Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.

Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.

Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Menjadi Netizen Pejuang, Bersama Lawan Hoaks”. Webinar yang digelar pada Rabu (4/8/2021) di Kota Tangerang, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Anang Dwi Santoso, SIP, MPA (Dosen Universitas Sriwijaya), Dr. Frida Kusumastuti (Dosen Universitas Muhammadiyah Malang), Oka Aditya, ST, MM (Research Analyst), dan Maureen Hitipeuw (Kaizen Room). Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety.

Hoaks

Anang Dwi Santoso membuka webinar dengan mengatakan, hoaks adalah berita palsu dan mengandung informasi yang sengaja menyesatkan orang serta memiliki agenda politik tertentu.

Isi hoaks yang sering diterima yakni informasi pekerjaan, kecelakaan lalu lintas, bencana alam, sosial budaya, candaan, dan lain-lain. Jenis hoaks yakni fake news, clickbait, bias konfirmasi, misinformasi, satire, post truth, dan propaganda.

“Mudahnya orang percaya hoaks karena kurangnya literasi, mencengangkan, terus disebar, bias konfirmasi dan resistensi pada kebenaran,” ungkapnya.

Adapun kriteria berita itu hoaks, yakni berita yang dibuat untuk kepentingan tertentu dan ada berita yang mungkin dibuat oleh media tidak profesional.

“Setidaknya ada empat ciri hoaks menurut Kominfo. Pertama sumber informasi atau medianya tidak jelas identitasnya, mengeksploitasi fanatisme SARA. Pesan tidak mengandung unsur 5W+1H lengkap. Disebarkan semasif mungkin. Hoaks diproduksi untuk menyasar kalangan tertentu,” paparnya.

Dr. Frida Kusumastuti turut menjelaskan, berdasar survei microsoft 2020 pada 58.000 orang di 32 negara, menyimpulkan antara lain netizen Indonesia paling tidak sopan di Asia Tenggara.

“Oleh karena itu, diperlukan prinsip etis bermedia digital, yang meliputi kesadaran, kebajikan, integritas, dan tanggung jawab,” tuturnya.

Kompetisi etis bermedia digital di antaranya adalah paham dan waspada terhadap pesan hoaks, perundungan, ujaran kebencian, dan konten negatif lainnya.

Ia menambahkan, misinformasi adalah informasinya salah, tapi orang yang menyebarkannya percaya bahwa informasi itu benar, tanpa disengaja. Sementara disinformasi, informasinya salah, disebarkan oleh orang yang tahu bahwa informasi itu salah, ada kesengajaan.

Sedangkan malinformasi, informasi yang berdasarkan realitas tapi digunakan untuk merugikan orang, kelompok, organisasi, atau negara lain. “Kita bisa berpartisipasi memproduksi dan menyebarkan konten positif, stop hoaks, lawan hoaks di internet,” harapnya.

Komunikasi

Oka Aditya menjelaskan, dunia digital mempermudah komunikasi dengan orang lain yang terbatas dengan jarak dan waktu. Komunikasi dapat dilakukan dengan mudah dan cepat selama terjangkau dengan jaringan internet, bahkan bisa dilakukan kapan pun dan di mana pun.

“Kita selalu update dan mengetahui berita terkini tanpa harus keluar atau bertanya kepada banyak orang,” tuturnya. Meski begitu, ada kekurangan era digital, seperti komunikasi online mendekatkan yang jauh namun menjauhkan yang dekat, dan muncul berbagai informasi yang harus diperiksa kebenarannya.

Adapun ciri-ciri informasi palsu yakni kalimat dimulai dengan judul yang heboh dan dilebih-lebihkan, huruf kapital kadang digunakan secara serampangan, kualitas foto dan grafis lainnya buruk, mencatut lembaga atau figur publik, isi tidak masuk akal, tidak muncul di media berita arus utama.

Sebagai pembicara terakhir, Maureen Hitipeuw memberikan lima tips untuk menghindari berita hoaks. “Pertama teliti judul dan situsnya, awas jebakan phishing, belajar pakai autentikasi dua faktor, jangan asal bikin password, dan saling bantu saring berita hoaks,” pungkasnya.

Dalam sesi KOL, Iga Azwika mengatakan, timbulnya hoaks itu kurangnya literasi digital dan rendahnya membaca juga atau kecakapan digital. “Cara memberitahu anggota keluarga bilang dengan cara sopan dan jangan terlalu cepat sharing, harusnya dicek dulu jangan langsung disebarkan,” pesannya.

Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilakan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Rizky Firdaus menanyakan, banyak orang tua yang tidak bisa membedakan berita hoaks. Bagaimana cara memberitahunya?

“Ini memang menjadi problem kita bersama karena kalau melawan orang tua dikiranya tidak sopan, kalau anak tahu informasi itu hoaks maka jangan menyebarkanya, pada prinsipnya jangan sampai ikut menyebarkan dan stop di kita saja. Kasih tahu ke orang tua dan terserah,” jawab Nur Arifin.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Tangerang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan, jika turut didukung oleh semua pihak.