Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.
Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.
Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Menjadi Netizen Pejuang, Bersama Lawan Hoaks”. Webinar yang digelar pada Kamis, 21 Oktober 2021 di Tangerang Selatan, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.
Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Erista Septianingsih (Kaizen Room), Alviko Ibnugroho (Financologist, Motivator Keuangan dan Kejiwaan Keluarga), Wulan Tri Astuti (Dosen Ilmu Budaya UGM), dan Anggun Puspitasari (Dosen Hubungan Internasional Universitas Budi Luhur Jakarta).
Erista Septianingsih membuka webinar dengan mengatakan, hoaks atau berita bohong yakni informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya.
“Berbeda dengan rumor, ilmu semu, atau berita palsu, maupun April Mop. Hoaks bertujuan membuat masyarakat merasa tidak aman, tidak nyaman, dan kebingungan. Dalam kebingungan, masyarakat akan mengambil keputusan yang lemah, tidak meyakinkan, dan bahkan salah,” tuturnya.
Hoaks tersebar juga melalui situs web (34,90 persen), Whatsapp, Line, Telegram (62,80 persen), Facebook, Twitter, Instagram, dan Path (92,40 persen). Penting dipahami, apapun aktivitas di dunia digital menjadi personal branding Anda, dijaman sekarang mungkin HRD akan mencari tau informasi tentang Anda melalu sosial media.
Alviko Ibnugroho mengatakan, saat ini terjadi pergeseran pola pola pikir, pola sikap, dan pola tindak masyarakat dalam akses dan distribusikan informasi. Masyarakat Indonesia akan semakin mudah dalam mengakses informasi melalui berbagai platform teknologi digital yang menawarkan inovasi fitur.
“Masyarakat digital atau digital society adalah realitas hidup di abad 21, di mana manusia dalam berbagai sektor kehidupannya terpaut dengan teknologi digital,” tuturnya.
Adapun tips etika literasi digital sebagai sarana melawan berita bohong atau hoaks. yakni kita harus menerapkan nilai-nilai READI dalam penyebaran informasi, yaitu responsibility, empathy, authenticity, discernment, dan integrity.
Wulan Tri Astuti turut menjelaskan, netiket (network etiquette), yaitu tata krama dalam menggunakan internet. “Hal paling mendasar dari netiket adalah kita harus selalu menyadari bahwa kita berinteraksi dengan manusia nyata di jaringan yang lain, bukan sekedar dengan deretan karakter huruf di layar monitor, tapi dengan karakter manusia sesungguhnya.”
Netiket bukanlah hal yang kompleks, asalkan logika dan common sense kita berjalan lancar. Kita tidak akan kesulitan menerapkannya karena netiket berasal dari hal yang umum dan biasa yang layaknya kita lakukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Kompetensi memverifikasi merupakan salah satu skill yang juga harus kita miliki, karena berkaitan dengan kejelasan dan kebenaran dari sebuah informasi agar terhindar dari luapan informasi di media digital.
Terdapat cara untuk mengecek validitas sebuah informasi, yaitu melalui tabayyun. Tabayyun berasal dari bahasa Arab dengan kata kerja tunggal tabayyan yang dalam kamus Al-Maani berarti terang, jelas, dan yakin akan kebenaran dalilnya.
Sebagai pembicara terakhir, Anggun Puspitasari mengatakan, ciri-ciri dari hoaks yakni selalu berasal dari sumber yang tidak resmi dan tidak jelas kredibilitasnya. Format hoaks biasanya seringkali salah eja, seperti tata letak tulisan yang buruk.
“Selain itu, hoaks juga mengandung clickbait, dll. Maka diperlukan digital safety atau keamanan berdigital. Yakni kemampuan individu dalam mengenali, mempolakan, menerapkan, menganalisis, dan meningkatkan tingkat keamanan digital dalam kehidupan sehari-hari untuk kegiatan positif dan tidak merugikan diri sendiri atau orang lain, serta lebih bijak dalam menggunakan fasilitas tersebut,” jelasnya.
Dalam sesi KOL, Endy Agustian mengatakan, internet sudah menjadi teman kita dalam kehidupan sehari-hari, artinya borderless atau tanpa batas, yang harus kita lakukan yakni menerapkan konsep yang namanya freedom control power.
“Jadi, kebebasan tersebutlah yang menjadi kekuatan kita untuk mengkontrol diri kita. Saat berselancar di media sosial juga membuat kita jangan mudah percaya begitu saja,” pesannya.
Salah satu peserta bernama Apriyani menanyakan, phising sangat berbahaya karena bisa menyebabkan kebocoran data, bagaimana kita bisa mencegah terjadinya phising bagi orang awam yang mudah percaya link tidak jelas?
“Phising untuk orang awam, semisalnya untuk para orangtua kalau ada iming-iming hadiah atau hadiah uang sepertinya sangat semangat jadinya asal klik saja gitu. Itulah tugas kita sebagai generasi yang cakap digital bisa dieduasi terutama untuk para orangtua kita. Tugas kita yang paham tentang keamanan data di dunia digital bisa kita edukasi kalau mendapatkan informasi yang seperti itu bisa dicek terlebih dulu,” jawab Erista.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Tangerang Selatan. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]