Persoalan sampah menjadi isu yang kian mengkhawatirkan di Indonesia. Hal ini menimbulkan berbagai masalah terkait kesehatan, daya dukung lingkungan, sampai ke daya saing ekonomi kita. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun merevitalisasi konsep Adipura sebagai salah satu instrumen untuk mendorong perbaikan kualitas lingkungan hidup—yang tidak sekadar bersih, tetapi juga berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan daya saing.
Seperti dicatat KLHK, ada lima hal mendasar dalam persoalan sampah di Indonesia. Pertama, tingkat kapasitas pengelolaan persampahan dari pemerintah daerah relatif masih rendah. Pengelolaan sampah yang baik dan benar baru berada pada angka 32 persen. Penyebab utamanya, operasional tempat pemrosesan akhir (TPA) sebagian besar masih open dumping atau pembuangan terbuka. Pada 2018, TPA terbuka 55,56 persen.
Kedua, kepedulian publik terhadap pengelolaan sampah masih sangat rendah. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik pada 2018, indeks ketidakpedulian masyarakat akan pengelolaan sampah sebesar 0,72. Artinya, 72 persen masyarakat Indonesia belum memiliki kepedulian terhadap pengelolaan sampah.
Persoalan berikutnya, tren peningkatan sampah plastik yang sangat tajam. Pada 1995 komposisi sampah plastik 9 persen, 11 persen pada 2005, dan 16 persen pada 2016. Pokok masalah keempat, peran dan tanggung jawab produsen dalam pengurangan sampah belum menjadi kewajiban.
Selain itu, penegakan hukum belum maksimal dilakukan. Diamanatkan UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan sampah, sejak 2013, tidak diperkenankan lagi operasional TPA dengan pembuangan terbuka. Namun, upaya hal ini baru mulai dilakukan.
Sebagai terobosan dalam pengelolaan sampah, dikeluarkanlah Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, yang mengamanatkan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan untuk melakukan pengelolaan sampah terintegrasi mulai dari sumber sampai ke pemrosesan akhir.
“Target pengelolaan sampah yang ingin dicapai dalam Jakstranas adalah 100 persen sampah terkelola dengan baik dan benar pada tahun 2025 (Indonesia Bersih dan Bebas Sampah) yang diukur melalui pengurangan sampah sebesar 30 persen, dan penanganan sampah sebesar 70 persen,” ujar Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) Rosa Vivien Ratnawati.
Target pengurangan sampah sebesar 30 persen dari timbulan sampah nasional ini diusahakan dengan pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang sampah, dan pemanfaatan kembali sampah atau barang yang sudah dipakai. Sementara itu, target penanganan 70 persen dari timbulan sampah nasional akan diupayakan dengan pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah.
Untuk mencapai target tersebut, pemerintah daerah juga mesti menyusun dokumen Kebijakan Strategi Daerah (Jakstrada). Paradigma dari program-program ini adalah pengurangan sampah di sumbernya, yang mendorong partisipasi masyarakat dengan mendorong perubahan perilaku secara masif.
Revitalisasi Adipura
Sebenarnya, di dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, sudah ada arahan legal terkait pengelolaan sampah secara nasional. Namun, masih terdapat banyak hal yang belum maksimal. Terkait hal tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memiliki instrumen yang dapat mendorong pemerintah daerah dan masyarakat untuk melaksanakan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini, yaitu Instrumen Adipura. Instrumen ini diharapkan mampu turut mendorong penyelesaian berbagai isu lingkungan hidup di daerah, khususnya persoalan persampahan.
“Dalam konteks itulah Adipura yang saat ini brand-nya menjadi Adipura 2025 mengalami ‘titik belok’ baru atau revitalisasi. Hal ini merupakan sebuah upaya corrective action yang menjadi arahan Presiden Joko Widodo. Adipura 2025 harus dapat menjadi salah satu instrumen penting untuk mewujudkan amanat Peraturan Presiden Nomor 97 tahun 2017 dalam mewujudkan pengelolaan sampah 100 persen tahun 2025, atau dalam bahasa lainnya Indonesia Bersih dan Bebas Sampah 2025,” tutur Rosa.
Orientasi pelaksanaan program Adipura pun bergeser dari tahun-tahun sebelumnya. Indikatornya antara lain kota yang bersih, hijau, dan berkelanjutan.
Konsep dasar Adipura 2025 adalah berbasis sistem dan data, membagi kota ke dalam sistem klasifikasi, serta menggunakan paradigma “bergerak ke hulu” sehingga upaya pengurangan sampah menjadi determinan. Dengan begitu, dasar penilaian Adipura pun berubah. Apabila dahulu dasar penilaiannya adalah berbasis penilaian ambience dalam kurun waktu tertentu, sekarang bergeser menjadi berbasis sistem data pada kondisi riil.
Kota diklasifikasikan dari klasifikasi 1 sampai dengan klasifikasi 5 berdasarkan hal tersebut di atas. Kota yang bisa masuk ke dalam zonasi Adipura adalah kota dengan klasifikasi tingkat 1 dan 2.
Perubahan konsep Adipura ini diharapkan menjadi langkah yang mendekatkan kita pada tujuan terwujudnya kota yang bersih, teduh (hijau), dan berkelanjutan. Dengan penambahan indikator baru, yaitu Jakstrada, neraca pengelolaan sampah (kapasitas operasi pengelolaan sampah), operasional TPA, dan luasan ruang terbuka hijau (RTH) kota sebagai prasyarat utama.
“Kita harus optimistis dan mampu mewujudkan bangsa Indonesia yang lebih baik, berdaya saing, dan hebat apabila kita mampu mewujudkan lingkungan bersih dan sehat bagi setiap warga negara, sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945,” ujar Rosa.
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 14 November 2019.