Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.

Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.

Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Go Cashless: Jenis-jenis Transaksi Digital di Era New Normal”. Webinar yang digelar pada Rabu, 13 Oktober 2021 di Kabupaten Tangerang, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Zusdi F Arianto (Ketua Yayasan Quranesia Amrina Rasyada), Divdeni Syafri (Founder PT Let’s SMART Consulting dan Professional Speaker), Rita Gani (Mafindo, Fikom Unisba, Japelidi), dan Putu Eka Trisna Dewi (Dosen Universitas Ngurah Rai, IAPA).

Zusdi F Arianto membuka webinar dengan mengatakan, cashless berarti tidak ada uang atau tanpa menggunakan uang. “Transaksi cashless adalah proses transaksi jual-beli yang tidak menggunakan uang sebagai alat tukarnya. Tidak adanya penggunaan uang bukan berarti sama sekali tidak menggunakan sistem harga, tapi pada saat transaksi pembeli tidak perlu membawa uang fisiknya.”

Sementara cashless society adalah sebuah budaya dan fenomena ekonomi karena digitalisasi pola bisnis dan kegiatan ekonomi. Kartu kredit, pembayaran online, dan pembayaran tanpa kontak menjadi pengganti pembayaran tunai.

Divdeni Syafri menambahkan, saat ini masyarakat Indonesia berada pada era digital. Masyarakat digital di abad 21, manusia dalam berbagai sektor kehidupannya terput dengan teknologi digital.

“Aspek kehidupan tidak terlepas dari penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Hampir semua kegiatan harus dilakukan secara online. Perilaku masyarakat sudah berubah. Terjadi pergeseran pola pikir, pola sikap, dan pola tindak masyarakat dalam akses dan distribusi informasi,” tuturnya.

Adapun jenis transaksi digital di era new normal, yaitu kartu debit untuk pembayaran berbasis elektronik yang diterbitkan oleh bank, dan berfungsi sebagai pengganti cara pembayaran tunai. Jumlah uang yang bisa dibelanjakan adalah jumlah saldo dana di dalam rekening tabungan.

Lalu ada uang elektronik, sebagai alat pembayaran dalam bentuk elektronik yang nilai uangnya disimpan dalam media elektronik tertentu. Penggunanya harus menyetorkan uangnya terlebih dulu kepada penerbit dan disimpan dalam media elektronik sebelum menggunakannya untuk keperluan transaksi.

Selain itu ada mobile banking, sebuah layanan yang disediakan oleh bank untuk melakukan berbagai transaksi perbankan melalui berbagai fitur yang ada pada ponsel pintar. Layanan mobile banking meliputi cek saldo, transfer uang, pembayaran kartu kredit, pembayaran tagihan, dan lain-lain.

Rita Gani turut menjelaskan, transaksi digital adalah pembayaran non-tunai (cashless) seperti mobile banking atau perangkat transaksi virtual lainnya. Keunggulan transaksi digital yakni tidak perlu pertukaran uang fisik, mendukung protokol kesehatan selama pandemi, tidak perlu memikirkan kembalian, dan memperkecil human error.

Cashless society adalah transaksi keuangan tidak lagi menggunakan uang tunai, tetapi sudah dalam bentuk kartu baik berupa kartu kredit, kartu debit, maupun cash card. Dunia digital adalah dunia kita sekarang ini. Tantangan setiap individu untuk membudayakan perilaku yang aman dan nyaman dalam bertransaksi digital,” katanya.

Sebagai pembicara terakhir, Putu Eka mengatakan, dompet digital atau yang sering disebut e-wallet merupakan produk berbasis software yang menggunakan sinyal internet dan dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif alat pembayaran.

E-wallet merupakan uang elektronik (emoney) namun berbentuk server base. Perkembangan e-wallet erat kaitannya dengan perkembangan ecommerce. Salah satu isu penting dompet digital adalah autentikasi, untuk memastikan pengguna merupakan konsumen yang benar/tidak disalahgunakan orang lain,” tuturnya.

Proses pengamanan dompet digital dilakukan dengan mewajibkan adanya password dan enkripsi password dompet digital, tapi proses pengamanan ini sering kali bobol dan mengakibatkan terjadinya pencurian data konsumen. Tingginya kasus penipuan online terjadi karena harga data yang cenderung rendah.

Konsumen dalam transaksi e-wallet memiliki risiko yang lebih besar. Konsumen tidak dapat langsung mengidentifikasi, melihat, atau menyentuh barang yang akan dipesan. Juga ketidakpastian informasi tentang produk yang ditawarkan atau apakah konsumen telah memperoleh berbagai informasi yang layak diketahui.

Dalam sesi KOL, Tyra Lundy menjelaskan, transaksi digital sangat memudahkan transaksi. “Kalau untuk transaksi online sebenarnya sebelum pandemi juga kita sudah terbiasa dengan transaksi online. Saat berbelanja online, harus teliti akan barang yang akan kita beli.”

Salah satu peserta bernama Astri menanyakan, bagaimana menghindari penggunaan e-wallet yang membuat tagihan membengkak?

“Itu bisa jadi dari sisi penggunanya kebablasan. Jadi membengkak atau yang dimaksud itu pay later itu ada fitur yang kita bisa pakai dulu, lalu bayar nanti. Padahal kita itu tidak punya uang atau punya uang itu cost-nya terbagi-bagi tetapi ingin belanja. Jadi ini yang harus kita tahan, yang kita belanja terus-terusan menggunakan pay later sehingga membengkak jadi kita harus membatasi diri,” jawab Zusdi.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Tangerang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]