Prof Dr Drs Luqman Hakim MSc: Pilkada mengalami bias politik dan sosial
Profesor Bidang Sosiologi Pemerintahan Dr Drs H Luqman Hakim MSc mengungkapkan pemilihan kepala daerah (pilkada) saat ini mengalami bias politik dan sosial sehingga berkembang menjadi pemilihan politik antroposentrik kedaerahan dalam arti lebih menyuburkan ikatan-ikatan primordialisme daripada ikatan-ikatan nasionalisme politik.
“Saat ini, pilkada lebih mirip seperti pemilihan kepala politik dibandingkan kepemimpinan administratif. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan selama 15 tahun,” kata Luqman pada saat pidato pengukuhan profesor, Kamis (17/12).
Dia menambahkan, keberadaan pilkada dianggap membahayakan karena sudah menjauh dari cita-cita proklamasi kemerdekaan 1945.”Biaya pemilihan politik yang mahal calon kepala daerah dikuasai ataupun secara sukarela menyerahkan diri kepada oligarki yang pusat kekuasaannya berada di tangan para pejabat tinggi negara, petinggi partai politik, atau para cukong. Oleh karena itu, dari perspektif sosiologi pemerintahan diprediksi, pilkada cepat atau lambat, membahayakan keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” katanya.
Luqman menambahkan, meskipun sudah menjauh dari cita-cita proklamasi, masyarakat “sudah cerdas.”
Menurut Luqman, masyarakat justru memainkan pilkada untuk kepentingan ekonomi mereka sendiri. Mereka sengaja “menjual” suara kepada semua bakal calon (balon), tetapi juga menanti “serangan fajar”.
“Ketika akhirnya tidak sedikit mereka yang berhasil terpilih ternyata masuk bui, masyarakat tidak peduli, bahkan mempersalahkan sang aktor yang hanya pandai korupsi berjamaah dengan kelompoknya sendiri, dan gagal memainkan peran ‘Si Pitung’, si perampok dermawan dalam folklor rakyat Betawi zaman kolonial,” katanya.
Prof Dr Drs Luqman Hakim MSc menyelesaikan studi S-1 di UGM, S-2 di SOAS University of London, dan S-3 di UGM.
Prof Dr Rachmad Safa’at SH MSi: Perlu keadilan dalam tata kelola pertambangan mineral dan batu bara
Profesor Bidang Ilmu Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam Prof Dr Rachmad Safa’at SH MSi menyampaikan, Indonesia dengan sumber daya alam yang melimpah merupakan penghasil batu bara terbesar kelima di dunia, sekaligus menjadi negara pengekspor batu bara terbesar di dunia karena masih minimnya pemanfaatan batu bara di dalam negeri.
Dengan potensi kontribusi yang besar tersebut diperlukan kejelasan arah politik hukum tata kelola pertambangan mineral dan batu bara yang mampu menyejahterakan rakyat, khususnya di daerah yang kaya bahan tambang serta menjaga keberlanjutan lingkungan bagi generasi berikutnya.
Meski demikian, dalam tataran realitas, telah terjadi sebaliknya. Kondisi exsisting politik hukum tata kelola pertambangan mineral dan batu bara saat ini menghadapi situasi krisis dan dalam situasi anomali karena mengabaikan nilai-nilai keadilan sosial tertuang dalam sila kelima Pancasila dan Al Quran, serta prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan.
“Kekayaan sumber daya mineral dan batu bara, tidak serta-merta menyejahterakan rakyat dan memberikan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Justru sebaliknya menimbulkan kemiskinan, konflik sosial, degradasi, dan kerusakan lingkungan yang masif, terstruktur, dan sistematis melalui berbagai kebijakan dan regulasi yang tidak ramah terhadap keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan,” jelasnya.
Berbagai laporan hasil penelitian menunjukkan dampak aktivitas pertambangan meningkatkan angka pengangguran, kekerasan, ketimpangan ekonomi, kemiskinan, ketidakadilan sosial, pencemaran dan kerusakan lingkungan, korupsi dalam tata kelola pertambangan mineral dan batu bara.
Melalui penelitian ini, Rachmad Safa’at merekomendasikan perlunya konstruksi baru politik hukum tata kelola pertambangan mineral dan batu bara agar kebijakan dan regulasi ke depan lebih responsif terhadap keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan dengan cara mengintegrasikan dan mengakomodasikan empat pilar utama yang meliputi (1) teori hukum responsif dan progresif, (2) teori good governance dan good environmental governance, (3) keadilan sosial berdasarkan sila kelima dan Al Quran, dan (4) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Agar rekomendasi tersebut dapat diwujudkan, diperlukan social movement atau gerakan sosial yang luas, komprehensif, dan memiliki networking yang kuat untuk mengawal setiap agenda perubahan yang terkait dengan kebijakan dan regulasi tata kelola pertambangan mineral dan batu bara. “Kalangan akademisi dari dunia kampus menjadi aktor utama (agent) pembaruan yang menjadi motor utama penggerak perubahan,” pungkasnya.
Prof Dr Rachmad Safa’at SH MSi menamatkan pendidikan S-1 pada Fakultas Hukum UB, S-2 Magister Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan, Program Studi Ekologi Manusia, Universitas Indonesia, serta S-3 di Universitas Diponegoro. Ia pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Periode 2015–2019.