Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi. 

Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.

Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Belajar Agama di Dunia Maya”. Webinar yang digelar pada Senin, 27 September 2021 di Kabupaten Lebak, diikuti oleh puluhan peserta secara daring. 

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Misbachul Munir (enterpreneur, fasilitator UMKM Desa), H Miftahudin Djabby (Kabid Pendidikan Kemenag Provinsi Banten), Puji F Susanti (Dosen Universitas Ngurah Rai, IAPA), dan Zulfan Arif (translator, content writer).

Misbachul Munir membuka webinar dengan mengatakan, ruang digital adalah ruang di mana semua orang bisa bertukar informasi dan berkomunikasi dengan cepat. “Walaupun secara geografis berjauhan, sehingga terjadi pertemuan yang bermanfaat antar berbagai pandangan dunia, pemikiran, aksi sosial, produk-pasar dan aspek-aspek kehidupan lainnya, disebabkan adanya kemajuan infrastruktur telekomunikasi internet dan transportasi.”

Meski begitu, ada tantangan ruang digital (negatif), yakni pendangkalan nilai spiritualitas dan religiusitas, eksistensi sebagai manusia yang memiliki akal budi dan daya cipta luntur, serta sikap kreatif ke konsumtif. 

“Dunia virtual, rekaan, yang sering menjadi alat untuk menyebarkan informasi palsu/menyesatkan untuk tujuan kepentingan sepihak dan merugikan pihak lain, baik secara personal, sosial, budaya, ekonomi dan politik,” jelasnya.

H Miftahudin Djabby menambahkan, digitalisasi telah menjadi pengaruh yang sangat luas pada budaya, karena munculnya internet sebagai bentuk komunikasi massal, dan meluasnya penggunaan komputer pribadi dan perangkat lain seperti smartphone. 

“Teknologi digital ada di mana-mana di seluruh dunia, sehingga studi tentang budaya digital berpotensi mencakup semua aspek kehidupan sehari-hari, dan tidak terbatas pada internet atau teknologi komunikasi modern,” katanya.

Sisi negatif dari perkembangan dunia digital adalah penyalahgunaan perkembangan teknologi. Banyak pengguna yang memanfaatkan perkembangan teknologi untuk melakukan hal yang jahat seperti pencurian, perampokan, penipuan, dan untuk aksi pendukung teroris. 

Puji F Susanti turut menjelaskan, etika digital adalah kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan, dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiket) dalam kehidupan sehari-hari. 

Netiket adalah segala aturan tata krama dan etika, dalam berinteraksi menggunakan media digital dan internet. “Pemahaman netiket haruslah kita terapkan sebagai pengetahuan dan sebagai salah satu soft skill yang melekat pada individu maupun sebagai bagian budaya dari institusi.” 

Ketidakpahaman atas netiket bisa menimbulkan dampak negatif yang sangat merugikan, karena internet memiliki jejak digital yang tidak mudah dihapus. Jejak digital atau yang disebut IDC (International Data Corp) sebagai digital shadow merupakan suatu kapsul yang menampung segala informasi aktivitas pengguna internet.

Adapun bahaya belajar agama lewat internet yakni sumber yang berlimpah, maka orang merasa sudah tahu, dan merasa tidak perlu lagi bertanya-tanya kepada orang yang lebih tahu. Merasa tidak perlu menuntut ilmu kepada ulama. Internet tidak pandai memilah-milah, karena internet tidak ada gurunya, makanya yang belajar via internet atau buku itu sesat-menyesatkan.

Sebagai pembicara terakhir, Zulfan Arif mengatakan, menurut hukum, radikalisme adalah suatu tindakan kekerasan untuk anti-Pancasila, anti-NKRI, anti-kebhinekaan dan intoleransi, sehingga semua orang yang berbeda dengannya dianggap salah. 

“Jadi, yang dimaksud dengan radikalisme adalah sikap ingin mengubah sistem yang sudah mapan atau telah disepakati bersama dengan cara-cara kekerasan. Sehingga kalau kita katakan melawan radikalisme, itu adalah melawan radikalisme sebagaimana diartikan di dalam hukum ini,” katanya. 

Dalam sesi KOL, Fadhil Achyari mengatakan, terjadinya pergeseran budaya setelah munculnya media digital, ketika setiap proses pembelajaran bisa dilakukan dengan daring termasuk dalam hal mencari ilmu seputar agama.

“Bagi umat Islam tentunya sumber yang tepercaya haruslah berasal dari Al-quran dan Hadist, serta dari orang-orang yang memang mempunyai pengetahuan agama yang tentunya tidak menyesatkan bagi banyak orang, dalam menggunakan media digital dengan bijak sebaiknya kita harus menggunakannya dengan bijak dan berhati-hati,” ujarnya.

Salah satu peserta bernama Wahyuni Lestari menanyakan, bisakah kita melaporkan artikel menyesatkan supaya di-takedown dan tidak muncul kembali dalam laman pencarian?

“Bisa kita laporkan ke polisi siber yang nantinya bisa menyangkut ke hukum pidana. Kita sebaiknya tidak ragu untuk melaporkan ke pihak terkait apabila menemukan hal yang demikian,” jawab Zulfan.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Lebak. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]