Mengusung paradigma transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial, fokus perpustakaan saat ini adalah melayani seluruh masyarakat, termasuk juga mereka yang termarginalkan karena berbagai keterbatasan. Bukan cuma lewat buku fisik, akses informasi juga disalurkan Perpustakaan Nasional melalui kanal digital dan beragam pelatihan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Cita-citanya, meningkatkan literasi masyarakat yang akhirnya menuntun mereka untuk menjadi lebih sejahtera dan berdaya.

Dikatakan Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Muhammad Syarif Bando, literasi yang dimaksud adalah yang cakupan maknanya lebih luas, seperti yang dirumuskan UNESCO. Ini dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu kemampuan untuk memiliki akses terhadap sumber informasi, kemampuan memahami makna tersirat dari yang tersurat, mengemukakan ide atau gagasan, serta menciptakan barang atau jasa yang kompetitif.

Pencapaian cita-cita itu ditempuh dengan meluaskan akses informasi yang relevan kepada masyarakat, terutama di wilayah perdesaan. Saat ini, melalui dinas perpustakaan provinsi, Perpusnas bermitra dengan banyak pihak untuk melakukan pendampingan terhadap masyarakat.

Ada pula sukarelawan pendamping atau library supporter yang terjun langsung di lapangan. Mereka adalah orang-orang yang mendukung perpustakaan dalam mengimplementasikan program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial. Bentuk dukungan tersebut bisa dengan keterlibatan dalam memberikan pelatihan atau memfasilitasi jejaring dengan pihak lain.

Karena program ini juga bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ditegaskan Syarif bahwa dalam menentukan stakeholder yang pas untuk berkolaborasi, Perpusnas mendekatkan basis pengetahuan dari pendamping yang dijaring dengan pilihan ekonomi yang sudah ditetapkan oleh desa.

“Kita bicara tentang kesejahteraan. Oleh karena itu, fokus program kita ini adalah membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan per kapita, mengurangi pengangguran, dan berkontribusi dalam membangun bangsa,” tutur Syarif.

Diharapkan kelak masyarakat bisa mandiri dan sejahtera secara ekonomi. Oleh karena itu, dalam program-program pelatihan, masyarakat didorong untuk menjadi pelaku industri rumah tangga. Kita tahu, kontribusi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta ketahanan ekonomi nasional di atas 60 persen.

Berdayakan masyarakat

Program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial yang dilaksanakan oleh Perpustakaan Nasional telah nyata-nyata membantu begitu banyak orang di seluruh Indonesia. Mereka menjadi lebih berdaya, baik secara ekonomi maupun mental.

Ibu Kumi Mohamad dari Gorontalo, misalnya. Ibu berusia 63 tahun dari Kabupaten Pohuwato ini adalah janda dengan tanggungan empat orang cucu. Dua di antaranya merupakan anak yatim dan dua lainnya berasal dari keluarga yang orangtuanya bercerai.

Demi mengupayakan pendidikan yang baik untuk cucu-cucunya, dahulu, Kumi berjualan kelapa ke pasar. Namun, penghasilannya dari sini kerap tak memadai. Pada beberapa kesempatan, ia bahkan terpaksa berutang.

Suatu kali ketika sedang berjalan di kampungnya, Kumi melewati kerumunan orang di sebuah sekolah. Rupanya mereka tengah memperhatikan peragaan penanaman seledri dengan teknik hidroponik yang menggunakan alat-alat sederhana.

Rasa keingintahuan Kumi membuatnya berkenalan dengan Yusri, staf Dinas Perpustakaan Kabupaten Pohuwato, yang memberikan peragaan hidroponik tersebut. Didampingi dan dimentori oleh staf perpustakaan, Kumi lantas mendalami beragam rujukan tentang hidroponik di perpustakaan, baik dari buku, majalah, hingga video Youtube.

Kini, Kumi sudah mengembangkan pertanian hidroponik sendiri di pekarangan kecilnya. Ia bahkan menjadi pemasok sayuran untuk empat tukang sayur keliling di daerah tempat tinggalnya. Hasilnya pun lumayan. Kumi kini punya penghasilan sekitar Rp 300 ribu per hari sehingga kebutuhan harian dan keluarga, terutama pendidikan cucu-cucunya, sudah dapat dipenuhi.

Masih banyak cerita serupa di tempat lain. Di Lampung, M Dika Saputra, anak penyandang tunarungu berusia 12 tahun, menyadari potensinya dalam bidang melukis setelah mengikuti program dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Mesuji. Ia yang mulanya minder karena keterbatasannya kini merasa lebih percaya diri dan sudah mengunjukkan kebolehannya pada beberapa acara, seperti pada acara Lomba Bercerita Anak atau peringatan Hari Puisi.

Dijelaskan Syarif, program-program semacam itu akan terus dilanjutkan dengan menggandeng lebih banyak pihak untuk bekerja sama dan menjangkau cakupan yang lebih luas.

“Pada 2021, kami akan memperluas kerja sama dan mendata jejaring kami. Kami ingin memastikan ada perpanjangan tangan di empat wilayah pengembangan Perpusnas, yaitu di Sumatera; Jawa, Bali dan Nusa Tenggara; Kalimantan; serta Maluku, Papua, dan Papua Barat,” tutur Syarif. Rencananya, pada 2021 ada sekitar 500 desa dari 100 Kabupaten yang disasar dalam program Perpusnas transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial.

Perjalanan meningkatkan literasi dan kesejahteraan memang masih panjang. Namun, kini sudah tampak titik-titik terang yang terus membesar. Semoga kelak cita-cita kesejahteraan untuk masyarakat Indonesia dapat sepenuhnya terwujud.