Kebijakan zonasi pendidikan menjadi salah satu topik yang dibahas pada Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK Kemdikbud) tahun 2019. Acara yang diadakan di Bojongsari, Depok (11–13/2/2019) ini menghimpun berbagai praktik baik yang telah dilakukan pemerintah daerah untuk mendorong penerapan kebijakan zonasi di daerah lainnya.
Kebijakan sistem zonasi pendidikan diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Peraturan ini memperbarui yang sebelumnya yaitu Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 yang mengatur PPDB pada tahun ajaran 2018/2019.
Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy, sistem zonasi merupakan bentuk penyesuaian kebijakan dari sistem rayonisasi. Rayonisasi lebih memperhatikan pada capaian siswa di bidang akademik, sedangkan sistem zonasi lebih menekankan pada jarak atau radius antara rumah siswa dengan sekolah.
Tujuan
Adapun beberapa tujuan dari sistem zonasi, menurut Mendikbud, di antaranya menjamin pemerataan akses layanan pendidikan bagi siswa; mendekatkan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga; menghilangkan eksklusivitas dan diskriminasi di sekolah, khususnya sekolah negeri; serta membantu analisis perhitungan kebutuhan dan distribusi guru.
Sistem zonasi diyakini dapat mendorong kreativitas pendidik dalam pembelajaran dengan kondisi siswa yang heterogen. Selain itu, pemerintah daerah bisa memberikan bantuan yang lebih tepat sasaran, baik berupa sarana prasarana sekolah, maupun peningkatan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan.
Data Kemdikbud mencatat ada 211.443 sekolah yang menjalankan sistem zonasi pendidikan. Jumlah itu terdiri atas 146.860 sekolah dasar (SD), 38.777 sekolah menengah pertama (SMP), 13.510 sekolah menengah atas (SMA), dan 12.296 sekolah menengah kejuruan (SMK).
Menurut Mendikbud, semestinya masing-masing pemerintah daerah telah memiliki platform dan melakukan revisi kebijakan zonasi yang sudah dilakukan sebelumnya. “Zonasi ini melampaui wilayah administrasi. Oleh karena itu, perlu ada kerja sama antara dinas pendidikan pemerintah kabupaten/kota, maupun provinsi untuk menetapkan zona. Dengan zonasi, pemerintah daerah sejak jauh hari sudah bisa membuat perhitungan tentang alokasi dan distribusi siswa.”
Dalam acara RNPK 2019 di Bojongsari, Depok, Selasa (12/2), Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakrulloh menyampaikan kesiapan jajarannya membantu menyukseskan implementasi zonasi pendidikan. Zudan menyampaikan NIK bisa digunakan untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Jika kebijakan zonasi sudah disiapkan di sebuah wilayah, sistem bisa mengolah NIK siswa untuk otomatis masuk sesuai zonasinya. Misalnya, dibuat berdasarkan zona per kecamatan atau kelurahan. Namun, yang belum memungkinkan yaitu untuk zonasi yang berbasis koordinat.
PPDB daring
Salah satu daerah yang tergolong sukses menerapkan sistem zonasi ini yaitu Kabupaten Banyumas. Bupati Banyumas Achmad Husein menyampaikan, PPDB daring (online) di Kabupaten Banyumas sudah dilakukan sejak 2014. Pada 2014-2017, PPDB daring yang dilakukan masih berbasis nilai. Pada 2017, PPDB daring yang dilakukan berbasis zonasi, tapi masih berdasarkan wilayah. Pada 2018, PPDB daring dilakukan berdasarkan zonasi jarak.
“Sebelum menerapkan PPDB daring, ada beberapa pihak yang menitipkan anaknya untuk bisa belajar di sekolah favorit tertentu. Oleh sebab itu, mulai 2014, saya memaksakan diri menggunakan PPDB daring. Hal ini terbukti meminimalkan praktik titip-menitip siswa,” ujar Achmad.
Pada 2018, PPDB untuk tingkat SD dan SMP di Kabupaten Banyumas, hampir sepenuhnya menerapkan sistem zonasi. Penerimaan siswa baru yang ditentukan berdasarkan jarak terdekat, ditetapkan sebesar 90 persen dari kuota siswa baru masing-masing sekolah. Melalui sistem ini, nilai UN siswa SD sama sekali tidak dipertimbangkan.
Sisanya, sebanyak 5 persen baru dipertimbangkan berdasarkan prestasi yang diukur berdasarkan nilai NEM dan piagam penghargaan, serta 5 persennya lagi dipertimbangkan berdasarkan kondisi sosial keluarga calon siswa baru, seperti merupakan korban bencana alam maupun bencana sosial.
Tantangan
PPDB daring dengan sistem zonasi memang menghadirkan tantangan tersendiri. Achmad menuturkan, ada 11 wilayah di Kabupaten Banyumas yang anak-anaknya tak bisa bersekolah dengan zonasi radius 6 kilometer karena kehabisan kuota siswa. Pasalnya, hanya dalam radius 1,5 kilometer, SMP di kota-kota tersebut sudah penuh kuotanya.
“Akhirnya kami kumpulkan pihak-pihak yang berkepentingan, mulai dari camat hingga kepala desa. Kebijakan yang diambil, kami arahkan anak-anak yang tak kebagian kuota di sekolah yang sesuai dengan keinginan masyarakat, ketersediaan sekolah, dan kemampuan anak itu sendiri. Pada 2019 ini, kami tetapkan kebijakan 100 persen zonasi, tetapi daerah yang bermasalah akan dialokasikan khusus,” ungkap Achmad.
Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Regulasi Pendidikan dan Kebudayaan Chatarina Muliana Girsang menuturkan ada beberapa alasan sistem zonasi diterapkan di PPDB 2019.
Pertama, perihal nilai ujian nasional (UN). Nilai UN tidak menjadi ukuran untuk lulus sekolah. Oleh sebab itu, untuk bisa bersekolah, nilai UN bukan faktor penentu. Kedua, titipan dari oknum tertentu. Stigma sekolah favorit masih ada di benak orangtua. Nantinya dengan penyebaran siswa yang heterogen, akan pupus pemikiran orangtua tentang sekolah favorit. Ketiga, persaingan sekolah swasta. Saat ini, sekolah swasta yang tergolong bagus yang itu-itu saja. Melalui sistem zonasi, sekolah swasta akan saling bersaing memperbaiki kualitas.
“Sekolah unggulan terdiri atas guru berkualitas dengan bobot 30 persen, 40 persen kualitas anak didik, sedangkan sisanya dari suasana lingkungan dan nilai-nilai yang tertanam di sekolah. Hal ini yang perlu diciptakan di sekolah-sekolah yang belum favorit. Guru-guru harus ditingkatkan kapasitasnya. Murid-murid yang pandai harus disebar ke berbagai sekolah. Kabupaten Banyumas bukan yang terbaik dalam penerapan zonasi pendidikan, tapi kami berusaha meyakinkan masyarakat bahwa seluruh anak berhak sekolah dengan keadilan terjaga sesuai tempatnya,” pungkas Achmad.
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 14 Februari 2019.