Munculnya nama-nama animator Indonesia dalam kancah film Blockbuster menunjukkan bahwa anak bangsa juga punya kemampuan animasi yang tak kalah dengan negara maju. Pelan tapi pasti, potensi animasi Indonesia mulai muncul. Antusiasme untuk bisa berkecimpung di dunia tersebut pun terlihat.

Tumbuh tanpa ingar bingar. Itulah dunia animasi Indonesia. Rini Sugianto, Andre Surya, Griselda Sastrawinata, maupun Ronny Gani merupakan sebagian dari nama animator Indonesia yang telah menjadi animator bagi beberapa film laris Hollywood, seperti Shrek, Transformers, Avengers, Tintin, dan masih banyak lagi.

Pekerjaan dan kontribusi mereka menjadi mimpi banyak anak bangsa. Antusiasme terhadap dunia animasi juga sangat besar. Hal ini terlihat pada acara Bekraf Animation Conference (Beacon) yang dihelat oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) di JS Luwansa Hotel & Convention Center, Jakarta, pada 1–2 September 2018.

Direktur Riset dan Pengembangan Bekraf Wawan Rusiawan mengatakan, Beacon memang diadakan untuk menjembatani kolaborasi dan interaksi antara para pelaku industri animasi, distributor, investor dan para stakeholder terkait. Sebanyak 1.500 orang yang hadir dalam konferensi tersebut, mulai dari anak-anak SMK, mahasiswa, animator, asosiasi, dan lainnya.

“Kami ingin mempertemukan dan membantu mencarikan solusi permasalahan yang menghambat dunia animasi Indonesia. Di Beacon, para pelaku animasi itu bisa bertemu dengan pihak pemerintah, investor dalam hal ini perbankan, perguruan tinggi, hingga stasiun televisi,” ujar Wawan.

Dalam Beacon, Bekraf menyajikan banyak acara. Seperti dikatakan Wawan, acara tersebut sangat lengkap mulai dari talkshow, Masterclass, Exhibition, Screening Animation, diskusi panel, dan business link and match. Masterclass sendiri merupakan workshop yang menghadirkan nama-nama yang sudah lama berkecimpung di dunia animasi, seperti Andi Martin dari Kratoon Channel, Rangga Yudo dari Dapoer Animasi Academy, dan Daryl Wilson dari Kumata Studio.

Foto-foto: dokumen Bekraf.

Selain itu, pembicara lainnya yang juga hadir, antara lain Chris Lie dari Caravan Studio, Goklas Sujiwo dari Bumi Langit Comics dan masih banyak lagi.

Selain itu, ada pameran beragam produk animasi dari 28 studio animasi dan lembaga yang terkait animasi. Menariknya, di sini juga hadir instansi pemerintah, yaitu LIPI yang ternyata punya mesin rendering berkecepatan tinggi.

“Kehadiran LIPI semoga bisa mengha­dirkan kerja sama untuk membantu kerja para animator lebih mudah,” kata Wawan.

Dalam Beacon 2018, Bekraf juga mempromosikan acara Asian Animation Summit 2018 melalui diskusi panel dan seminar yang menghadirkan Daniel Harjanto (Base Studio) dan Wahyu Aditya (Hellomotion) bertajuk Road to Asian Animation Summit 2018. Sekadar info, Bekraf menjadi presenting partners untuk event tersebut.

Asian Animation Summit merupakan acara tahunan yang didesain untuk menarik minat produser atau investor yang tertarik memproduksi atau membiayai proyek animasi di negara regional Asia Pasifik, seperti Korea, Malaysia, Indonesia, Australia, Thailand, dan China. Acara ini mengambil tempat di Seoul, Korea Selatan pada 28-30 November 2018.

Deputi Akses Permodalan Bekraf Fadjar Hutomo menjelaskan, Bekraf akan memberangkatkan 6 proyek animasi untuk Asian Animation Summit 2018. Ke-6 proyek itu adalah Knight Kris (Viva Fantasia), Titus (MNC Animation), The Mushies (Base Studio), Wakalulu (Light A Bulb), Miles & Stone (Kumata Studio), dan Headset Monster (Screamtuner Production).

“Mereka yang berangkat sudah dipersiapkan melalui mentoring camp. Ke-6 proyek itu dipilih dari 51 proyek yang mendaftar. Di sana, mereka akan melakukan pitching dan bersaing dengan negara lainnya di regional Asia Pacific,” ujarnya.

Membentuk ekosistem

Walaupun memiliki potensi, Wawan menyebut ekosistem untuk animasi belum terbangun, padahal kemampuan orang Indonesia sudah sangat baik. Dengan semakin majunya teknologi, bisa dikatakan Indonesia tidak perlu takut kekurangan sumber daya manusia. Namun, sayangnya, kemampuan mereka kerap tidak match dengan industri.

Wawan memberikan contoh seperti masih kurangnya SMK di Indonesia yang memiliki jurusan animasi. Kalaupun ada, tenaga pengajarnya tidak mencukupi. Inilah yang membuat kemampuan mereka tidak terserap industri. Belum lagi permasalahan seperti peralatan yang mahal.

“Masih banyak kendala untuk memajukan animasi, termasuk untuk bisa membuat sebuah film animasi. Belum ada permodalan yang membantu hal tersebut. Karena untuk produksi satu episode film animasi saja, sangat mahal. Bisa mencapai Rp 50 juta. Oleh karena itu, dibutuhkan juga keberpihakan pemerintah. Bekraf sebagai pihak dari pemerintah pun berusaha membantu dan terlibat penuh,” ujar Wawan.

Beacon memang diharapkan menjadi ajang untuk bisa menyelesaikan permasalahan ekosistem animasi di Indonesia. Namun, bagi CEO Kumata Studio Daryl Wilson, Beacon masih jauh dari pencapaian itu. Baginya, Beacon belum mampu menjawab yang industri ini butuhkan.

“Beacon masih belum bisa menjadi sebuah marketplace, di mana investor atau stasiun televisi bisa bertemu langsung dengan para animator. Untuk bisa menjadi marketplace, memang tidak mudah. Jadi, persiapannya harus panjang. Di luar negeri, ajang seperti itu membutuhkan persiapan hingga 9 bulan hingga satu tahun,” ujar Daryl.

Waktu yang panjang dimaksudkan agar panitia penyelenggara bisa juga mengundang investor dari luar negeri. Daryl menjelaskan, investor asing itu tentu membutuhkan waktu yang lebih longgar agar bisa memastikan jadwal datang ke Indonesia. Sebab, selama ini, belum ada investor yang datang dari internasional.

“Selain itu, waktu yang panjang bisa membuat acara ini lebih terdengar. Bisa saja acara ini dibuat dengan semacam pre-event dulu agar tingkat awareness-nya bisa tinggi. Karena, Beacon ini bisa menjadi kesempatan perkenalan bagi industri animasi kepada adik-adik kita yang masih bersekolah,” ungkap Daryl.

Subsektor potensial

Kepala Bekraf Triawan Munaf pada pembukaan Beacon 2018 berharap, Beacon bisa meningkatkan daya saing dan kemandirian bangsa di subsektor animasi. Beacon sejalan dengan arah pengembangan subsektor animasi Indonesia, yaitu “Memperluas eksposur konten animasi di berbagai sektor di Indonesia pada 2019”.

Berdasarkan laporan survei Ekonomi Kreatif dari Bekraf dan Badan Pusat Statistik (BPS) 2017, animasi merupakan salah satu subsektor ekonomi kreatif yang potensial. Kontribusi animasi dan video pada 2015 menjadi salah satu subsektor yang tumbuh sangat pesat, yaitu 6,68 persen. Berada pada urutan ketiga setelah desain komunikasi visual dan musik. Laju pertumbuhan ini makin meningkat pada 2016 dengan 10,09 persen.

Bekraf memang menargetkan produk domestik bruto (PDB) ekonomi kreatif pada 2018 ini mencapai angka Rp 1.000 triliun. Animasi diharapkan mampu berkontribusi optimal untuk memenuhi target tersebut. Berdasarkan survei Bekraf dan BPS, pada 2016, ekonomi kreatif mampu berkontribusi kepada PDB nasional sebesar Rp 922,59 triliun. [VTO]

AKATARA

Buka Potensi Investasi di Industri Film

Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) bekerja sama dengan Badan Perfilman Indonesia (BPI) kembali menggelar Akatara, forum pembiayaan perfilman terbesar di Indonesia. Ini adalah upaya membangun ekosistem perfilman yang sehat dengan mengeksplorasi model pembiayaan yang tepat untuk industri perfilman Tanah Air.

Seperti tahun sebelumnya, Akatara 2018 memberikan kesempatan kepada pelaku industri film untuk bertemu puluhan investor nasional dan mancanegara. Dengan begitu, para penggerak industri film bisa mengakses sumber pendanaan yang sesuai dengan proyek mereka. Forum Akatara dilangsungkan pada 18–20 September di Jakarta.

Sedikit berbeda dengan tahun lalu yang berfokus pada proposal produksi film, tahun ini Akatara membuka ruang untuk proposal nonproduksi film. Ketua Bidang Fasilitasi Pembiayaan Film di BPI Agung Sentausa menjelaskan, keputusan didasari kesadaran tentang luasnya aspek-aspek pendukung industri film di luar produk film itu sendiri. Ada ekosistem besar yang perlu ditunjang. Dalam sektor perfilman ada kebutuhan untuk distribusi, sekolah film, situs web film, aplikasi, bioskop, atau program festival. Semua bagian dari ekosistem ini punya kesempatan untuk mendapatkan pembiayaan lewat Akatara.

Tahun ini, ada total 57 proposal produksi dan nonproduksi film yang akan dipresentasikan kepada calon investor. Deputi Akses Permodalan Bekraf Fadjar Hutomo mengatakan, para kurator memilih proyek-proyek ini berdasarkan beberapa poin penting, yaitu kelengkapan proposal, relevansi tema, urgensi untuk didukung, dan kelayakan (feasibility) bisnisnya.

Akatara mengelompokkan proyek proposal sesuai durasi maupun genre. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan perhatian sekaligus memudahkan para calon investor untuk berinvestasi sesuai dengan preferensinya.

Edukasi investor

Fadjar mengungkapkan, salah satu tantangan pembiayaan sektor film adalah kurangnya pengetahuan investor tentang skema pembiayaan serta potensi keuntungannya. “Banyak investor yang belum paham bagaimana berinvestasi di film. Banyak yang menganggapnya seperti gambling karena ketidakjelasan itu. Perlu edukasi untuk calon investor juga,” kata Fadjar. Oleh karena itu, sembari menjaring proposal potensial, Akatara juga bergerak dengan melakukan edukasi untuk calon investor.

Agung menjelaskan, investasi pada film sebenarnya adalah skema bisnis yang umum, dengan modal yang bisa kembali dalam waktu relatif singkat. “Salah satu cara mengantisipasi risiko adalah membagi risiko dengan berinvestasi di beberapa jenis film dengan berbagai genre. Kita perlu membuka wawasan investor bahwa film ini bukan hal asing.” Potensi komersialisasi film pun tidak terbatas pada film itu sendiri, tetapi juga produk-produk turunannya seperti suvenir, komik, musik, bahkan kafe seperti yang dilakukan dengan film Filosofi Kopi.

Upaya untuk membangun ekosistem film dilakukan lebih jauh dengan mendorong terbentuknya komisi film di daerah-daerah. Tujuannya, menyuburkan kegiatan perfilman di daerah, misalnya promosi lokasi syuting yang bisa ditunjang dengan pemberian insentif berupa fasilitas produksi, keringanan pajak, perizinan satu pintu, maupun pendanaan langsung kepada pembuat film. [NOV]

WCCE

Gelora Spirit Kreatif DUNIA di Bali

Dalam waktu dekat, Pemerintah Indonesia melalui Badan Ekonomi Kreatif akan menggelar World Conference on Creative Economy (WCCE) di Bali. Pertemuan ini diharapkan akan membuka jejaring antarpelaku ekonomi kreatif global sekaligus menghasilkan berbagai masukan untuk mendukung perkembangan ekonomi kreatif sebagai lokomotif perekonomian nasional.

Inilah saatnya komunitas global berdiskusi secara serius soal peluang dan tantangan ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif telah menunjukkan pertumbuhan yang menjanjikan, bahkan di tengan krisis finansial dan ekonomi global. Berdasarkan data Ernst & Young pada 2015, ekonomi kreatif yang terdiri atas berbagai sektor telah menghasilkan pendapatan setidaknya 2.250 miliar dollar AS dan membuka 29,5 juta lapangan pekerjaan. Angka ini setara tiga persen GDP dunia dan 1 persen populasi angkatan kerja.

Menyadari pentingnya kemitraan dan kolaborasi antarnegara dalam mengembangkan strategi ekonomi kreatif, Indonesia menyelenggarakan WCCE pada 6–8 November di Bali. Konferensi ini akan menjadi ajang pertemuan bagi pemerintah, perusahaan swasta, pelaku ekonomi kreatif, komunitas, organisasi internasional, dan pakar media dari seluruh dunia. Organisasi internasional seperti World Intellectual Property Organization (WIPO), United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), International Trade Center (ITC), dan UNESCO sudah mengonfirmasikan kehadiran mereka untuk acara ini.

Dalam rapat persiapan penyelenggaraan WCCE yang digelar beberapa waktu lalu, Kepala Bekraf Triawan Munaf mengungkapkan, Indonesia sangat menekankan pentingnya kerja sama internasional untuk pengembangan ekonomi kreatif di setiap negara. Ekonomi Kreatif diharapkan berkembang menjadi soft power yang dapat diandalkan masing-masing negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya.

WCCE akan mengangkat tema “Inclusively Creative”. Tema ini merefleksikan bagaimana ekonomi kreatif menjadikan kesempatan-kesempatan ekonomi inklusif dan setara. Ekonomi kreatif juga menjadi jembatan komunikasi antarnegara dan budaya. Konferensi ini akan menyajikan lima panel dengan lima isu penting, yaitu kohesi sosial, regulasi, marketing, ekosistem, dan pembiayaan.

Sejumlah tokoh-tokoh penting ekonomi kreatif tingkat internasional dan nasional akan hadir di ajang ini. Sebut saja President of Pixar and Walt Disney Animation Studio Edwin Catmull, Minister of Economic Affairs and Energy of Germany HE Peter Altmaier, Pendiri dan CEO Gojek Nadiem Makarim, President of Marvel Studios Kevin Feige, Co-Founder Tokopedia William Tanuwijaya, dan Co-Founder of Apple Computer Steve Wozniak.

Tak sampai dua bulan lagi, spirit ekonomi kreatif akan bergelora di Pulau Dewata. Anda yang berminat hadir bisa melakukan registrasi tanpa dipungut biaya di situs web www.wcce.id. [NOV]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 15 September 2018.