Saat ini, Indonesia dilanda oleh pandemi Covid-19 yang menjadi tantangan terbesar yang dihadapi dunia. Perilaku merokok menjadi salah satu risiko terbesar yang dapat memperparah masalah Covid-19 dikarenakan virus korona menyerang melalui saluran pernafasan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri merilis anjuran pada masyarakat untuk berhenti merokok karena perilaku ini diperkirakan dapat meningkatkan kemungkinan seseorang terkena Covid-19 karena secara konstan menyentuh area mulutnya tanpa menggunakan masker. Merokok juga menjadi kebiasaan yang dapat meningkatkan angka kematian pasien Covid-19.
Meski demikian, belum tampak imbauan yang tegas dari pihak berwenang terkait hubungan bahaya rokok dan Covid-19. Situasi peredaran rokok masih begitu mudah di akses dengan harga yang sangat murah, menjadi dasar alasan utama mengapa rokok masih menjadi barang yang terus menjadi primadona yang mendorong angka penjualan rokok yang terus meningkat. Hingga saat ini, tidak ada regulasi baru, pemerintah masih tetap menggunakan regulasi lama terkait rokok, padahal faktanya di lapangan sebelum pandemi, aturan-aturan tersebut belum cukup kuat untuk mencegah peningkatan angka perokok di Indonesia. Salah satu peraturan pemerintah yang mengatur rokok adalah PP Nomor 109 Tahun 2012 yang melarang penjualan rokok untuk konsumen di bawah 18 tahun. Namun, data Kementerian Kesehatan yang menunjukkan perokok aktif berasal dari kalangan anak-anak usia 10 sampai 18 tahun serta peningkatan usia pertama merokok bahkan muncul pada usia 5 tahun menjadi bukti kegagalan peraturan ini untuk mencegah bahaya bagi anak-anak dan remaja Indonesia.
Berdasarkan tinjauan WHO, butuh upaya komprehensif agar angka perokok menurun. Jika dilihat di berbagai negara di dunia, tren merokok mengalami angka penurunan yang signifikan. Keberhasilan berbagai negara dalam mengendalikan angka perokok ini terjadi akibat adanya WHO Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC) atau konvensi kerangka kerja pengendalian tembakau yang telah disepakati oleh 180 negara di dunia. Hal ini didasarkan pada Global Progress Report WHO tahun 2018 pada implementasi WHO FCTC yang terbukti menurunkan berbagai angka perokok dan mampu secara efektif mengendalikan penggunaan tembakau. Hingga saat ini, Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia dan satu-satunya negara OKI yang tidak menandatangani FCTC dan terbukti masih mengalami masalah berat dengan mengalami kenaikan angka perokok setiap tahun.
Dengan angka pecandu rokok yang tinggi di Indonesia, belum ditemukan pula upaya yang jelas untuk mengatasi kecanduan rokok. Perlu upaya bantuan sistemis dari pemerintah untuk mengatasi memutus mata rantai kecanduan rokok. Berbagai penelitian telah menghubungkan merokok dan gangguan depresi serta menunjukkan bahwa merokok menurunkan kesejahteraan mental seseorang. Oleh karena itu, dalam konteks Covid-19, lingkaran setan adiksi rokok menjadi semakin kuat karena tekanan hidup yang meningkat di masa pandemi. Oleh karena itu, Indonesia masih perlu perjuangan yang keras untuk mengatasi pandemi Covid-19 dengan salah satunya menurunkan angka perokok. WHO (2020) menyatakan jelas hubungan rokok dapat memperparah kondisi pasien sehingga meningkatkan risiko kematian. (Stephani Raihana Hamdan SPsi MPsi Psikolog, Dosen Fakultas Psikologi Unisba dan Psikolog Anak-Remaja)
Mahasiswa adalah amanah bagi kami. 3M: Mujahid, Mujtahid, dan Mujaddid. Situs web: https://www.unisba.ac.id