Pada 2–10 September, Art Space di Ma­po-gu, Seoul, ber­­ubah menjadi eta­lase yang menampilkan ragam arsitektur kota di Indonesia. Sebanyak 54 karya arsitektur dari Indonesia disuguhkan dalam Indo­nesian Architect Week Seoul (IAWS) 2017. Menunjukkan wajah per­kotaan negara ini seka­ligus bagaimana arsitektur menyi­kapi­nya.

Ajang IAWS 2017 merupakan ke­gi­atan kolateral yang mendukung Kong­res Union Interna­tionale des Architectes (UIA) atau Kongres Persatuan Arsitek Dunia yang tahun ini diadakan di Seoul. Kegiatan semacam IAWS 2017 pernah diadakan sebelumnya pada 2011 di Tokyo dengan nama Indonesia Architects Week Tokyo 2011. Penye­lenggaraan IAWS 2017 didukung Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), dan Kedutaan Besar Indonesia untuk Korea Selatan.

Foto-foto dokumen Popo Danes dan Deddy Wahjudi

“IAW sebelumnya mengikuti event ini secara mandiri. Tetapi saya melihat bahwa Bekraf memiliki agenda untuk mendukung dunia kreatif, termasuk arsitektur. Ternyata, Bekraf setuju untuk mendukung pameran ini dalam berbagai aspek,” ujar Deddy Wahjudi, arsitek sekali­gus penggagas Indonesia Architect Week, Rabu (18/10).

Deddy mengatakan, ajang ini diinisiasinya untuk menggaungkan lebih besar nama Indonesia di lingkungan arsitek dunia. Pada pameran di Seoul beberapa waktu lalu, kehadiran IAW dirasa pas karena tema “Soul of City” yang diangkat UIA kebetulan berkorelasi dengan tema arsitektur dan kota, yang sedang hangat dibicarakan IAW.

Saat ini, sejumlah kota besar di Indonesia sedang giat membangun infrastruktur. Dan itu pertanda yang baik. Inilah ruang-ruang bagi para arsitek untuk turut mengambil andil dalam pemecahan masalah-masalah perkotaan. Begitu pen­dapat Danny Wicaksono, salah satu kurator IAWS 2017. Bersama dengan Defry Ardianta yang juga bertindak sebagai kurator, Danny memilah karya dan kemudian mengategorikannya.

“Ada lima kategori yang di­pakai, yaitu mobilitas, vo­lume, interaksi, lingkungan, dan investasi. Kelima isu ini bisa dilihat ada di dalam karya-karya tersebut, walaupun tentu permasalahan urban lebih dari itu,” tutur Danny, Selasa (17/10).

Danny mencontohkan, pem­­bangunan kawasan terpadu ber­­­­­­­­­­­­­­upaya tanggap terhadap isu mo­bilitas dan interaksi. Begitu pula dengan pembangunan infra­struktur baru yang menghu­bungkan kota besar dengan kota-kota satelit. Di sejumlah daerah, kita pun bisa melihat adanya kecen­derungan untuk investasi budaya, yang tampak dari pembangunan museum atau galeri.

Para arsitek juga kini meng­optimalkan volume dengan menyiasati pemanfaatan ruang. Persoalan lingkungan direspons dengan begitu banyak cara, mi­salnya desain rumah yang me­mungkinkan penghuninya ber­kebun atau pasar yang menampung air hujan.

Perlunya peta

Arsitek Popo Danes, salah satu peserta IAWS 2017, meng­anggap tema “Soul of City” rele­van dengan situasi pembangun­an kita. “Sebagai arsitek, kami harus mampu membantu warga kota menyesuaikan diri ke mindset baru yang aktif, playful, dan berwawasan baik. Karena semua kota di Indonesia bergerak ke arah itu, tetapi tidak semua bisa menempuhnya dengan cepat,” ujar Popo, Rabu (18/10).

Dalam IAWS 2017, Popo membawa karya studio Popo Danes Architect yang berada di galeri Danes Art Veranda, Bali. Ran­cangan ini mengakomodasi karakter bangunan tropis. Efisiensi energi dan sirkulasi udara dioptimalkan dengan meminimalisasi cahaya buatan pada siang hari dan membuat arah bukaan ke arah utara atau selatan untuk menghindari paparan panas berlebih. Sebagian materialnya adalah barang-barang bekas.

Bagi Popo, identitas atau kearifan lokal amat penting diadopsi dalam bangunan. “Ini akan mere­presentasikan karakter warga dan membangun kebanggaan warga kota. Salah satu krisis kita adalah krisis kebanggaan,” tuturnya.

Popo melihat, selain persoalan identitas daerah, saat ini perkotaan di Indonesia memiliki masalah yang cukup kompleks, terutama terkait arah pemba­ngunan dan tata kota jangka panjang. Bagi Popo, amat perlu dipahami bahwa bangunan atau infrastruktur fisik sangat berpengaruh terhadap sesuatu yang nonfisik, perilaku.

Arsitek yang mengenyam pendidikan di Universitas Uda­ya­na ini mencontohkan, infrastruktur dan akses transportasi yang buruk membuat buruknya perilaku berkendara dan menciptakan kecenderungan orang untuk selalu mendahulukan ke­pemilikan kendaraan dalam prioritas ekonominya.
“Infrastruktur dan akses transportasi yang tidak terintegrasi dalam tata kota ini, salah satu akibatnya, menjadikan sum­ber daya ekonomi warganya terkuras untuk pemenuhan kebutuhan infrastruktur pribadi. Saya melihat ini tidak pas. Ini juga turut membentuk sikap mereka di ruang publik,” kata Popo.

Peta pembangunan kota amat diperlukan untuk mewujudkan visi tentang kota dan memprediksi serta mengantisipasi perubahan-perubahan. Selama ini kita seolah tidak sempat memiliki cukup waktu berpikir untuk melakukan transformasi karena kota selalu bergerak. Hal ini harus direspons dengan sistem pemikiran yang melibatkan multidisiplin.

“Setiap daerah mestinya memiliki visionary masterplan. Ini mencakup aspek yang sa­ngat banyak. Tidak hanya desain, tetapi juga sosial, ekonomi, dan keamanan. Setiap kepala daerah harus punya kebesaran hati bahwa fondasi yang diletakkan hari ini tidak harus dia nikmati hasilnya,” ungkap Popo.

Bersama di­siplin lain, arsitektur bisa berpe­ran besar dalam membentuk wa­­jah kota dan pola interaksi di da­lamnya. Seperti tersirat dalam te­­ma “Soul of City”, kini saatnya pe­rancangan eksterior kota se­per­ti masterplan atau interior se­perti bangunan dan jalan raya di­arahkan untuk pembangunan jiwa kota. Interaksi yang hangat, war­ga yang sehat dan produktif, anak-anak yang bebas dan aman ber­main, atau lansia yang merasa tenteram.

“Kita harus membahagiakan warga dan kotanya dalam jangka panjang,” kata Popo. [NOV/VTO]

Ruang nirbatas Indonesia di Venesia

Pesta raya arsitektur itu sudah dekat. Venice Architecture Biennale 2018. Indonesia akan hadir dengan membawa kado. Bukan sesuatu yang megah atau mewah, melainkan sebuah puisi.

Pada malam penjurian kurator Paviliun Indonesia untuk Venice Architecture Biennale (VAB) 2018, Minggu (15/10), tim juri menetapkan “Sunyata” se­bagai konsep yang akan dibawa pada perhelatan besar arsitektur itu. Dewan juri terdiri atas tujuh orang yang mewakili berbagai profesi, keahlian, dan lembaga. Mereka adalah Ricky Joseph Pesik (Bekraf), Ahmad Djuhara (IAI), Gunawan Tjahjono (IAI), Budi Lim (IAI), Achmad D Tardiyana, Goenawan Mohamad, dan Jay Subiyakto.

VAB yang berlangsung 26 Mei-25 Novem­ber 2018 meng­angkat tema freespace dan Sunyata re­levan dengan tema itu. Konsep ini diusung tim kurator yang diketuai Ary Indra dan beranggotakan David Hutama, Dimas Satria, Jonathan Aditya, Ardy Hartono, dan Johanes Adika.

“Ide saya adalah membebaskan arsitektur dari wujud dan rupa. Saya menyebutnya the poetic of emptiness,” ujar Ary, Selasa (17/10).

Selama ini, lanjut Ary, arsitektur kerap dipandang sebagai atraksi visual belaka. Ini mendegradasi arsitektur itu sendiri menjadi “tontonan”. “Padahal, arsitektur seharusnya pengalaman. Kami ingin me­nempatkan lagi pengalaman itu untuk memberikan cara baru memaknai arsitektur Indonesia,” katanya.

Seperti makna kata sunyata itu sendiri, karya ini berangkat dari kekosongan. Sebuah ruang 24 x 14 meter. Sehelai kertas panjang digantungkan di langit-langitnya yang setinggi kira-kira 7 meter. Menciptakan lengkungan ke bawah serupa setengah lingkaran, membagi ruang menjadi atas dan bawah. Pencahayaan yang sangat menyilaukan dipasang pada bagian atas.

Pada kertas yang menggantung, ada dua lubang. Satu rekahan dengan panjang 10 meter dan lebar 1,6 meter. Satu lagi berbentuk elips, di sisi rekahan panjang itu. Keduanya adalah pintu untuk mengalami. Orang akan bisa masuk ke dunia yang diciptakan Sunyata melalui lubang itu.

“Di sini, waktu akan terasa berjalan lebih lambat, skala terasa dipermainkan, dan kemampuan pandang tereduksi. Kita hanya melihat garis-garis tipis dan mendengar suara sehingga manusia sadar ia menjadi bagian dari sekitarnya yang lebih besar. Ini semacam cara baru untuk menggugah kesa­daran tentang ruang,” jelas Ary.

Ilustrasi Paviliun Indonesia dengan konsep Sunyata. (Foto dokumen Ary Indra)

Kosong yang kelak dibawa Ary ke VAB 2018 bukanlah kosong yang hampa, melainkan yang berisi. Seperti ruang kedap ketika kita masuk ke fase meditasi, ini kekosongan yang mendorong kita untuk berkontemplasi, mengalami dan memaknainya dengan bekal apa pun yang sudah kita kenal.

“Sunyata adalah konsep yang menempatkan manusia dalam dialog dengan ruang sekitarnya. Selama ini, kita mengandalkan geometri se­bagai perangkat untuk mengu­asai kekosongan itu. Padahal, ada perangkat lain yang bisa dipakai, tubuh manusia. Sebenarnya ini adalah core arsitektur: manusia dan ruang sekitarnya. Kita bisa memakai perasaan dan indera, bukan perangkat,” tutur Ary.

Arsitektur Indonesia sen­diri sebenarnya akrab dengan sunyata. Kita bisa me­nemui kekosongan itu misalnya pada ruang-ruang joglo, Tamansari, atau rumah Toraja. Karya Sunyata ini juga menjadi upaya untuk menggugah kesadaran kita tentang esensi ruang dan kedalaman arsitektur Indonesia.

Bahwa Nusantara punya kekayaan luar biasa terkait arsitektur. Bahkan, barangkali kita tak perlu ke mana-mana untuk mencari kiblat.

“Yang menarik, arsitektur Indonesia selalu tergagap-gagap ketika dihadapkan pada sesuatu yang baru, misalnya green building. Kita sebenarnya sudah sejak dulu punya, tetapi seolah-olah dipaksa mengikuti standar Barat,” kata Ary.

Hal yang sama berlaku juga pada kesadaran tentang ruang. “Orang Asia sejak dulu sudah berpikir tiga dimensi ketika berbicara tentang ruang, ini, mi­salnya, tampak pada konsep petungan dan fengshui. Sementara itu, pemikiran arsitektur barat berawal dari grid, kemudian pixel, dan sekarang volumetric pixel. Laku meruang sebenarnya sudah kita punya sejak dulu, jauh sebelum istilah volumetric pixel ditemukan,” lanjut Ary.

Kado arsitektur

Gunawan Tjahjono me­ngatakan, yang menonjol dari Sunyata adalah kemampuannya mencerna nilai universal dan nilai leluhur untuk menghadirkan sesuatu yang baru.

Gunawan menganalogikan Venice Architecture Biennale sebagai pesta. Orang-orang datang membawa hadiah yang mewakili dirinya, yang mencerminkan sesuatu yang bisa dicapainya. “Kita tidak bisa membawa sesuatu yang usang. Dan, Sunyata menawarkan kebaruan itu. Kado ini menantang pembuat acara untuk berpikir dan membukanya untuk negara-negara lain,” ujar Gunawan, Selasa (17/10).

Ricky Joseph Pesik, Wakil Kepala Bekraf sekaligus juri, mengatakan, sasaran utama Indonesia berpartisipasi dalam VAB adalah national branding.

“Kami ingin arsitektur Indonesia bisa menyebarkan perkembangan, pemikiran, atau gagasannya kepada komunitas arsitektur dunia,” kata Ricky.

Di Venesia tahun menda­tang, inilah yang Indonesia tawarkan. Sunyata yang menuntun orang mengalami keintiman yang puitis. Esensi arsitektur itu sendiri. [NOV/VTO]

Eksplorasi Tiga Arus Arsitektur

Panggung untuk Indonesia sedang dibentangkan di ajang Europalia 2017. Tahun ini, Indonesia mendapat kehormatan menjadi negara tamu (guest country).

Europalia adalah salah satu festival seni internasional terbesar yang diselenggarakan dua tahun sekali sejak 1969 untuk merayakan kekayaan budaya sebuah negara. Indonesia mengisi beragam acara selama penyelenggaraan Europalia pada Oktober 2017 hingga Januari 2018.

Foto dokumen Mamostudio

Berpusat di Brussel, festival ini dihelat sekaligus di puluhan kota di tujuh negara Eropa. Selain tentu saja masyarakat di Belgia itu sendiri, orang-orang di Inggris, Belanda, Jerman, Polandia, Perancis, dan Austria akan dibuai indahnya budaya Indonesia.

Rangkaian acara yang terdiri atas dua ratusan agenda kegiatan budaya ini menampilkan sejumlah pameran, termasuk pameran arsitektur. Danny Wicaksono, kurator untuk pameran ini, menginisiasi program arsitektur bertajuk “Specific-Generic-Ethnic” atau Pameran Tiga Arus.

“Pameran ini menceritakan pengalaman general tentang situasi arsitektur di Indonesia,” tutur Danny, Selasa (17/10).

“Specific-Generic-Ethnic” yang akan dihelat beberapa waktu mendatang akan menjadi pembuka mata orang-orang di luar Indonesia tentang tiga arus atau kecenderungan utama arsitektur di Indonesia, yaitu arsitektur etnik, generik, dan spesifik. Pameran yang ditampilkan di Loci, Brussel, ini dibagi menjadi lima bagian besar, yaitu timeline, deskripsi masing-masing arus, perbandingan masing-masing arus, interaksi antar-arus, dan gambar-gambar dari Instagram yang dikumpulkan dengan tagar tertentu.

Danny menerangkan, arsitektur etnik memperlihatkan akar arsitektur etnik yang diwariskan turun-temurun, dari generasi ke generasi. Arsitektur ini unik karena setiap kondisi geografis dan budaya yang berbeda-beda antardaerah membentuk kekhasan. Material lokal lebih kerap digunakan dalam arsitektur ini.

Arsitektur generik adalah tipe arsitektur yang dibangun kebanyakan orang di Indonesia. “Desainnya lebih banyak anonim, kadang dikerjakan tukang, dan menggunakan material yang dijual umum. Arsitektur inilah yang lebih banyak membentuk wajah kota kita,” kata Danny.

Yang ketiga adalah arus arsitektur spesifik. Jenis arsitektur yang dirancang oleh para arsitek yang mengenyam pendidikan formal. Desainnya dibuat khusus untuk masing-masing proyek, kadang-kadang juga menggunakan elemen-elemen yang didesain manasuka. Untuk pameran ini, dipilih sejumlah arsitek ternama Indonesia yang sudah melakukan eksplorasi arsitektural dengan konsisten.

Arsitektur menjadi cerminan perjalanan budaya bangsa ini. Lewat pameran ini, kelak akan terbangun semacam dialog antarbudaya dan profesi tentang apa yang telah dan sedang berkembang di Indonesia. [NOV]

Artikel ini terbit di Harian Kompas 21 Oktober 2017