Keragaman karya industri musik Tanah Air sesungguhnya dapat dihimpun menjadi kekuatan budaya dan ekonomi yang besar. Namun, kontribusi sektor musik baru satu persen dari total PDB nasional industri kreatif pada 2017. Dibutuhkan langkah strategis untuk menyuburkan ekosistem industri musik.

Indonesia perlu membenahi sejumlah aspek, antara lain terkait kelengkapan data, infrastruktur, akses permodalan, kekayaan in­telektual, dan pemasaran. Salah satu persoalan mendasar dalam tata kelola industri musik adalah sistem pendataan musik. Bergerak dari masalah itu, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mengambil langkah besar untuk mengembangkan Portamento, pusat data musik berbasis teknologi informasi.

Direktur Infrastruktur Fisik Bekraf Selliane Ishak menerangkan, Portamento sebagai pusat data akan mengintegrasikan industri hulu (copyright/publishing) hingga hilir (neighboring rights). Portamento dirancang untuk dapat terkoneksi dengan pencatatan arsip ciptaan musik di Ditjen HKI subsektor Cipta (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) dan Ditjen Pajak (Kementerian Keuangan), khususnya yang mengangkut royalti pada Pajak Penghasilan pasal 23.

Irfan Aulia, inisiator yang juga mengawal proyek pengembangan Portamento, menjelaskan vitalnya fungsi pusat dokumentasi musik ini. “Dengan Portamento, hak cipta musik akan terkelola, meta data akan termonetisasi dengan lebih baik, musisi pun mendapatkan royalti dari karya mereka. Selain itu, Portamento mendukung valuasi hak cipta dan penentuan hak cipta sebagai objek jaminan fidusia.”

Jika Portamento sudah berjalan, Indonesia akan memiliki arsip data yang akurat terkait pendapatan industri kreatif dari subsektor musik. Kelak hal ini akan dapat merealisasikan amanah UU No 28/2014 tentang Hak Cipta, terutama pencatatan (pasal 66) dan menjadi dasar penetapan hak cipta sebagai obyek fidusia yang didasari rekap terintegrasi data pembayaran royalti. Saat ini, Bekraf sedang melakukan konsolidasi dengan kementerian dan lembaga terkait untuk mematangkan sistem Portamento.

Pentingnya sarana fisik

Dalam membangun ekosistem musik, kebutuhan infrastruktur fisik juga perlu diperhatikan. Oleh karena itu, dirancanglah program bantuan pemerintah (Banper) lewat Bekraf. Ada tiga bentuk Banper yang diberikan, yaitu revitalisasi infrastruktur fisik ruang kreatif (biasanya berupa rehabilitasi atau renovasi bangunan), sarana ruang kreatif, serta sarana teknologi informasi dan komunikasi.

Selliane menjelaskan, “Banper bukan hibah atau pinjaman dan tidak sama dengan bantuan sosial. Banper diberikan sebagai stimulus dari pemerintah kepada kelompok masyarakat, lembaga pemerintah, atau lembaga nonpemerintah.”

Banper diberikan berdasarkan usulan dari masyarakat atau pelaku krea­tif dalam bentuk proposal. Pi­hak Bekraf bersama penilai teknis independen kemudian me­nyeleksinya. Adapun tim teknis itu terdiri atas arsitek, insinyur teknik sipil, antropolog, etnomusikolog, dan lainnya. Setelah penerima bantuan diumumkan, proses selanjutnya adalah pengadaan barang dan jasa dari pemerintah melalui lelang, sebelum barang/jasa tersebut di­serahkan kepada penerima Banper.

Jumlah Banper setiap tahun berbeda, tergantung ketersediaan anggaran. Pada 2017, ada 24 penerima Banper revitalisasi, 38 penerima Banper sarana ruang kreatif, dan 6 penerima Banper sarana TIK. Tahun ini ada 10 penerima Banper revitalisasi dan 19 penerima Banper sarana ruang kreatif. Sementara untuk Banper TIK, belum ditentukan jumlah penerimanya.

“Untuk subsektor musik, pada tahun ini hanya banper sarana ruang kreatif saja yang diberikan. Mereka yang mendapatkan adalah Sanggar Seni Mahagenta dari Kabupaten Bogor dan Pemerintah Kota Tual, Maluku Utara,” ujar Selliane.

Penciptaan lagu anak

Ilustrasi : Iklan Kompas/ Arief Krestiono

Kepala Bekraf Triawan Munaf mengatakan, pengembangan sub­sektor musik ditempuh lewat dua jalur utama yang dijalankan secara pararel, yaitu pembenahan ekosistem sekaligus peningkatan produksi dan pemasaran. Produktivitas penciptaan musik atau lagu pun tak boleh dikesampingkan. Saat ini, salah satu persoalan industri musik di Indonesia adalah rendahnya pertumbuhan lagu anak. Hal ini, diutarakan Triawan, juga menjadi keprihatinan Presiden Jokowi.

“Saat ini akses anak terhadap media luas sekali sehingga mereka terpapar juga dengan lagu-lagu dan film-film yang tidak sesuai dengan usia mereka. Padahal, anak-anak punya dunia dan cara berekspresinya sendiri,” kata Triawan.

Kebutuhan akan lagu anak perlu diakomodasi. Apalagi, ditambahkan Triawan, lagu anak juga punya potensi monetisasi sama dengan karya musik yang lain. Bekraf lalu bekerja sama dengan Miles Film dan International Design School (IDS) untuk membuat Lomba Cipta Lagu Anak. Antusiasmenya ternyata luar biasa, ada total 1.865 karya yang masuk dari total 1.212 peserta.

Setelah diseleksi, terpilihlah lima finalis. Lagu “This is My Holiday” ciptaan Stephen Irianto Wally menjadi pemenang utama dan “Menjelajah Dunia” karya Era Patigo menjadi pemenang pilihan publik. Kelima lagu finalis dimasukkan di album kompilasi Lomba Cipta Lagu Anak dan dinyanyikan oleh para pemeran film Kulari ke Pantai. Triawan menambahkan, lomba cipta lagu anak ini akan dijadikan program tahunan Bekraf.

Karya-karya musik berkualitas diharapkan akan terus lahir. Ketika ekosistem industri musik juga kian baik, kelak musik akan menjadi salah satu lokomotif yang turut menggerakkan ekonomi kreatif Indonesia. [NOV/VTO]

kuassa, Siap bersaing di arena global

Berangkat dari kegemaran akan musik, perusahaan rintisan asal Bandung menggarap pengembang peranti lunak yang berfokus pada teknologi audio. Produk-produk dengan label Kuassa ini mendapat pengakuan secara luas.

Sebagai pengembang peranti lunak, Kuassa berfokus membuat peranti digital guitar amplification dan audio processing untuk kebutuhan rekaman. Sejak 2010, Kuassa telah memiliki 19 pluggin, seperti peranti lunak gitar (Amplifikation One, Amplifikation Vermilion, Amplifikation Crème, Amplifikation Lite), peranti lunak Basiq Equalizer, dan peranti lunak Kratos Maximizer untuk mastering. Produk-produk tersebut dijual dengan harga beragam, sekitar 34 sampai 70 dollar AS, ada pula yang gratis.

“Belum adanya yang terjun di bidang peranti lunak musik di Indonesia membuat kondisi ini menjadi peluang yang besar bagi kami,” terang CTO Kuassa Arie Ardiansyah.

Negara terbanyak yang menggunakan produk Kuassa hingga saat ini berasal dari Amerika Serikat, sekitar 40 persen. “Di satu sisi sangat mengembirakan karena Kuassa dapat terkenal di negeri lain. Tapi, satu sisi lainnya menjadi perhatian penting karena dari dalam negeri belum begitu banyak yang menggunakan produk kami,” ungkap Arie.

Foto : dokumen kuassa.

Peranti lunak musik ini digunakan dalam beberapa film Hollywood seperti Butterfly Effect, Watchmen, dan Guardians of The Galaxy. Selain itu, salah satu pengguna dari Kuassa adalah perusahaan gim terkenal asal Jepang, yaitu Capcom.

Pada 2017, Kuassa digandeng Bekraf untuk mengikuti South by Southwest (SXSW). Kegiatan ini merupakan festival tahunan yang berisi konferensi film, media interaktif, dan musik yang selalu bertempat di Austin, Texas, Amerika Serikat. Pada 2018, Kuassa berpartisipasi dalam Marche International du Disque et de l’Edition Musicale (MIDEM) di Perancis.

“Bekraf menjadi support system yang benar-benar dibutuhkan bagi industri kreatif seperti kami. Sebelumnya kami sudah pameran di SXSW dan Jepang. Terakhir di AS, kami mendapat reseller, membuka jalur bisnis baru ke Amerika. SXSW dan MIDEM menjadi kesempatan baik untuk menunjukkan sebenarnya Indonesia punya rumah peranti lunak bidang musik. Bagi kami pribadi, ini membuka jalan bagi investor asing untuk mengembangkan peranti lunak lebih lanjut,” tutup Arie. [ACH]

seruni audio, Hasrat Lokal tembus Pasar Internasional

Cita-cita awalnya sederhana. Menciptakan mikrofon yang dapat menghasilkan suara instrumen akustik yang natural dan jernih. Pasar yang dituju adalah lokal. Namun, ternyata pasar internasional pun merespons hangat.

“Kami berusaha mengisi ruang kosong di pasar musik Indonesia. Satu mikrofon itu bisa dipakai untuk semua jenis alat musik. Sebenarnya, ini yang amat disukai pasar Indonesia,” tukas Cretta Cucu Abdullah, yang bersama dua rekan lainnya, Donny Buntoro, dan Gatot Danar, mendirikan Seruni Audio pada 2015.

Dengan prinsip place, plug, and play, produk Seruni ini bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan. Pada instrumen biola, gitar, flute, cello, dan sebagainya. Inovasi ini didorong dari adanya ketidakpuasan terhadap kualitas audio saat merekam suara instrumen maupun saat melakukan pertunjukan langsung. “Kekuatannya adalah natural recording. Jadi, apa yang didengar, itu yang direkam,” tambah Cretta.

Dengan suara yang detail dan jernih, Seruni pun berhasil menggoyahkan pasar musik internasional kala pertama kali diperkenalkan di pentas dunia. Seperti saat mengikuti pameran di Austin, Texas, Amerika, pada Maret dan di Cannes, Perancis, pada Juni 2018, yang merupakan salah satu bentuk dukungan dari Bekraf.

Tak sedikit pengunjung yang langsung jatuh cinta dan ingin membeli produk langsung. Alhasil, selepas pameran di Austin, Cretta dan teman-teman memutuskan menambah waktu tinggal hingga empat hari untuk mengenali lebih jauh pasar musik di sana. Pada hari terakhir pameran di Cannes, salah seorang musikus kawakan juga memborong seluruh aksesori dan mikrofon yang dibawa saat pameran.

Dari ajang ini, pintu pasar internasional sedikit demi sedikit pun terbuka. Bahkan kini Seruni juga menjalin mitra dengan musisi seperti di Amerika yang menggunakan produk Seruni untuk aktivitas bermusik di negaranya. Respons pasar internasional yang di luar ekspektasi ini meyakinkan para pendiri Seruni Audio bahwa kualitas produk yang dihasilkan tidak kalah dengan produksi mancanegara.

Kini, mikrofon buatan Seruni Audio mulai merambah Jerman, Australia, Singapura, dan Amerika. Dalam waktu tiga tahun, Seruni Audio juga telah memiliki 14 dealer yang tersebar di Palembang, Medan, Batam, Makassar, Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang, Solo, dan Bali. [ADT]

Anymo, Gitar Tipis yang Memukau Dunia

Perhatian pengunjung Business of Design Week (BoDW) 2016 di Hongkong terpusat pada sebuah booth yang menampilkan gitar tipis bernama Anymo, yang kemudian dalam event ini didaulat sebagai The Most Marketable Product.

Anymo memang menarik perhatian karena badan gitar ini hanya memiliki ketebalan delapan milimeter, tetapi bisa menghasilkan suara akustik tanpa ruang resonansi seperti yang ada di gitar pada umumnya. Anymo menggunakan sistem microchamber. Dengan sistem ini, suara yang dihasilkan tidak memiliki resonansi berlebih yang kerap menyebabkan feedback.

Anymo juga menyedot perhatian di South by Southwest (SXSW) 2017 di Amerika Serikat dan Salone del Mobile 2017 di Italia. Terbaru, Anymo diboyong lagi oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) ke pameran musik internasional untuk segmen business to business (B2B) bernama Marche International du Disque et de l’Edition Musicale (MIDEM) 2018.

Foto-foto : dokumen Anymo

“Saya pribadi bersyukur terhadap pencapaian Anymo sejauh ini. Dalam setiap event yang diikuti, Anymo berhasil mencuri perhatian masyarakat mulai dari musisi profesional sampai pencinta desain minimalis. Tak menyangka responsnya luas biasa terhadap Anymo,” ujar Raka Shiddiq (34), pencipta Anymo.

Menariknya, 80 persen materialnya berasal dari kayu lokal. Sementara itu, sisanya berupa aksesori pendukung yang hanya bisa didapatkan dari luar negeri.

Ekspresi dari keterbatasan

Anymo bukan hanya pengalih kebosanan Raka terhadap gitar yang bentuknya cenderung itu-itu saja. Gitar tipis ciptaannya merupakan penyemangat hidupnya saat dia merasakan gejala awal tumor spinal. Kini, Raka harus menggunakan kursi roda untuk berjalan.

“Anymo dibuat saat hidup saya berada di titik terendah. Penyakit ini mengharuskan saya mundur dari pekerjaan sebagai pengajar mata kuliah Tata Boga di salah satu kampus ternama di Bandung. Di awal sakit itu, saya mulai melihat dunia dengan cara berbeda. Saya juga rindu pada kesederhanaan dan berkarya tanpa menghilangkan esensi. Anymo Essential Guitar dibangun karena inspirasi itu,” ungkap Raka.
Kini, Raka sedang sibuk membangun Anymo sembari melawan penyakit yang dideritanya. Raka menyusun rencana untuk membawa Anymo mulai masuk ke pasar internasional, sesuai cita-citanya menjadikan Anymo merek gitar Indonesia yang mendunia. Anymo sedang dalam tahap peralihan dari industri rumahan ke industri yang lebih.

Kesempatan ikut MIDEM tentu menjadi peluang yang luar biasa. Pengunjung dunia yang melihat dan mencoba Anymo di situ mendapatkan pengalaman baru. Walaupun hanya dipamerkan, Anymo mulai dilirik oleh beberapa pembeli potensial yang menyatakan tertarik memasarkan gitar ini di beberapa negara.

“Secara personal, saya mewakili tim Anymo berterima kasih pada Bekraf karena telah memfasilitasi karya anak bangsa, khususnya Anymo untuk bisa dikenal lebih luas. Saya angkat topi bagi Bekraf dan bagaimana cara tim Bekraf bersedia turun langsung menjemput bola untuk menemukan pelaku usaha di bidang kreatif,” pungkas Raka. [VTO]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 7 Juli 2018.