Teknologi saat ini sangat membantu dalam berbagai aspek kehidupan. Walau begitu, tidak dapat dimungkiri ada hal-hal negatif yang dibawa olehnya. Berbicara mengenai budaya kita yang multikultur, bisa saja dalam berkomunikasi ada hal-hal yang dianggap sopan dan lazim di budaya kita tapi tidak biasa bagi budaya lain.
Oleh karena itu, ketahui cara berkomunikasi di ruang digital agar tetap bisa mempromosikan budaya sendiri tanpa menyinggung budaya lain. Terkait hal tersebut, penting untuk saring sebelum sharing, sebelum kita berkomentar atau merespons, jangan terburu-buru untuk bertindak; dan diperlukan pemikiran yang matang, misalnya apakah hal yang akan disampaikan akan menyinggung orang atau kelompok lainnya.
Menyikapi hal itu, Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital menggelar webinar dengan tajuk “Memahami Multikulturalisme Dalam Ruang Digital”. Webinar yang digelar pada Kamis, 14 Oktober 2021, diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.
Dalam forum tersebut hadir Yossy Suparyo (Direktur Gedhe Nusantara), Nurly Meilinda (Universitas Sriwijaya dan IAPA), Reza Sukma Nugraha (Dosen Universitas Sebelas Maret), Mikhail Gorbachev Dom (Peneliti Institut Humor Indonesia Kini), dan Reni Risty (Presenter Cahaya Pagi Trans7) selaku narasumber.
Reza Sukma Nugraha menyampaikan, sebagai netizen kita dapat memperlihatkan bahwa kehidupan di ruang digital dan ruang nyata harus sama. Menjadi orang Indonesia sudah diajarkan sejak dini kebudayaan Timur yang menjunjung keramahan, kesopanan, dan gotong-royong.
Dengan pengguna sosial media aktif yang tinggi (mencapai 61 persen total pengguna), sumber daya digital Indonesia sangat potensial untuk dimanfaatkan sebaik mungkin. Sebagai netizen cerdas, kita harus mampu berpikir kritis, menghindari echo chamber dan filter akibat algoritma internet, serta kolaborasi dan partisipasi. Menjadi warga digital, ada hak-hak yang harus dihargai, yaitu hak digital untuk mengakses, berekspresi, dan merasa aman di ruang digital.
Hak-hak digital tersebut harus dipenuhi asal tidak mengganggu hak digital orang lain. Batasan berekspresi juga berlaku mengenai pornografi, penyebaran ujaran kebencian, hasutan publik, dan advokasi ideologi yang memicu diskriminasi, kekerasan, dan permusuhan. Sehingga tidak ada kebebasan tanpa batas, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai bentuk demokrasi bermedia sosial.
“Dengan berbagai perbedaan ini, kita menjunjung nilai toleransi dengan menghormati multikulturalisme dan pluralisme, menghargai pendapat orang lain termasuk perbedaan pandangan, mengkritik dengan etika, tidak terprovokasi dengan hasutan dan ujaran kebencian, dan menghindari perpecahan dan perdebatan kosong. Kita berharap netizen dapat menciptakan ruang digital aman dan nyaman untuk menjaga keutuhan NKRI,” jelasnya.
Reni Risty selaku narasumber Key Opinion Leader juga menyampaikan bahwa sering netizen Indonesia ketika mengetahui ada suatu negara yang mengklaim produk budaya Indonesia, akan bersatu untuk membela negara. Namun, penyebaran hoaks saat ini justru malah sering dibiarkan, walaupun hal tersebut dilakukan oknum untuk memecah belah kita sebagai negara.
Saat ini banyak sekali yang sudah memiliki perangkat dan akun media sosial lebih dari satu, tetapi masih banyak pula yang belum menggunakan akun media sosialnya untuk hal-hal baik. Kemungkinan karena mereka masih belum terliterasi digital dengan baik. Ia melihat bahwa banyak orangtua sering mem-posting momen-momen ketika anaknya melakukan hal negatif, seperti mengucapkan kata kasar atau sedang tidak berbusana karena dianggap sesuatu yang lucu.
Kita dapat menasehati ketika orang dekat kita mem-posting hal-hal yang seharusnya tidak dibagikan. Namun, memang akan lebih susah untuk orang-orang yang tak dikenal. Kita bisa saja langsung melaporkan konten atau akun tersebut. Sering netizen dan masyarakat memberikan panggung kepada orang-orang yang mengucapkan hal-hal yang tak terpuji, yang seharusnya diacuhkan saja.
Ia sampaikan bahwa jangan menjadi orang-orang yang tidak berfaedah untuk masyarakat. Setidaknya mulai melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi diri sendiri, yang dapat dibangun perlahan-lahan di lingkup keluarga hingga sampai ke masyarakat luas.
Salah satu peserta bernama Dian Retno menyampaikan, “Saat ini lowongan pekerjaan makin sedikit sedangkan angka kelulusan para pelajar setiap tahunnya terus bertambah. Supaya bisa bersaing ketika berada di dunia kerja sebagai lulusan fresh graduate, digital skill apa yang harus kita asah atau dalami?”
Yossy Suparyo menjawab, saat ini kita masuk masa demografis emas dengan banyaknya jumlah angkatan kerja. “Menurut saya jumlah lowongan pekerjaan dengan angkatan kerja masih setara. Saran saya, diharapkan memiliki kompetensi yang khusus atau spesifik, tidak hanya general, misal kemampuan programming. Ruang digital saat ini dapat digunakan untuk mengasah keterampilan dan kemampuan diri. Pandemi saat ini mengajarkan bahwa pendidik atau guru bukan hanya menjadi sumber pengetahuan, dengan peserta didik diharuskan untuk mencari wawasan secara mandiri.”
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Timur. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]