Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.
Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.
Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Etika Dunia Internet: Jarimu, Harimaumu”. Webinar yang digelar pada Kamis, 23 September 2021 di Kabupaten Serang, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.
Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Amni Zarkasyi Rahman SAP Msi(Dosen Pengajar Universitas Diponegoro), Dr Dwiyanto Indiahono (Dosen Kebijakan Publik Universitas Jenderal Soedirman), Tutik Rachmawati PhD (Director of Center for Public Policy & Management Studies Parahyangan Catholic University, IAPA), dan Mikhail Gorbachev Dom (Peneliti Institut Humor Indonesia Kini).
Amni Zarkasyi membuka webinar dengan mengatakan, digital skill penting sekali manfaatnya. “Penting karena masyarakat tidak cukup hanya mampu mengoperasikan berbagai perangkat TIK dalam kehidupannya sehari-hari, tetapi juga harus bisa mengoptimalkan penggunaannya untuk manfaat bagi dirinya dan orang lain.”
Menurutnya, tidak semua hasil penelusuran mesin pencarian informasi benar, karena banyak juga yang hoaks, maka diperlukan kompetensi kritis pengguna untuk dapat menyaring informasi yang diperoleh. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hoaks adalah berita bohong atau berita tidak bersumber. Hoaks adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya.
Hoaks biasanya sengaja dibuat untuk mencapai tujuan tertentu dan mendapatkan keuntungan dari dampaknya. Adapun cara hindari berita hoaks, yakni hati-hati dengan judul provokatif, cermati alamat situs, periksa fakta, cek keaslian foto.
Dwiyanto Indiahono menambahkan, pada 2021 Survei Digital Civility Index (DCI) Microsoft menyebut, dari 32 negara Indonesia ranking 29. Tiga faktor utama penyebabnya, yakni hoaks dan penipuan, ujaran kebencian, dan diskriminasi.
“Maka diperlukan netiquette atau network etiquette atau internet etiquette. Netiket adalah etiket di jaringan dunia maya. Etiket diterapkan dalam penggunaan internet, baik yang bersifat yang bersifat pribadi (seperti mengirim email), maupun umum/ forum digital media sosial, chat,” jelasnya.
Adapun tahapan bernetiket membangun citra diri positif, yakni berkumpulah dengan komunitas yang baik, saring informasi dengan cek konten yang mencurigakan, tenangkan diri dan berpikir jernih dalam membuat konten, posting/sharing konten valid, bermanfaat dan sampaikan secara santun.
Tutik Rachmawati turut menjelaskan, orang Indonesia jika bertemu langsung sebenarnya ramah, tapi ketika di dunia virtual semua merasa punya hak untuk memberikan komentar, tetapi tidak ada yang merasa komentarnya itu harus dipertanggungjawabkan.
“Interaksi sosial media pasti akan ditemukan lebih banyak ketidakkesepakatan jika dibandingkan dengan interaksi secara face to face. Kalau dari sisi teorinya ketidakkesepakatan pandangan ataupun perbedaan pendapat serta keyakinan adalah mendorong masing-masing individu untuk lebih toleran terhadap satu sama lain,” katanya.
Seharusnya juga setiap perbedaan-perbedaan itu bisa membuat masing-masing pihak jadi lebih berpikir reflektif dan lebih bisa mengembangkan citra diri positif ketika berada di dunia virtual.
Sebagai pembicara terakhir, Mikhail Gorbachev menjelaskan, perlunya penerapan nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika di ruang digital. Sila pertama nilai utamanya adalah cinta kasih, saling menghormati perbedaan kepercayaan di ruang digital.
“Sila Kedua nilai utamanya adalah kesetaraan, memperlakukan orang lain dengan adil dan manusiawi di ruang digital. Sila Ketiga nilai utamanya adalah harmoni, mengutamakan kepentingan Indonesia di atas kepentingan pribadi atau golongan di ruang digital,” ujarnya.
Sila Keempat nilai utamanya adalah demokratis, memberi kesempatan setiap orang untuk bebas berekspresi dan berpendapat di ruang digital. Sila Kelima nilai utamanya adalah gotong-royong, bersama-sama membangun ruang digital yang aman dan etis bagi setiap pengguna.
Dalam sesi KOL, Ken Fahriza mengatakan, berbicara kondisi saat ini, etika kita di dunia nyata dan di dunia digital harus sama-sama baik, kita tidak bisa seenaknya dengan orang lain dan di dunia digital pun kita harus mengikuti aturan yang berlaku. “Dunia digital itu banyak orang lain tidak hanya kita saja. Kembali lagi pada diri kita sendiri untuk menjaga etika kita.”
Salah satu peserta bernama Bayu menanyakan, apa saja penyebab seseorang menyebarkan berita hoaks? bentuk tindakan apa yang membuat penyebar berita hoax menjadi jera?
“Biasanya orang ingin menjadi yang pertama dan berlomba-lomba dalam menyebarkan informasi, tergesa-gesa, tidak teliti, dan ada pihak tertentu yang sengaja menyebar hoaks. Yang bisa kita lakukan untuk penyebar hoaks itu jera adalah cek dulu data yang kita terima dan langsung bicarakan kepada orang tertentu dengan memberikan bukti yang sebenarnya sebagai konfirmasi,” jawab Dwiyanto.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Serang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]