Tak dapat dipungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.

Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.

Menyikapi hal itu, maka baru-baru ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tajuk “Posting Konten? Hargai Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI)”. Webinar yang digelar pada Selasa, 27 Juli 2021 di Kabupaten Tangerang, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Madha Soentoro – Etnomusikolog & Pemerhati Industri Musik Digital, Pradhikna Yunik Nurhayati, SIP, MPA – IAPA, Erista Septianingsih – Kaizen Room dan Meidine Primalia – Kaizen Room.

Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Madha Soentoro membuka webinar dengan mengatakan, pengertian Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) atau Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual.

“Dengan demikian, segala bentuk karya intelektual harus dilindungi secara hukum. Maka, akan tercipta satu atmosfer yang mendorong dan menumbuhkembangkan semangat dalam berkarya dan mencipta,” tuturnya.

Adapun macam-macam HaKI yakni Hak Cipta (Copyright) yang merupakan hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lalu Hak kekayaan industri.

Ia menambahkan, masyarakat kita sangat berlapis-lapis, setiap entitas memiliki corak dan latar belakang masing-masing. Hal ini menimbulkan kebutuhan akan informasi, tontonan, hingga hiburan yang berbeda-beda. Maka, setiap irisan masyarakat akan memiliki pandangan yang bermacam-macam dalam menghargai kreatifitas dan karya orang lain dalam media apapun.

“Kiat menghargai Karya Intelektual di era digital yakni meningkatkan kesadaran positif dan sehat dalam ruang digital, membangun jiwa apresiasi yang tinggi. Sertakan sumber dan referensi yang digunakan dalam setiap postingan. Hindari tindakan pembajakan, atau menikmati karya-karya dari hasil pembajakan dan memberikan saran dan kritik yang membangun terhadap suatu karya,” ujarnya.

Pradhikna Yunik menambahkan, berbagai hak kekayaan intelektual yakni Hak Cipta, Hak Merek dan Indikasi Geografis, dan Hak Paten. “Menghargai Hak Cipta bisa dilakukan dengan sadari, membuat karya butuh usaha, jangan asal comot, ijin dulu. Mencantumkan sumber, hindari barang bajakan/ unduh ilegal,” ungkapnya.

Erista Septianingsih menjelaskan, hak digital adalah hak asasi manusia yang menjamin tiap warga negara untuk mengakses, menggunakan, membuat dan menyebarluaskan media digital. Indikator hak digital mencakup persoalan akses, kebebasan berekspresi, perlindungan atas data privasi dan hak atas kekayaan intelektual di dunia digital.

“HAKI adalah hak eksklusif yang timbul sebagai hasil olah pikir serta kreativitas yang membuahkan produk atau proses yang berguna bagi manusia. Hak yang dimaksud disini adalah hak untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari produk yang dilindungi KI tersebut,” ungkapnya.

Adapun ragam hak digital yakni hak untuk mengakses, hak untuk berekspresi, hak untuk aman. Dampak Rendahnya Pemahaman Nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yakni tidak mampu memahami batasan kebebasan berekspresi dengan perundungan siber, ujaran kebencian, pencemaran nama baik atau provokasi.

Sebagai pembicara terakhir, Meidine Primalia menjelaskan bahwa perlindungan Hak Cipta telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

“Hargai hak cipta orang, jangan asal ambil foto orang lain, jangan ubah atau menghilangkan watermark, foto orang lain, jangan sok menjadi pemilik karya, jangan menyalahgunakan foto orang lain, dan budayakan mencantumkan sumber,” katanya.

Dalam sesi KOL, Karina Basrewan mengatakan, sebagai konten creator beberapa orang mungkin kesal, ketika sudah berkerja keras membuat konten, ada saja orang yang memposting/menshare karya tanpa seijin kita bahkan mengaku bahwa itu kontennya mereka buat sendiri. “Kita sebagai konten creator sudah berkerja keras effort yang banyak karena bikin konten itu tidak mudah,” pesannya.

Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Abdul Haris menanyakan, apa penyebab warganet tidak peduli hak cipta, misalnya menaruh lagu dalam video atau gambar seseorang dalam produk mereka?

“Kita bisa lihat ya karena memang dasarnya tidak tahu. Berarti mereka tidak punya pengetahuan. Solusinya harus dikasih tahu mana hak cipta yang harus dijaga dan mana hak cipta yang harus di hargai. Tetapi yang sulit yang sebenarnya tahu, tetapi tidak peduli karena orang mempunyai berbagai motif,” jawab Pradhikna.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Tangerang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan, jika turut didukung oleh semua pihak.