Dengan fasilitas daring, Unisba terbuka bagi siapa pun untuk menjadi bagian dari sivitas akademika. Teknologi informasi yang semula merupakan barang mewah dan hanya bisa dinikmati kalangan masyarakat elite secara eksklusif, kini, siapa pun dapat menikmatinya dengan bebas dan merdeka. Belajar jarak jauh pun kini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hampir semua institusi pendidikan, mulai dari tingkat dasar, menengah, hingga perguruan tinggi.

Tidak tertutup kemung­kinan, cara-cara kedaruratan seperti ini akan bergeser menjadi kebiasaan yang makin dinikmati. Kuliah-kuliah virtual yang sebelumnya masih dianggap eksklusif dan hanya digunakan pada saat-saat darurat, ke depan bisa menjadi pilihan yang ditawarkan. Kuliah virtual bukan lagi hanya monopoli universitas terbuka, tapi akan banyak perguruan tinggi yang beralih pada pilihan itu. Masa pandemi pun telah berubah menjadi jembatan yang menghubungkan kebiasaan baru, khususnya dalam proses pembelajaran jarak jauh. Ekstremnya, institusi-institusi pendidikan ke depan tidak akan disibukkan dengan menyediakan ruang-ruang kelas fisik sebagai prasarana pem­belajaran konven­sional, sebab ruang-ruang belajar akan cukup dilaksanakan di ruang-ruang virtual yang bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja.

Di kota-kota besar atau di wilayah-wilayah padat pen­du­duk dengan ketersediaan lahan semakin terbatas, cara-cara pembelajaran seperti apa yang terjadi pada masa kedaruratan saat ini, dimungkinkan menjadi pilihan yang dikedepankan. Unisba, misalnya, dengan luas lahan yang makin terbatas, sementara animo masyarakat untuk menjadikan kampus Unisba sebagai pilihannya pun seolah tak berhenti meningkat, ke depan, tidak mustahil ruang-ruang virtual akan menjadi pilihannya.

Memang ada beban tambah­an bagi masyarakat pembelajar. Ia harus menyediakan fasilitas ekstra untuk dapat mengikuti proses pembelajaran, seper­ti perangkat teknologi informa­si. Namun, bukankah fasili­tas konvensional pun mem­butuhkan alat bantu lain yang tidak dibutuhkan jika menggunakan kelas virtual, seperti sarana transportasi?

Jadi, dalam hitung-hitungan untung-rugi, kedua pilihan itu akan menghadapi risiko yang kurang-lebih sama. Bahkan, kelebihan ruang virtual akan dapat menggeser sekat-sekat primordialitas yang sewaktu-waktu dapat muncul di ruang-ruang konvensional dan dapat menghambat proses. Ruang virtual pun dapat memberikan kebebasan yang tidak mungkin dapat dibatasi atau terbatasi secara alamiah, seperti kemer­dekaan psikologis yang biasa disekat dinding-dinding status antar-individu.

Benar bahwa pergeseran ini membutuhkan proses adaptasi yang tidak sederhana. Kebiasaan baru itu ditemukan selama musim pandemi sekarang ini. Inilah yang dimaksud dengan “selalu ada hikmah di balik suatu musibah”. Mungkin, kalau saja, tanpa masa pandemi seperti saat ini, pilihan pembelajaran konvensional masih akan bertahan hingga waktu yang belum dapat diprediksi. Namun, karena desakan kedaruratan seperti pada masa pandemi, semua orang “dipaksa” untuk beralih ke kebiasaan baru dan meninggalkan kebiasaan lama.

Jika kebiasaan baru ini telah menjadi pakaian yang mentradisi, apa pun yang diperkirakan akan dapat menjadi penghambat jalannya proses baru itu, akan dapat dilewati secara mudah dan alamiah. Masyarakat pun akan menjadi masyarakat baru, komunitas kampus akan menjadi komunitas baru, dan kebaruan-kebaruan itu akan mendorong sebuah inovasi positif yang menguntungkan. Terbayang, sebuah suasana baru yang semakin inklusif, iklim sosial baru yang semakin egaliter yang berdimensi 3M (mujahid, mujtahid, dan mujaddid), ruang-ruang kelas virtual baru yang semakin terbiasa dimiliki komunitas pembelajar, maka kampus virtual pun akan dengan sendirinya terbentuk. Unisba kampus inklusif masa depan bangsa. (Prof Dr Miftah Faridl, Ketua Badan Pengurus Yayasan Unisba).

Unisba sebagai universitas yang memiliki visi menjadi Perguruan Tinggi Islam yang Mandiri, Maju, dan Terkemuka di Asia. Website : https://www.unisba.ac.id