Jumlah periset Indonesia dinilai masih minim. Data dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) pada 2016 menyebutkan, kuantitas periset di negeri ini adalah yang paling sedikit di antara negara-negara anggota G-20.
Rasio jumlah periset di Indonesia, menurut sumber tersebut, yaitu 89 peneliti untuk per 1 juta penduduk. Dibandingkan dengan Singapura—jawara ASEAN—yang memiliki 6.658 peneliti per 1 juta penduduk, Indonesia masih jauh tertinggal (Kompas.com, 17/4/2017).
Padahal, Indonesia memiliki potensi sumber daya manusia dan alam yang sangat besar. Oleh karena itu, perlu dukungan berbagai stakeholder untuk merealisasikan jumlah yang mencukupi dan mutu peneliti Indonesia yang kompeten. Lembaga pendidikan, salah satunya. Dari sektor swasta, misalnya, dengan hadirnya kampus Indonesia International Institute for Life Science (i3L).
Dalam operasionalnya, i3L menjalankan kurikulum internasional berbasis inovasi dan riset life science di Indonesia, khususnya di bidang biomedis, bioteknologi, dan ilmu pangan. Kampus i3L berkolaborasi dengan UNSW (University of New South Wales), Boston University, dan Boras University. Kampus yang terletak di Pulomas, Jakarta Timur ini, telah hadir di Indonesia sejak empat tahun lalu.
“Sebagai negara yang begitu besar, Indonesia mempunyai banyak potensi bagus yang dapat memajukan ekonomi bangsa, termasuk dalam bidang riset dan inovasi. Kami ingin Indonesia memiliki industri berbasis sains yang kuat dengan riset dan inovasi yang kuat pula,” terang Director of Academic Affairs Dr Matteo Morello.
Negara-negara maju di dunia dapat bertahan dan maju berkat penguasaan ilmu pengetahuan, sains, dan inovasi secara konsisten dan terprogram baik. Keperluan pendidikan tinggi di bidang-bidang inilah yang dimotori oleh i3L. Sudah saatnya Indonesia memproduksi dan mempertahankan talenta-talenta berbakat negeri ini.
Kampus riset
Didukung dengan staf pengajar dari dalam dan luar negeri berkualitas, i3L juga dirancang dengan lingkungan belajar yang nyaman dan memenuhi kebutuhan, salah satunya tersedia fasilitas laboratorium yang jumlahnya mencukupi dan berstandar internasional sesuai dengan kebutuhan. Kampus ini memiliki delapan jurusan kuliah, yakni food science, food technology, biotechnology, biomedicine, bioinformatics, bioentrepreneurship, farmasi, dan magister biomanajemen.
Kampus i3L juga memiliki program kuliah double degree, baik untuk program S1 maupun S2. Untuk program S1 bisa 3 tahun di Indonesia ditambah 1 tahun di luar negeri, jadi mahasiswa bisa mendapatkan dua gelar S1 dari dari negara berbeda. Sementara itu, untuk double degree di program S2, mahasiswa menempuh 2 semester di Indonesia dan 1 semester akhir di Swiss.
“Program ini kami hadirkan untuk membuka peluang mahasiswa i3L dalam mengembangkan jaringan dan semakin mempermudah langkah untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan impian. Hal ini mengingat bahwa kami juga melakukan kemitraan dengan beberapa kampus di luar negeri dan juga beberapa perusahaan di dalam dan luar negeri,” papar Matteo.
Bukan hanya belajar di kelas atau di laboratorium, i3L juga mengadakan field trip agar mahasiswa dapat belajar langsung di perusahaan yang bersangkutan sesuai dengan jurusan yang mereka ambil. Salah satu contohnya, awal Januari lalu, mahasiswa i3L jurusan bioteknologi melakukan kunjungan ke Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. Kunjungan ini membahas tentang obat-obatan biologi (biosimilar) yang berbasis protein di Indonesia.
Selain itu, i3L rutin menyelenggarakan acara Power Talk dengan menghadirkan pembicara dari luar negeri, seperti pada Januari lalu menggelar seminar tentang masa depan dunia life science dengan menghadirkan pembicara Prof Bruce Alberts selaku Chancellor’s Leadership and Biophysics for Science and Education dari University of California.
Tak ketinggalan, banyak prestasi telah diukir mahasiswa i3L. Di antaranya diraih Azrina Saraswati Karya di jurusan biomedicine yang mendapat Gold Medal Certificate on ASC, 2015 di Thailand; dan prestasi grup diraih Sheila Lestari, Immaculata Titis, dan Muhammad Nouval jurusan bioentrepreneurship melalui inovasi produk bernama Tamarillo Yogurt yang berhasil memenangkan seleksi CPPBT (Calon Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi) yang diselenggarakan Ristekdikti pada 2016.
Berdasarkan apa yang dilakukan i3L dengan menghadirkan pendidikan yang bermutu berbasis riset dan inovasi terlihat bahwa lembaga pendidikan tinggi dituntut untuk tidak hanya berperan sebagai lembaga pengajaran, tetapi juga sebagai pencipta pengetahuan (knowledge creator) dan penyedia pengetahuan (knowledge provider). Yang pada gilirannya berdaya guna secara langsung untuk peningkatan kesejahteraan rakyat dan dapat meningkatkan daya saing bangsa dalam kancah pergaulan internasional. [IKLAN/ACH]
Artikel ini di Harian Kompas edisi 23 April 2017