Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.
Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.
Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Misinformasi dan Disinformasi di Dunia Digital”. Webinar yang digelar pada Senin, 22 November 2021 di Kabupaten Tangerang, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.
Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Ida Ayu Putu Sri Widnyani (Dosen Universitas Ngurah Rai, IAPA), Wulan Tri Astusti (Dosen Ilmu Budaya UGM, IAPA), Bonny Prasetia Ajisakti (Program Director Swaragama Group dan Sekjen Forum Diskusi Radio Indonesia), dan Fransiska Desiana Setyaningsih (Dosen Unika Widya Mandira Kupang, Japelidi).
Ida Ayu Putu membuka webinar dengan mengatakan, informasi adalah sekumpulan data/fakta yang telah diolah menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi penerimanya dan bermanfaat dalam pengambilan keputusan saat ini atau saat mendatang.
Manfaat informasi yakni untuk menambah wawasan, memperbaharui pengetahuan, sebagai bahan opini publik, sebagai hiburan. Meski begitu, ada permasalahan oleh pengguna mesin pencarian informasi terkait kebenaran data atau informasi serta kredibilitas sumber.
Pertama, misinformasi adalah informasi yang tidak benar. Namun, orang yang menyebarkannya percaya bahwa informasi tersebut adalah benar tanpa bermaksud membahayakan orang lain.
Kedua, disinformasi adalah informasi yang tidak benar dan orang yang menyebarkannya juga tahu bahwa informasi itu tidak benar. Ketiga, malinformasi adalah sepenggal informasi benar tapi digunakan dengan niat untuk merugikan seseorang atau kelompok tertentu.
“Maka, bagikan informasi dengan sumber yang jelas disertai referensi yang valid. Bagikan informasi dengan bahasa yang mudah dipahami. Kita dapat menambahkan, melengkapi, atau memperbaiki informasi yang tertera pada laman pencarian informasi,” jelasnya.
Wulan Tri Astusti menambahkan, etika adalah sistem nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya. Berlaku bahkan ketika sendirian.
“Etiket adalah tata cara individu berinteraksi dengan individu lain atau dalam masyarakat,” ujarnya. Sementara netiket (network etiquette) adalah tata krama dalam berinternet. Kita berinteraksi dengan manusia nyata di jaringan online, bukan dengan deretan karakter di layar monitor, tapi dengan karakter manusia sesungguhnya. Netiket tidak kompleks, asalkan logika dan common sense kita berjalan lancar, mudah karena netiket berasal dari hal yang umum dan biasa yang layaknya kita lakukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Bonny Prasetia turut menjelaskan, internet telah menjadi forum untuk kebebasan berekspresi dengan potensi yang hampir tanpa batas bagi tiap-tiap individu sebagai suatu cara untuk mengekspresikan jati dirinya dan menerima ekspresi dari jati diri orang lain.
Adapun jenis hoaks yakni satire atau parodi, misleading content (konten menyesatkan), imposter content (konten tiruan), fabricated content (konten palsu), false connection (koneksi yang salah), false context (konteks keliru), manipulated content (konten manipulasi).
“Think before share, pahami maksud informasi dengan melakukan seleksi dan identifikasi dari informasi yang kita terima. Jangan asal menyebarkan pesan tanpa memastikan kebenarannya terlebih dulu. Jika sudah terlanjur memproduksi konten negatif, hendaknya kita menghapus, disertai dengan permintaan maaf,” jelasnya.
Sebagai pembicara terakhir, Fransiska Desiana mengatakan, dunia digital adalah dunia yang tanpa batas. Beragam informasi dengan mudah diperoleh dan disebarluaskan. Butuh keterampilan dan tanggung jawab dalam berinteraksi di dunia digital agar tercipta keamanan bermedia digital.
Disinformasi adalah informasi salah dan sengaja dibuat untuk menyebabkan kekacauan. Misinformasi adalah informasi salah namun tidak sengaja dibuat untuk menyebabkan kekacauan. Malinformasi adalah peristiwa yang benar terjadi tapi digunakan untuk menimbulkan kekacauan.
Hoaks adalah informasi yang tidak benar tetapi dibuat seolah-olah benar. Istilah hoaks ini populer bagi para pengguna media digital karena keberadaan hoaks ini (lebih) mudah dijumpai melalui berbagai platform media digital. Tujuan hoaks biasanya untuk menciptakan rasa tidak aman, kecemasan, ketakutan, kebencian perkelahian, bahkan permusuhan.
Dalam sesi KOL, Riska Yuvista mengatakan, saat ini semuanya serba digital, bahkan kita tanpa harus bertatap muka secara langsung secara virtual pun kita mendapat hal yang sama, informasi yang sama, dan bisa saling kenal.
“Di sini tentu ada dampak positif dan dampak negatif yang memungkinkan terjadinya disinformasi maupun misinformasi yang ternyata keduanya itu sama-sama merugikan kita apabila kita tidak selektif dalam mendapatkan informasi,” katanya.
Salah satu peserta bernama Asmatillah Darmawanti menanyakan, bagaimana cara efektif mengajari anak agar mudah dipahami untuk bisa mengevaluasi terlebih dahulu informasi yang ada di dunia digital?
“Untuk anak-anak mungkin saya kira harus dipastikan untuk selalu didampingi saat memegang gadget, walaupun diberikan kebebasan tapi tetap diberikan aturan-aturan screen time. Orangtua bisa menggunakan aplikasi family link untuk memantau aktivitas anak di gadgetnya,” jawab Ida Ayu.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Tangerang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]