan data pribadi makin sulit dilindungi, strategi penipuan semakin beragam, dan rekam jejak sulit dihapus dan selalu menjadi incaran.
“Tak kalah penting, konten digital yang semakin menarik dan makin terbatasnya ruang bermain, dapat meningkatkan risiko kecanduan pada anak,” tutur Sri. Selain itu, ia mengatakan, ada beberapa golongan misdisinformasi.
“Salah satunya adalah infodemi, yakni gelombang informasi yang berlebihan tentang suatu masalah, ada yang akurat dan tidak akurat, yang membuat orang-orang kesulitan untuk menemukan sumber informasi dan panduan tepercaya yang bisa diandalkan,” pungkasnya.
Menurut Sri, persoalannya adalah teknologi itu hanya dapat memitigasi gejala-gejala yang muncul dalam kekacauan informasi, tetapi tidak menyasar akar masalahnya. Kecenderungan kita untuk mempercayai mentah-mentah apa yang kita baca di internet dan kegagalan kita untuk memverifikasinya, ini yang seharusnya diatasi.
Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilakan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Bow menanyakan, bagaimana cara memastikan berita hoaks atau tidak mengingat banyak sekali orang percaya dengan broadcast message di aplikasi Whatsapp, yang belum tentu kebenarannya.
“Ciri-cirinya dari segi judulnya bombastis, dari segi alamat tidak jelas mengandung unsur-unsur segera membagikannya. Kita bisa melaporkan check di polisi online atau mengajukan apakah ini hoaks apa tidak. Atau bisa kirim ke Kominfo email. Kalau pakai social media bisa di fasilitas laporkan di media sosial agar bisa diblok,” jelas Aina.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Tangerang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan, jika turut didukung oleh semua pihak.