Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.
Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.
Menyikapi hal itu, Kominfo menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tajuk “Kidsfluencer, Ambisi Orang Tua Masa Kini, Pahami Bahayanya”. Webinar yang digelar pada Jumat, 23 Juli 2021 di Kabupaten Serang, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.
Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Aji Sahdi Sutisna (Ketua RTIK Provinsi Banten), Adetya Ilham (Kaizen Room), Sigit Widodo (Internet Development Institute), dan Rizki Ayu Febriana (Kaizen Room).
Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Aji Sahdi Sutisna membuka webinar dengan menjelaskan, ada YouTuber cilik Indonesia berpenghasilan miliaran rupiah, di antaranya Hana Calista, Zara Cute, Little Princess Shinta, Lifia Niala, dan Aqilas Diary.
“Keuntungan kidsfluencer bisa menumbuhkan kreativitas anak, mengajarkan keterampilan teknis, mengajarkan soft skills, membangun bonding anak dengan orangtua, bahkan menjadi terkenal, memiliki pengalaman dan jaringan, dan kaya raya jauh sebelum kebanyakan orang bekerja,” ujarnya.
Meski begitu, ada dampak negatif dari kidsfluencer, yakni anak-anak berjuang untuk terikat dengan sponsor, membuat anak-anak terbuka terhadap resiko kejahatan cyber dan keterpaparan pada media sosial. Orangtua juga kerap dianggap mengeksploitasi anak; dan dalam skala yang lebih luas, anak-anak berada pada risiko besar eksploitasi.
“Karena mereka tidak memiliki hak hukum atas penghasilan yang mereka hasilkan, atau kondisi kerja yang aman dan perlindungan melalui undang-undang perburuhan. Harapannya ke depan ada kebijakan pemerintah dapat mengatur tentang kidsfluencer,” kata Aji.
Ia melanjutkan, misalkan memberlakukan izin kerja pada kidsfluencer, serta untuk melacak orangtua dan wali mana yang mendapat untung dari aktivitas media sosial anak-anak mereka. Mengamanatkan bahwa perwalian dibuat untuk kidsfluencer, yang terlibat dalam profil media sosial yang menghasilkan keuntungan.
“Ini bertujuan untuk memastikan anak-anak tidak dieksploitasi secara finansial, dan menghalangi orangtua dan wali dari kegiatan tersebut jika mereka cenderung tidak mendapatkan imbalan finansial,” paparnya.
Adetya Ilham menambahkan, etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Etiket adalah etika yang berlaku dalam pergaulan dan pekerjaan sehari-hari. Sementara netiket adalah sopan santun pergaulan di dunia digital.
Etika digital adalah kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan, dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiquet) dalam kehidupan sehari-hari.
“Bahwa menggunakan media digital mestinya diarahkan pada suatu niat, sikap, dan perilaku yang etis demi kebaikan bersama. Demi meningkatkan kualitas kemanusiaan,” ujar Adetya. Adapun ruang lingkup etika ada empat, yaitu kesadaran, kebajikan, integritas, dan tanggung jawab.
Menurutnya, perilaku di era digital terdiri atas konsumtif dan produktif. Dampak konsumtif di media digital, antara lain boros atau sering belanja online berperilaku agresif, dan menarik diri dari kehidupan sosial.
“Sementara dampak produktif di media digital adalah menambah karya, transaksi bisnis menjadi mudah dan menambah income, serta menambah dan mengembangkan pengetahuan,” ungkapnya.
Sigit Widodo turut menjelaskan, kidsfluencer adalah anak-anak yang mem-posting online di media sosial untuk menarik pemirsa dan mendapatkan uang untuk konten bersponsor. Anak-anak yang sukses menjadi kidfluencer bisa mendapatkan bayaran hingga 26 juta dollar AS per tahun dari iklan dan konten bersponspor.
Kidsfluencer muncul karena orangtua cenderung mendahulukan membelikan anak, dibanding membeli untuk dirinya sendiri. “Kepolosan anak-anak selalu menarik untuk menampilkan brand. Namun permasalahan kidsfluencer dapat terjadi eksploitasi anak, kehilangan privasi dan masa kecil, menjadi buruh anak era digital, melanggar batasan usia di media sosial, aturan perundangan di Indonesia belum mengatur jelas soal anak-anak yang menjadi selebritas atau influencer,” kata Sigit.
Sebagai pembicara terakhir, Rizki Ayu menjelaskan, perlunya menanamkan kesadaran berinternet aman sejak dini. Ketidaksadaran orangtua mengekpos kegiatan-kegiatan anak di media sosial, berpotensi mengancam keamanan fisik dan kesehatan mental sang anak. “Akibatnya profiling (pembuatan profil) menjadi rentan digunakan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.”
Dalam sesi KOL, Sisca Septiyani menuturkan, dampak positif gadget di kehidupan sehari-hari yang ia rasakan adalah bisa lebih mudah akses hiburan yang sedang di rumah dan mengasah kreativitas anak dengan konten-konten yang baik.
“Dampak negatifnya pasti dirasakan kekhawatiran orangtua, tapi tidak perlu sampai menutup akses internet dengan melarang penggunaan gadget. Apapun cita-cita anak kita sebagai orangtua harus mendukung,” ucapnya.
Peserta bernama Marsya Mustopo menanyakan, bagaimana jika anak ingin menjadi influencer, sedangkan orangtua sadar akan bahaya dan dampak buruknya untuk mereka? “Salah satu dampak buruk yang akan terjadi adalah komentar negatif. Bagiamana cara mempersiapkan mental anak kita dalam menghadapi komentar negatif yg akan timbul?” lanjutnya.
“Pertama yang harus kita lakukan adalah kalau belum siap menerima komentar kita bisa menonaktifkan kolom kometar. Kedua, persiapkan mental anak-anak kita untuk menghadapi hal–hal seperti itu, kemudian saluran kreativias di media sosial harus betul-betul mengandung unsur pendidikan bukan hanya sekedar bermain saja,” jawab Aji.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Serang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]