Kritik acap dilayangkan pada program tol laut yang dimaksudkan pemerintah untuk mengurangi disparitas harga barang pokok dalam negeri. Efektivitas program ini untuk menekan kesenjangan antara wilayah barat dan timur Indonesia dipertanyakan.

Namun, meng­hen­tikan program ini juga bukan ide yang baik karena nyatanya dibutuhkan masyarakat kepulauan dan memiliki andil membantu masyarakat daerah menikmati harga yang lebih terjangkau.

Berbicara tentang tol laut berarti bicara keadilan. Di wilayah barat, berbagai fasilitas dibangun untuk memanjakan masyarakat yang tak jarang berasal dari kalangan atas. Sementara itu, masyarakat di wilayah timur yang ingin membeli barang kebutuhan pokok dengan harga sama seperti di Jawa saja sering kali diprotes.

Anggaran yang digelontorkan Pemerintah untuk menyubsidi angkutan tol laut, termasuk di dalamnya angkutan perintis dan angkutan ternak akan sangat bermanfaat bagi masyarakat wilayah timur. Walau kawasan timur belum berkontribusi terhadap perekonomian Indonesia sebesar kawasan barat, kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, sandang, dan papan harus tetap terpenuhi dengan harga yang tak jauh berbeda dengan di kawasan barat.

Dalam pidato kenegaraan yang disampaikan di Gedung DPR/MPR, Jumat (16/8/2019), Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menegaskan Pemerintah akan melanjutkan pembangunan Indonesia Sentris agar dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat di berbagai penjuru Tanah Air, mulai dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote. Begitu pun dengan pembangunan konektivitas di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terdiri atas gugusan pulau dan lautan. Keberadaan transportasi laut mutlak diperlukan di wilayah tersebut.

Kementerian Perhubungan secara intensif meningkatkan pelayanan angkutan laut di wilayah NTT dengan membangun serta menyediakan kapal tol laut, kapal perintis, dan kapal ternak sebagai sarana distribusi logistik barang, penumpang, dan hewan ternak dari NTT menuju wilayah lain atau sebaliknya.

Dalam kunjungan kerja ke Kupang, NTT, beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi bersama Nyonya Iriana Joko Widodo didampingi Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi meninjau aktivitas bongkar muat Pelabuhan Tenau Kupang.

Ia menyaksikan langsung pengangkutan hewan ternak menuju Kapal Ternak Camara Nusantara 3 di Pelabuhan Tenau. Kapal tersebut diketahui sedang mengangkut 470 ekor sapi untuk dibawa ke Kalimantan.

Presiden mengatakan bahwa dari 6 trayek kapal ternak yang berjalan, 5 di antaranya berasal dari NTT. Setiap tahunnya sekitar 70 ribu sapi bisa dikirim ke Pulau Jawa, terutama ke Jakarta dan sekitarnya.

“Kapal ini dulu disubsidi. Dulunya Rp 700 ribu, sekarang tinggal Rp 200 ribu. Seperti itu yang kita kehendaki. Awal-awal pasti kosong, lalu disubsidi. Kemudian lama-lama berkurang, hingga sekarang penuh terus,” imbuhnya.

Jokowi bersama rombongan juga memantau proses bongkar muat peti kemas di Kapal Marina Star 1 dengan menggunakan container crane bertenaga listrik. Kapal dengan rute pelayaran Surabaya–Kupang tersebut membongkar muat sekitar 1.000 TEUs peti kemas di dermaga.

Menurut Kepala Negara, kapasitas Pelabuhan Tenau masih dapat dioptimalkan dengan lebih baik. Dari kapasitas terminal dermaga peti kemas sebesar 240 ribu TEUs per tahun, aktivitas bongkar muat yang tercatat pada tahun 2018 kemarin baru mencapai 110.000 TEUs per tahun.

“Artinya, masih ada kelong­ga­ran (sisa kapasitas) yang cukup. Ke depan kalau nanti bisa dikembangkan, Pelabuhan Tenau bisa dipertimbangkan menjadi pelabuhan hub di kawasan timur, setelah kajiannya selesai,” terangnya.

Kedepankan “animal walfare”

Wilayah bagian timur Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk dikembangkan, antara lain Provinsi NTT yang merupakan daerah sentra produksi ternak sapi. Selama ini Provinsi NTT telah menjadi penyangga kebutuhan daging sapi di daerah konsumen seperti Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Kalimantan.

Pengangkutan dan pengiriman sapi selama ini dilakukan melalui jalur darat dan laut. Kedua jalur tersebut masing-masing memiliki perlakuan dan prosedur tersendiri yang tentunya berbeda, baik dari sisi peralatan yang digunakan, moda yang digunakan dan beberapa aspek logistik yang dilakukan pada muatan tersebut agar kualitasnya dapat terjaga dari tempat asal sampai tujuan.

Pengangkutan sapi menggunakan kapal angkutan ternak memerlukan penanganan khusus sehingga cara kerja di atas kapal jauh berbeda dengan kapal pada umumnya. Karenanya, kapal ini harus dirancang dan dibangun serius oleh Pemerintah, antara lain mewujudkan prinsip animal welfare atau kesejahteraan hewan, yaitu hewan harus terbebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari sakit dan luka, bebas berperilaku liar alami, serta bebas dari rasa takut dan stres.

Menurut Menhub Budi Karya Sumadi, kapal khusus angkutan ternak yang dibangun Kementerian Perhubungan merupakan implementasi tol laut untuk mendukung program pemenuhan ternak dari daerah sentra produksi ternak ke wilayah konsumen.

FOTO-FOTO: DOK HAFIDZ NOVALSYAH DAN BKIP KEMENHUB

Dengan adanya kapal pengangkut ternak ini, Menhub berharap dapat menjaga kualitas dan melindungi sapi yang diangkut di atas kapal, dan tentunya juga akan mempermudah proses bongkar muat sapi saat berada di pelabuhan serta memperkecil risiko penurunan berat sapi atau bahkan kematian.

Secara operasional, moda transportasi laut angkutan ternak itu akan efektif melayani pengangkutan ternak dan berlayar secara rutin dan terjadwal dari daerah sentra produksi menuju daerah konsumen.

Dari total 6 trayek angkutan ternak tahun 2019, sebanyak 5 trayek beroperasi di wilayah NTT dengan Pelabuhan Tenau Kupang sebagai pelabuhan pangkal, yaitu, pertama, Trayek RT-1 dioperasikan KM Camara Nusantara 1 melayani trayek Kupang–Waingapu–Tanjung Priok–Cirebon–Kupang dan dioperatori PT Pelni; kedua, Trayek RT-2 dioperasikan KM Camara Nusantara 3 melayani trayek Kupang–Wini–Atapupu–Tanjung Priok–Kupang dan dioperatori oleh PT Subsea Lintas Globalindo; ketiga, Trayek RT-3 dioperasikan KM Camara Nusantara 2 melayani trayek Kupang/Bima–Tanjung Priok–Kupang/Bima dan dioperatori PT Luas Line; keempat, Trayek RT-4 dioperasikan KM Camara Nusantara 4 melayani trayek Kupang–Wini–Atapupu–Samarinda/Balikpapan–Kupang dan dioperatori kapal PT Subsea Lintas Globalindo; dan kelima, Trayek RT-5 dioperasikan KM Camara Nusantara 6 melayani trayek Kupang–Banjarmasin–Bima–Banjarmasin–Kupang dan dioperatori PT Luas Line.

Evaluasi agar lebih optimal

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi juga mengevaluasi program tol laut di Kupang, NTT untuk me­ngupayakan penyelenggaraan angkutan tol laut yang lebih optimal, termasuk evaluasi terhadap kapal perintis dan kapal ternak yang ada di NTT.

Menhub Budi menjelaskan, saat ini, program tol laut, kapal perintis, dan kapal ternak di NTT sudah berjalan dengan baik. Sampai saat ini, volume muatan ternak sudah mencapai 46.000 ton dan ditargetkan untuk tahun ini mencapai 70.000 ton.

“Ke depan, hasil ternak dapat dikirim dalam bentuk yang telah dibekukan atau frozen. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi ada­nya kekosongan muatan tol laut saat balik ke Jakarta,” ujar Menhub Budi.

Menhub Budi juga mengatakan, pentingnya melibatkan usaha masyarakat kecil menengah (UMKM) dengan rencana Pemerintah yang akan mengirimkan hasil ternak dari NTT.

Sedangkan terkait kapal tol laut dan kapal perintis di Kupang dan sekitarnya, menurut Menhub, ke depannya akan menjadi komersial. Oleh karena itu, nantinya kapal tetap bisa berjalan keliling di daerah NTT tanpa subsidi, tetapi tetap memberikan harga eko­nomis kepada masyarakat. Hal tersebut sedang dipertimbangkan dan dihitung dengan cermat oleh Kementerian Perhubungan agar masyarakat tidak mendapatkan kerugian.

Adapun dari total 18 trayek tol laut tahun 2019, sebanyak 3 trayek singgah di NTT yakni, pertama, Trayek H-3 dioperasikan KM Saviour/KM Menteri Persada melayani trayek Tanjung Perak–Tenau–Saumlaki–Dobo–Tanjung Perak dan dioperatori PT Mentari Sejati Perkasa; kedua, Trayek T-13 dioperasikan KM Kendhaga Nusantara 11 melayani trayek Tenau–Rote–Sabu–Lamakera–Kupang Tenau dan dioperatori PT Pelayaran Pelangi Tunggal Ika; dan ketiga, Trayek T-14 dioperasikan KM Kendhaga Nusantara 14 melayani trayek Tenau–Lewoleba–Tabilota–Larantuka–Marapokot–Tenau dan dioperatori PT Pelayaran Pelangi Tunggal Ika.

Sementara untuk kapal perintis, dari 113 trayek perintis tahun 2019, ada 10 trayek perintis di NTT yang dioperasikan oleh KM Sabuk Nusantara 90, KM Sabuk Nusantara 67, KM Sabuk Nusantara 108, KM Sabuk Nusantara 55, KM Sabuk Nusantara 101, KM Sabuk Nusantara 43, KM Sabuk Nusantara 87, KM Sabuk Nusantara 104, KM Berkat Taloda, dan kapal swasta.

Selain itu, dalam mengoptimalkan penyelenggaraan angkutan tol laut tentu diperlukan sinergi dan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, termasuk dalam mengoptimalkan muatan dari daerah. Kementerian Perhubungan akan terus mendukung pemerintah daerah dengan menyediakan reefer container yang cukup baik dari pihak swasta maupun mengoptimalisasi reefer container yang dimiliki oleh Ditjen Perhubungan Laut.

Reefer container berisi 15 ton ikan layang, cakalang, dan tuna asal Kepulauan Talaud beberapa waktu lalu mulai dikirim ke Surabaya, Jawa Timur, menggunakan kapal tol laut. Pengiriman perdana reefer container berisi ikan sebagai komoditas hasil laut di pulau terluar itu mulai dikapalkan Selasa, 30 April 2019, dan diangkut menggunakan kapal tol laut.

Tentunya pengiriman perdana komoditas ikan dari Tahuna Kepulauan Talaud harus diapresiasi mengingat hal ini dapat berjalan dengan sukses dan lancar karena peran serta pemerintah daerah dan juga masyarakat.

Program peningkatan konektivitas yang menghubungkan jalur pelayaran rutin ini menjadi solusi yang tepat bagi masyarakat untuk mengatasi tingginya biaya logistik serta pembangunan yang tidak merata karena terbukti angkutan laut dapat meningkatkan aksesibilitas antarwilayah.

Dengan demikian, kehadiran negara melalui penyelenggaraan tol laut menunjukkan keberpihakan pro­gram Pemerintah untuk me­wu­jud­kan konektivitas antarwilayah dalam mendukung dan mendo­rong pe­merataan pembangunan yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Antara ne­gara, tol laut, dan keadilan rakyat, pastinya! [*]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 23 Agustus 2019.