Musisi lekat dengan industri hiburan dan musik. Seiring semakin ketatnya persaingan global, musisi harus didukung dengan peningkatan daya saing, salah satunya dengan sertifikasi. Berdasarkan survei ekonomi kreatif Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) – Badan Pusat Statistik (BPS) 2017, musik masuk dalam empat besar subsektor yang tumbuh pesat, yaitu 7,26 persen, berada di urutan kedua setelah desain komunikasi visual (10,26 persen).

Agar sektor musik berkontribusi maksimal, Bekraf ikut mendukung pendirian Lembaga Sertifikasi Profesi Musik Indonesia (LSPMI) yang bertugas mengelola kompetensi musisi. Salah satunya dengan melakukan kegiatan sertifikasi, yang secara perdana dilakukan di Hotel Aston Tropicana Bandung pada 11–13 Mei 2018.

Kegiatan tersebut gratis untuk partisipan karena merupakan bagian dari program prioritas nasional yang dijalankan Bekraf melalui Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan Regulasi (Deputi Fasilitasi HKI). Ini menjadi angin segar bagi para musisi, sebab jika melakukan secara mandiri, uang jutaaan rupiah harus dikeluarkan.

“Dengan mendapatkan sertifikasi ini, salah satu manfaatnya, kompetensi musisi akan diakui secara nasional dan internasional,” ujar Deputi Fasilitasi HKI Bekraf Ari Juliano.

Selain diakui kompetensinya, sertifikasi ini secara tidak langsung meningkatkan pengetahuan dan sikap musisi tersebut. Tidak hanya di bidang musik, tetapi juga industrinya. Tentunya seluruh manfaat yang dirasakan tiap individu kreatif musik ini berdampak langsung dan luas, yaitu peningkatan level kualitas pemusik serta produk musik Indonesia secara keseluruhan yang akan berujung pada manfaat ekonomi bagi industri musik tanah air.

Kebijakan sertifikasi kompetensi ini sudah diterapkan hampir di seluruh negara untuk semua profesi, termasuk musik. Di beberapa negara Eropa, Amerika, Australia, dan Asia, seorang musisi yang akan tampil wajib menunjukkan sertifikat kompetensi. Sekadar catatan, inilah yang banyak membuat musisi Indonesia ditolak tampil di luar negeri karena tidak memiliki sertifikat tersebut. Bimbo, misalnya, sempat dilarang tampil di Belanda karena tidak memiliki sertifikat kompetensi.

“Sertifikasi ini juga penting bagi musisi yang juga bekerja di hotel, restoran, kafe, atau kapal pesiar di luar negeri. Kalaupun di tempat dan situasi tertentu para penyanyi dan musisi yang tidak memiliki sertifikasi diizinkan untuk tampil, biasanya akan mendapat pengurangan honor sehingga jauh lebih rendah daripada SDM yang tersertifikasi kompetensinya,” ujar Ari.

Syarat dan prosedur

Jika ingin mendapatkan sertifikasi, peserta bisa mendaftarkan diri dengan identitas diri yaitu KTP dan CV yang dilengkapi portofolio musik. Kemudian, peserta harus mengisi formulir yang menyatakan kompetensinya. Pilihan bisa pada penyanyi (vocalist) atau pemusik (instrumentalist). Pada kegiatan sertifikasi pertama di Bandung, 11–13 Mei 2018, telah dilakukan uji kompetensi musik untuk gitar, bas, keyboard, dan drum.

Setiap pilihan mempunyai jenjang dari bawah Pratama, Madya, dan Utama.  Asesmen dapat dilaksanakan dengan observasi atau demonstrasi di Tempat Uji Kompetensi atau Tempat Kerja (wajib bagi jenjang pratama) atau melalui penilaian portofolio dan wawancara.  Materi asesmen yang diujikan sesuai dengan skema yang ditetapkan dengan Keputusan Ketua Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) mengacu kepada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang ditetapkan Menteri Tenaga Kerja . SKKNI menjadi standar kompetensi yang berlaku secara nasional.

Agar optimal, Bekraf membatasi 100 orang partisipan per kegiatan sertifikasi. Sebab, proses sertifikasi ini bukan seperti seminar atau pelatihan biasa. Hal ini membutuhkan waktu cukup lama dan proses yang panjang.

“Rencananya, tahun ini akan diadakan 2–3 kegiatan sertifikasi. Setelah di Bandung, kemungkinan akan di Jakarta, lalu Surabaya. Kami juga mengincar kota lain yang potensial, seperti Yogyakarta, Denpasar, Jayapura, dan Ambon,” ujar Ari. [VTO]

Lebih Beradab dengan Orkes Filharmoni

JAKARTA CITY PHILHARMONIC 2018 Edisi #12 berjudul “Tirta, Rabu, 16 Mei 2018 di Teater Jakarta, TIM dengan Pengaba Utama: Budi Utomo Prabowo dan Solis: Eric Awuy, Trompet. Nomor yang ditampilkan seperti SMETANA, Bedřich: Sungai Moldau, ARUTIUNIAN, Alexander, EMBUT, Mochtar: Anak Perahu, DEBUSSY, Claude: Lautan.
(Foto : Eva Tobing)

Moldau, sungai yang melintasi pedesaan Ceko, seolah hadir di Jakarta malam itu, Rabu (16/5). Deru alirannya menyelusup lewat harmoni musik yang dimainkan dengan apik oleh Jakarta City Philharmonic (JCP) di Taman Ismail Marzuki.

“Sungai Moldau” karya Bedrich Smetana menjadi karya pembuka yang ditampilkan dalam konser ke-12 JCP  bertajuk Tirta itu. Sepasang seruling saling berkelindan mengawali karya ini—menggambarkan dua sumber mata air Moldau, yang satu panas dan satu dingin—sebelum musik kian lama kian intens dan kompleks. Terdengar paduan anggun klarinet yang enerjik, alat musik gesek yang mendeskripsikan riak air, juga melodi lantang yang tenteram sekaligus agung.

Selain “Sungai Moldau”, pertunjukan malam itu menampilkan “Konserto untuk Trompet dan Orkestra” karya Alexander Arutiunian, “Anak Perahu” dari Mochtar Embut, dan “Lautan” karya Claude Debussy. Konser bertajuk Tirta ini adalah konser kedua JCP pada 2018 dan yang ke-12 dari seluruh konsernya sejak November 2016. Tema Tirta diangkat sebagai usaha mengartikan air sebagai sumber kehidupan dalam keberlanjutan ekosistem makhluk hidup.

Sejak pertunjukan pertamanya, konser JCP terselenggara dengan dukungan dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Tujuannya, membangun ekosistem yang baik untuk program seni yang berkesinambungan. Dewan Komisaris JCP dan anggota Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Aksan Sjuman mengatakan, orkestra kota penting sebagai identitas budaya sekaligus untuk membangun kota yang lebih beradab. Bagi pemusik sendiri, adanya filharmoni akan memberikan tantangan dan ruang berkarya baru, yang berdampak pada peningkatan kemampuan para musisi.

“Jakarta harus punya elemen-elemen untuk membuat kota ini lebih berbudaya. Masyarakat juga butuh menonton sesuatu yang punya kualitas,” ujar Aksan.

Anto Hoed, Dewan Komisaris JCP dan Ketua Komite Musik DKJ, mengatakan, sebanyak delapan edisi konser JCP akan mewarnai tahun ini. Pertunjukannya akan selalu diadakan di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, yang mampu menampung lebih dari 1.000 penonton. Hal ini diharapkan mempercepat pertumbuhan ekosistem pencinta musik klasik di Ibu Kota. [NOV]

CeBIT 2018, Unjuk Karya Teknologi Anak Bangsa

Sudah saatnya Indonesia unjuk diri melalui produk teknologi. Inilah misi yang diemban oleh para delegasi Indonesia yang tampil di Centrum fur Buroautomation, Informationstechnologie und Telekomunikation (CeBIT) 2018, salah satu event besar dunia pada bidang teknologi di Sydney, Australia, 15–17 Mei 2018.

“Tampil di CeBIT 2018 memberikan kita kesempatan bahwa produk teknologi Indonesia tidak kalah dengan negara besar atau negara yang sudah maju teknologinya,” ujar CEO Jojonomics Indrasto Budisantoso yang dihubungi melalui telepon dari Sydney, Kamis (17/5).

Animo pengunjung pameran ini sangat antusias dengan karya Indonesia yang ditampilkan. Sebab, produk yang ditampilkan di Archipelageek—nama booth Indonesia—menawarkan solusi dari beragam permasalahan. Total ada delapan delegasi yang hadir, yaitu Squline, Medico, 8Villages Indonesia, Nicslab, Yava, Metabuilders (Merakyat.co), Jojonomics, dan Ukirama.

Walaupun tampil dalam paviliun yang sama, setiap delegasi ini memiliki tujuan yang berbeda-beda. Jojonomics, misalnya. Kehadirannya di CeBIT guna mencari reseller atau distributor untuk pasar Australia. Adapun tiga produk yang dihadirkan Jojonomics sangat relevan untuk menjawab kebutuhan manajemen perusahaan yang meliputi manajemen sistem reimbursement secara mobile (Jojo Expense), solusi presensi digital (JojoTimes), dan sistem pengadaan barang atau procurement secara mobile (JojoProcure).

Keberangkatan delegasi Indonesia ke CeBIT 2018 difasilitasi Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Deputi Pemasaran Bekraf Joshua Simandjuntak mengatakan, CeBIT menjadi ajang yang penting bagi para perusahaan rintisan (start up) untuk mengembangkan bisnisnya.

“Lagi pula, dari sisi budaya dan sejarah, Indonesia dengan Australia cukup dekat. Kami memberikan kebebasan kepada mereka soal target yang ingin dicapai. Ada yang mencari local partner, mencari investor, hingga distributor untuk penjualan,” ujar Joshua.

Kalau Jojonomics mencari distributor, Squline punya tujuan mengakses pasar edukasi di Australia, melihat Bahasa Indonesia cukup banyak diajarkan di sekolah Australia. Berbeda lagi dengan Ukirama, platform manajemen keuangan untuk UKM, yang mencari local partner untuk bisa menyesuaikan produknya agar sejalan dengan sistem keuangan di Australia, misalnya sistem pajak. Sementara itu, Medico, platform yang bergerak di bidang sistem kesehatan, tengah mencari rekanan yang bisa membawa investasi guna menyempurnakan produknya agar sesuai dengan pasar Australia.

Kehadiran Indonesia di CeBIT 2018 ini diapresiasi oleh Indrasto, karena semakin baik dari tahun ke tahun. Lokasi booth yang dipilih cukup dekat dengan pintu masuk, desainnya menarik, dan pelayanan Bekraf dalam memfasilitasi sangat profesional. Upaya ini membuat Indonesia bisa direpresentasikan dengan baik.

Setelah CeBIT, pada 18 Mei 2018, Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) juga membantu para delegasi bertemu dengan investor yang sudah diatur jadwalnya oleh pemerintah New South Wales. Joshua berharap, dukungan Bekraf bisa membantu mereka mengembangkan produknya dan mencapai target yang diinginkan.

“Strategi kami untuk mendukung start up itu juga didukung dari kedeputian lain. Strategi pengembangan yang dilakukan Bekraf selama ini masih tetap sama, yaitu mencari dan mempromosikan startup, mengikutsertakan mereka ke program Bekraf yang lain seperti Bekraf Developer Day dan Start Up World Cup. Dari situ, mereka bisa kita fasilitasi untuk kemudian scale up di pasar internasional,” pungkas Joshua. [VTO]

Gaungkan Cerita dari Asia Tenggara

press-conference-ifthen-2018-dok-bekraf
Press Conference IfThen 2018 dok. bekraf

Asia Tenggara adalah lumbung kisah yang menjanjikan cerita berlimpah. Film dokumenter menjadi salah satu cara menggaungkannya. Pekerjaan besar kita saat ini adalah membuat film dokumenter berkualitas, membangun jejaring, dan merancang jalur distribusinya.

Tribeca Film Institute, institusi film Amerika yang didirikan aktor Robert De Niro, mengembangkan program If/Then untuk mendukung para pembuat film dokumenter pendek agar karya mereka dapat bertemu dengan penonton yang tepat di seluruh dunia. Tahun ini, Bekraf bekerja sama dengan In-Docs dan Tribeca Film Institute (TFI) membawa program ini ke Indonesia. Dalam program If/Then, film dokumenter lokal dan Asia Tenggara akan mendapatkan dukungan berupa pelatihan, pendanaan, dan distribusi global.

Direktur If/Then dari TFI Mridu Chandra menyatakan, keinginan Tribeca bekerja sama dengan para penggerak ekonomi kreatif di Indonesia ini dilandasi rasa hormat yang mendalam atas melimpahnya kisah-kisah menyentuh yang belum terceritakan dari kawasan ini. “Program If/Then di luar Amerika baru ada di dua kawasan, yaitu Eropa Timur dan Asia Tenggara. Ini merupakan bukti bahwa ada kebutuhan kolektif dan kapasitas kawasan untuk menciptakan dan mempromosikan cerita-ceritanya,” ujar Mridu.

Direktur Progam In-Docs Amelia Hapsari menambahkan, “Asia Tenggara selama ini sering dianggap sebagai missing voice, tidak begitu terdengar di dunia global. Oleh karena itu, Tribeca ingin mendapatkan cerita-cerita dari Asia Tenggara. Tribeca ingin ada diversifikasi suara atau cerita yang didengar oleh publik Amerika. Kalau mereka tidak mendengar cerita yang beragam, mereka akan mudah menjadi konservatif atau tidak terbuka. Tribeca juga sangat percaya bahwa suara-suara itu lebih baik diceritakan oleh storyteller dari daerah asal.”

Sebanyak 17 film dokumenter pendek dari 5 negara Asia Tenggara, termasuk 9 dari Indonesia, telah terpilih untuk mengikuti lokakarya pengembangan naskah (story development) dari mentor-mentor internasional pada 4–6 Mei di Jakarta. Berikutnya, 7–10 film yang tersaring akan meneruskan proses pengembangan cerita dan mengikuti lokakarya tambahan di Bali pada 2–5 Agustur 2018.

Di akhir program If/Then, 4 film dari Asia Tenggara (2 dari Indonesia) akan mendapatkan hibah produksi masing-masing Rp 100 juta. Selain 4 pemenang hibah dana, 1 film akan memenangi hibah produksi Al Jazeera sekaligus kesempatan ditayangkan di channel ini. Kelima pemenang program ini juga akan mendapat dukungan mentorship dan dipromosikan ke partner-partner distribusi TFI, seperti POV, The Guardian, The New York Times, Netflix, ITVS, iTunes, dan Vimeo.

Upaya untuk mempromosikan film-film dokumenter Indonesia telah lama dilakukan banyak pihak dan organisasi In-Docs adalah salah satu yang paling gencar. Kini, selain memasarkan film-film dokumenter Indonesia di luar negeri, kita masih perlu membenahi banyak hal di dalam negeri.

Membangun penonton adalah tantangan utamanya. Industri film dokumenter dalam negeri baru akan dapat berkelanjutan jika ada penonton yang mendukungnya. Salah satu rencana strategis In-Docs untuk mengupayakan ini adalah masuk lewat sekolah-sekolah agar para siswa akrab dengan film dokumenter dan menyukainya. [NOV]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 19 Mei 2018.