Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.

Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.

Menyikapi hal itu, maka baru-baru ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Interaksi Online Nyaman, Kikis Ujaran Kebencian”. Webinar yang digelar pada Selasa, 23 November 2021 di Kabupaten Tangerang, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Ali Elanshory – Account Excecutive, Mediate Indonesia (MNC Group), Muhamat Taufik Saputra – Kaizen Room, Erwan Widyarto – Mekar Pribadi, Penulis & Jurnalis, Maryam Fithriati, MSW – Co-Founder Pitakonan Studio and Management/Pegiat Literasi Komunitas.

 

Etika digital

Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Ali Elanshory membuka webinar dengan mengatakan, ada sebanyak 800 ribu situs hoaks di Indonesia yang telah terindikasi sebagai penyebar informasi palsu.

Penyebab hoaks beredar luas di masyarakat yakni akibat masyarakat tidak mau menerima informasi lebih, kurang diajarkan cara berpikir, dan kurangnya pengetahuan. “Yang harus dilakukan untuk menghadapi terbukanya informasi yaitu critical thinking,” tuturnya.

Menurutnya, keterampilan berpikir kritis memungkinkan netizen untuk dapat membedakan informasi mana saja yang termasuk kebenaran atau kebohongan, fiksi dan nonfiksi, fakta atau opini.

Muhamat Taufik menambahkan, etika digital (digital ethics) adalah kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiquet) dalam kehidupan sehari- hari.

Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Etiket adalah etika yang berlaku dalam pergaulan dan pekerjaan sehari-hari. Sementara netiket adalah sopan santun pergaulan di di dunia digital.

Pengertian ujaran kebencian atau hate speech adalah ungkapan atau ekspresi yang menganjurkan ajakan untuk mendiskreditkan, menyakiti seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan membangkitkan permusuhan, kekerasan, dan diskriminasi kepada orang atau kelompok tersebut.

Erwan Widyarto turut menjelaskan, kriteria yang masuk konten kebencian adalah konten mengandung muatan melakukan penghinaan terhadap agama-agama tertentu di Indonesia. Konten yang berisi ajakan untuk membenci atau melakukan kekerasan terhadap pemeluk agama tertentu.

 

Pancasila

Lalu konten yang berisi seruan untuk membenci individu dari kelompok atau suku tertentu. Untuk mencegahnya, diperlukan kecakapan budaya digital, yang merupakan kemampuan diri dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, dan membangun wawasan kebangsaaan, nilai Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari di ruang digital (online).

“Bagaimana mewarnai dunia digital dengan nilai-nilai budaya dan nilai-nilai Pancasila, merupakan tugas kita bersama. Isi dan warnai unggahan dunia digital dengan konten yang positif, produktif dan cinta kasih,” ujarnya.

Sebagai pembicara terakhir, Maryam Fithriati mengatakan, ada cara untuk mengenali berita provokatif. Pertama cermati judul beritanya yang biasanya bombastis, memiliki unsur menilai bahkan penghakiman (judgment), mencampur- adukkan antara fakta dan opini.

Lalu lakukan pelacakan berita untuk melihat arah dan tujuan provokasi media tersebut. Lakukan cek silang dan membandingkan antara berita dari media satu dengan media lainnya agar bisa menilai keutuhan dan kebenaran berita.

“Cara terbaik untuk menjadi pribadi yang kebal hoaks, ujaran kebencian dan provokasi adalah bertanggungjawab dalam berperilaku, tidak melanggar hak orang lain dan menghargai kepentingan publik. Saling jaga, saling hormati dan saling kerjasama adalah prasyarat untuk menciptakan ketahanan siber dan ekosistem digital yang aman,” katanya.

Dalam sesi KOL, Putri Juniawan mengatakan, media sosial yang banyak digunakan di Indonesia itu ada Youtube, Whatsapp, Instagram, Facebook, dan Twitter, jadi seiringnya dengan berjalannya waktu, makin banyak pengguna media sosial.

“Memang banyak sekali hal-hal negatif ada yang posting tentang ujaran kebencian, SARA, dan hal sebagainya, disinilah peran-peran kita para milenial sebagai konten kreator peran kita untuk bisa memberikan hal-hal yang positif bukan hal-hal yang negatif, kita share yang positif kita share kebaikan,” pesannya.

Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilakan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Lazuardi Mahrudin menanyakan, apa batasan ekspresi dalam berpendapat kita di media sosial agar tidak dituding itu adalah ujaran kebencian?

“Kebebasan seseorang itu dibatasi dengan adanya kebebasan orang lain, kalau orang lain merasa terganggu dari ujaran kebencian itu tidak termasuk tidak diperbolehkan sebenarnya, jadi kalau kita melakukan bebas berekspresi itu harus melihat dahulu dari sisi orang lainnya,” jawab Ali.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Tangerang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan, jika turut didukung oleh semua pihak.