Sebagai orangtua, kita tentunya harus mengawasi anak saat mereka berselancar di internet, karena tidak kecil kemungkinannya mereka akan menemukan konten yang bersifat pornografi atau pelecehan seksual. Lalu apa saja dampak pornografi terhadap anak, dan mengapa dikatakan berbahaya? 

Pornografi dapat merusak otak bagian prefrontal sebelum ia terbentuk secara sempurna yang menyebabkan konsentrasi turun, sulit berpikir kritis, kesulitan memahami benar-salah, dan bahkan sulit merencanakan masa depan. Selain itu, terpapar konten pornografi akan menimbulkan keinginan mencoba dan meniru apa yang dilihat. Akibatnya, anak dapat mulai melakukan tindakan seksual untuk mengatasi rasa penasarannya jika tidak diawasi ketat oleh orangtua.

Menyikapi hal itu, Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital menggelar webinar dengan tajuk “Cegah dan Tangkal Bahaya Pornografi dan Pelecehan Seksual di Internet”. Webinar yang digelar pada Kamis, 30 September 2021, diikuti oleh sejumlah peserta secara daring. 

Dalam forum tersebut hadir Alfan Gunawan (Praktisi Komunikasi dan Senior Consultant Opa Communication), Dr Rusdiyanta SIP SE MSi (Dekan FISIP Universitas Budi Luhur), Oetari Noor Permadi (Praktisi Budaya Mekar Pribadi), Aidil Wicaksono (CEO Pena Enterprise), dan Astira Vern (Miss Eco International 1st RU 2018) selaku narasumber. 

Dalam pemaparannya, Alfan Gunawan menyampaikan bahwa media sosial dan aplikasi chatting sering menjadi tempat terjadinya eksploitasi seksual anak secara online. Jika mengalami hal tersebut, kita sebaiknya segera laporkan kepada orang yang dapat dipercaya seperti orangtua, guru, teman dekat, atau lembaga pendamping. 

Selain itu, bagi para orangtua, kita harus menjadi orang tua yang digitally aware. Seperti apa itu? Orangtua yang paham membedakan fungsi, risiko, dan fitur di aplikasi chatting dan media sosial dan dapat menggunakan fitur report secara tepat. Mereka adalah orangtua yang dekat dengan anak baik di dunia nyata maupun digital; berteman di aplikasi chatting dan media sosial. 

“Hal yang perlu kita ingat adalah bahwa tidak semua orang yang kita kenal menerima apa yang kita posting baik secara pribadi dan nilai yang dianut. Tidak semua sama, terdapat perbedaan sudut pandang dalam melihat informasi dan perbedaan digital literasi dan knowledge,” jelasnya.

Astira Vern selaku narasumber Key Opinion Leader juga menyampaikan bahwa dalam dunia beauty pageant untuk pelecehan seksual minim dan tidak ada, karena sudah sadar kalau pesertanya akan menggunakan pakaian terbuka. Ada sisi negatif dan positif terhadap konsekuensi memakai pakaian terbuka. 

Terkait itu, di media sosial masih adanya pelecehan seksual, jadi harus balik lagi kepada kesadaran kita. Ia mengatakan bahwa kini ia lebih memfilter dan aware dengan penampilannya. Pengalamannya adalah ketika tiga tahun yang lalu ia diminta untuk posting kegiatan karantina saat mengikuti beauty pageant dan memang ada beberapa gambar yang memperlihatkan baju terbuka, yang sebenarnya sudah merupakan hal yang biasa. Walau begitu, sekarang post itu sudah tidak ada di Instagram.

Salah satu peserta bernama Alyfah menyampaikan, “Bagaimana menanamkan sikap untuk bisa berani speak up dengan dirinya dan kepada orang lain? Di mana sering terjadi pelecehan seksual tetapi korban tidak mau untuk cerita kepada siapapun karena pastinya masih takut dan juga trauma?”

Rusdiyanta menjawab, trauma itu kalau tidak diselesaikan nanti akan menjadi jeratan seumur hidup. Maka trauma korban harus diselesaikan, dan speak up sebagai salah satu bentuk pemulihan trauma. Dengan speak up, maka kita dapat mengurangi beban kita. Kita harus berbicara kepada orang yang bisa dipercaya, yaitu keluarga, contohnya. 

“Untuk berani harus meyakinkan masalah ini tidak akan disebarluaskan lagi, karena akan menimbulkan bom trauma dan korban bisa stres dan bahkan bisa sampai mengalami stroke dan sebagainya,” jawabnya.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Barat. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]