Ada banyak perempuan yang bekerja di pertambangan PT Freeport Indonesia (PTFI). Mereka berkarya di berbagai divisi yang saling terkoneksi. Meski atmosfer pertambangan cukup maskulin, kiprah karyawan perempuan PTFI tak bisa dipandang sepele.
Salah satu divisi yang memiliki banyak karyawan perempuan adalah operator alat berat. Namun, operator di sini tidak bersentuhan langsung dengan unitnya, tapi mengoperasikan alat berat dari jarak jauh alias teleremote, alat berat tambang bawah tanah.
Para perempuan operator ini bekerja di tambang bawah tanah Deep Ore Zone. Pada Mei 2017, untuk pertama kalinya, seorang karyawati mulai mengoperasikan alat berat secara kendali jarak jauh.
Para perempuan operator itu sama sekali tidak turun ke tambang bawah tanah, apalagi melakukan pekerjaan kasar. Sesuai peraturan, PTFI melarang perempuan untuk bekerja di tambang bawah tanah. Para karyawati operator itu bekerja di dalam ruangan berpendingin udara. Mereka mengendalikan alat berat loader atau LHD (load Haul Dump) dengan menggunakan perangkat kendali jarak jauh tercanggih di bidang pertambangan, bermerek Minegem.
Mengoperasikan kendali jarak jauh Minegem membutuhkan keahlian yang tinggi, ditambah kesabaran dan ketelatenan. Itulah sebabnya, barangkali perempuanlah yang memiliki “syarat-syarat” tadi. Apalagi terjadi fenomena menarik, sejak perempuan dipercaya mengoperasikan Minegem, PTFI mengakui adanya kenaikan tingkat produksi diiringi dengan turunnya angka kerusakan LHD.
Salah satu operator Minegem itu adalah Egreda Glaodiane Kambana. Ia akrab disapa EG.
“Saya baru setahun di PTFI. Dulu, kuliah di Nanjing University, China, jurusan Aeronautic dan Astronautic selama 3 tahunan,” katanya, Senin (15/4/2019). Ia belajar di China atas beasiswa Pemda Provinsi Papua bekerja sama dengan Surya Institute.
EG mengungkapkan, bekerja di pertambangan merupakan hal baru bagi dirinya. “Sebelumnya, saya menjadi relawan mengajar anak-anak belajar baca-tulis. Khusus untuk pekerjaan saya di PTFI sedikit berbeda. Sehari-hari saya berada di depan layar monitor sebagai operator kendali jarak jauh Minegem.”
Jenis alat berat yang dikuasai EG adalah loader LHD (load haul dump). Sebelum mengoperasikan alat tersebut, ia mendapat pelatihan tentang apa yang akan dikerjakan. Misalnya, pemahaman tentang klasifikasi lumpur basah di tambang bawah tanah untuk keselamatan alat dan karyawan di bawah tanah. Pelatihan ini dijalaninya selama dua bulan. Setelah lulus, ia mendapat lisensi untuk mengoperasikan alat berat ini.
“Setiap hari, ada tantangan karena setiap hari kami mendapat line up dan selalu kami berada di satu panel. Misalnya hari ini di panel A, besok dipindah ke panel K. Setiap panel ini punya klasifikasi tanah yang berbeda. Kalau material bijihnya basah, kita ditantang untuk menjaga alat tersebut tetap aman dan saat mengambil material kita juga harus meninggalkan drawpoint dalam kondisi aman,” jelasnya.
Setiap hari, EG bekerja dalam tim. “Kami memiliki 3 kru dalam setiap kru terdapat 8–9 perempuan. Kami diperlakukan sama.”
Untuk sistem kerjanya, EG mendapat cuti setiap 6 bulan. Cutinya selama 2 minggu. Sementara itu, sistem kerja hariannya adalah 5 hari kerja pagi 2 hari off dan 5 hari kerja malam 3 hari off atau disingkat 52–53.
Sebagai perempuan, EG sejauh ini merasa dirinya dilindungi secara maksimal oleh perusahaan. “Saya cukup merasa aman bekerja di sini.”
Ia berpesan kepada para perempuan, terutama perempuan Papua, “Apabila kita mencoba sekali tapi belum berhasil, janganlah menyerah. Jalan itu selalu ada selama kita mau berusaha.”
Perempuan mampu
Selain operator, ada perempuan yang bekerja di bagian yang tak kalah penting dalam suatu proses penambangan. Mereka berprofesi sebagai surveyor.
Kita berkenalan dengan Sari Widya Apriyani. Ia adalah lulusan Teknik Geodesi dan Geomatika Institut Teknologi Bandung. Ia berasal dari Rejang Lebong, Bengkulu.
“Saya bekerja sebagai surveyor. Tanah Papua sudah menjadi cita-cita saya untuk bekerja sejak dulu. Karena saya berasal dari bagian barat Indonesia dan saya belum mengeksplorasi Indonesia, jadi saya sangat ingin di Papua,” akunya.
Ia juga mengaku tak begitu asing dengan pekerjaan lapangan. “Kebetulan selama kuliah dulu, saya sering melakukan praktik lapangan, jadi tidak terlalu kaget dengan aktivitas lapangan, seperti pertambangan di Papua.”
Surveyor, imbuh Sari, identik dengan ilmu pengukuran yang output-nya peta. Mereka harus mendefinisikan medan secara jelas dengan beragam permodelan. Saat direkrut PTFI dua tahun lalu, Sari menjadi perempuan pertama yang bergabung dalam tim survei.
“Mungkin dulu ada kekhawatiran ketika perempuan bekerja di bagian ini, tapi setelah dicoba ternyata mampu. Surveyor itu memang pekerjaannya banyak mengangkat peralatan ukur yang berat untuk keperluan survei. Tapi, hal itu bukan masalah karena kita bekerja secara tim. Geodesi sendiri sebenarnya juga banyak meluluskan perempuan,” sambungnya.
Sari baru saja menikah. Sekarang, ia terpaut jarak yang jauh dengan suaminya yang tinggal di Bandung, Jawa Barat. Namun, ia menganggap ini bukanlah persoalan.
“Saya banyak di-support manajemen dengan sistem cuti. Ini bisa membantu saya untuk berkumpul dengan suami. Kebetulan suami saya juga punya agenda dan prioritas lain untuk sekolah S-3-nya di Bandung dan dia tidak melarang saya bekerja di sini. Di sini, kami punya kesempatan dua minggu cuti. Bagi saya dan suami, ini cukup mengakomodasi,” katanya.
Bicara kebutuhan perempuan di bidang kesehatan, Sari menilai fasilitas yang diberikan perusahaan cukup lengkap. Rumah sakit tersedia, termasuk fasilitas vaksinasi untuk keperluan karyawan.
“Tim kesehatan perusahaan sudah melakukan tindakan preventif sehingga karyawan tidak punya kendala untuk bekerja,” ungkapnya.
Sari berkisah, rekan-rekannya yang satu jurusan di perkuliahan cukup banyak yang berminat kerja di PTFI. Ia sedikit berkelakar, selain di sini banyak spot foto yang oke, kesempatan berkarier dari lulusan seperti dirinya juga luas. “Ilmu yang saya miliki juga amat bermanfaat di pertambangan.”
Sari yang hobi hiking dan climbing itu berpesan, “Kesempatan bagi perempuan itu terbuka lebar dan setiap usaha yang keras tak akan mengkhianati hasilnya.”
Kesempatan yang sama
Di PTFI, selain penghasilan, karyawan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berkarier di berbagai divisi. Ini diutarakan oleh Astrit Natalia, Superintendent Underground Mine Logistic Planning. Ia sudah 12 tahun bekerja di PTFI.
“PTFI menyediakan peluang yang besar untuk mengembangkan kemampuan saya. Dulu, para supervisor dan senior memberi saya semangat dan bimbingan yang mantap. Benar-benar diajari dari awal. Jadi, saya menjadi semakin tertarik bekerja di sini,” kisahnya.
Saat menapaki jenjang karier, lanjut Astrit, karyawan perempuan bisa bersaing dengan laki-laki secara fair. Ketika ia mendapat kesempatan naik ke level 3 dan berada di divisinya saat ini, seolah menghapus mitos bahwa hanya laki-laki yang bisa berada di jenjang ini.
“Masih banyak yang mengira kalau masuk PTFI itu berat dan dibatasi untuk kaum perempuan. Ternyata tidak seperti itu. Perusahaan telah memberi kesempatan yang luas bagi perempuan dengan beragam latar belakang disiplin ilmu,” ungkap lulusan Teknik Sipil Universitas Sains dan Teknologi Jayapura ini.
Kebutuhan jasmani karyawati juga sangat diperhatikan. Astrit memberi contoh, bagi perempuan yang memerlukan waktu khusus saat menstruasi, perusahaan menyediakan cuti khusus. “Ini sebenarnya pengaruhnya tergantung dari karyawannya. Ada yang membutuhkan waktu khusus, ada juga yang tidak. Tapi, kantor tetap memberi cuti khusus ini.”
Di luar waktu kerja, Astrit yang lahir dan besar di Jayapura ini juga tetap bisa mengerjakan hobi, misalnya bercocok tanam. “Rekan-rekan yang lain juga mendapat fasilitas untuk menjalankan hobinya. Untuk keluarga, juga ada komunitasnya.”
Kartini-Kartini PTFI itu telah menunjukkan kapasitasnya sebagai karyawan yang tangguh. Mereka berasal dari beragam suku dan budaya. Dari ujung barat Nusantara hingga warga asli Papua. Semangat mereka serupa, mengabdi untuk bangsa dan kesejahteraan keluarga.
Foto-foto: dokumen Freeport.
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 23 April 2019