Dampak budaya digital bisa dua arah: positif dan negatif. Tantangan budaya di era digital salah satunya berkurangnya nilai-nilai budaya Indonesia karena media digital seolah menjadi panggung budaya asing. Kecenderungan terhadap kebebasan berekspresi yang kebablasan juga seringkali berdampak pada berkurangnya toleransi dan penghargaan pada perbedaan. 

Selain itu, sering terjadi juga pelanggaran hak cipta dan karya intelektual dan meningkatnya provokasi yang dapat memecah belahkan bangsa hanya dengan satu unggahan. Padahal kalau dilihat dari segi positifnya, budaya digital terbentuk dari media digital adalah multikulturalisme; pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman dan berbagai macam budaya dan nilai dalam masyarakat.

Menyikapi hal itu, Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital menggelar webinar dengan tajuk “Memahami Multikulturalisme Dalam Ruang Digital”. Webinar yang digelar pada Kamis, 14 Oktober 2021, diikuti oleh sejumlah peserta secara daring. 

Dalam forum tersebut hadir Dewi Rahmawati (Product Manager Localin), Wulan Furrie (Praktisi dan Dosen Manajemen Komunikasi Institut STIAMI), AA Subandoyo (Klipaa.com), Denisa N Salsabila (Kaizen Room), dan Sherrin Tharia (Musisi) selaku narasumber. 

Dewi Rahmawati menyampaikan bahwa untuk mewujudkan internet positif, kita harus selalu waspada akan konten negatif yang sering menjadi pemicu penyebaran kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan. Internet positif merupakan suatu kebijakan dari Kominfo untuk mengendalikan beberapa konten dari website. 

Selain itu, internet positif adalah suatu upaya untuk turut merayakan teknologi, mendukung penghormatan terhadap ilmu pengetahuan, dan dalam rangka terus mendukung semua bentuk kemajuan. Terkait itu, kita dapat meningkatkan kompetensi literasi dari berbagai sumber, serta jangan lupa untuk selalu saring komentar media sosial sebelum sharing atau mem-forward

Follow akun yang berpotensi meningkatkan kualitas diri. Skip atau unfollow saja konten atau akun yang dirasa tidak sesuai dan bahkan dapat membawa dampak buruk. Berkolaborasilah untuk menghasilkan konten positif, bukan menyangkal perbedaan,” terangnya.

Sherrin Tharia selaku narasumber Key Opinion Leader juga menyampaikan bahwa tidak semua yang dilihat di media sosial itu 100 persen asli. Literasi digital itu sangat penting, contohnya kalau kita mem-posting foto selfie dengan caption yang menyinggung maka bisa melukai perasaan orang lain walaupun itu bukan maksud kita. Akibatnya, mereka akan menghujat di kolom komentar. 

Ia menyampaikan bahwa sebaiknya kita unfollow saja orang-orang di media sosial yang kita anggap toxic, dan mulai follow yang bisa meningkatkan motivasi dan membuat kita lebih produktif lagi. Filter utama ada diri kita masing-masing; kalau mau posting kita bisa minta saran dari teman terdekat apakah kontennya aman atau tidak. Ia juga sampaikan bahwa kita harus menyadari bahwa minat dan keunggulan anak-anak berbeda-beda. 

“Anak cepat sekali paham dan belajar. Bisa saja mereka lebih pintar daripada orangtuanya. Oleh karena itu, selama anak-anak di rumah dan khususnya saat menggunakan gawai, harus lebih diawasi lagi,” ujarnya.

Salah satu peserta bernama Adnan Syafi menyampaikan, semakin majunya teknologi informasi menimbulkan munculnya beragam kebudayaan baru dalam aktivitas sosial di masyarakat. Salah satunya, melakukan belanja bulanan untuk kebutuhan hidup melalui e-commerce yang beragam. Jika semakin banyak masyarakat melakukan hal itu akan mengancam eksistensi pemilik usaha konvensional. 

“Apa yang sekiranya bisa dilakukan agar pemilik usaha konvensional keberadaannya tetap eksis? Apakah ia harus mendigitalkan usahanya juga?” tanyanya.

Dewi Rahmawati menjawab, ada pilihan dan ada jalan yang harus dilewati. Kita harus menyadari bahwa ada beberapa dampak dari kemajuan ini, seperti berukurangnya modal untuk SDM, dan fitur iklan yang gratis untuk melakukan promosi. 

“Kita harus mampu mainkan aplikasi dengan effort yang sangat besar. Carilah aplikasi atau platform yang trending, lalu pelajari dan manfaatkan. Marketplace hanyalah sebagai fitur pendamping untuk melakukan penjualan online,” jawabnya.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Selatan. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]