SEMARANG (30/4/2022)-Dialog bersama Parlemen (Prime Topic) minggu kelima April 2022 kali ini mengangkat tema “Revitalisasi Paham Kebangsaan Generasi Milenial”. Hadir sebagai narasumber dalam dialog ini antara lain Anggota Komisi A DPRD Provinsi Jawa Tengah Drs Stephanus Sukirno MS; Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Jawa Tengah Haerudin SH MH; serta Dosen FISIP Undip Drs Turtiantoro MSi dengan moderator Advianto Prasetyabudi.
Dalam Dialog Parlemen DPRD Provinsi Jawa Tengah yang disiarkan secara langsung dari Petra Room, Noormans Hotel Jalan Teuku Umar 27, Semarang, Jawa Tengah, pada Kamis (28/4/2022) ini, membahas secara tuntas mengenai masalah paham kebangsaan pada generasi milenial di Jawa Tengah.
Menanggapi hal ini, St Sukirno mengingatkan agar jangan pernah lelah menggaungkan semangat kebangsaan. Ia menggambarkan bahwa betapa dulu kita pernah menjadi masyarakat yang kesadaran berbangsanya sangat sempit. Banyaknya kerajaan yang ada di Indonesia membuat hadirnya banyak bangsa di Indonesia. Bahkan, dulu sekitar tahun 1970-an, ia pernah merasakan adanya larangan untuk tidak berpacaran dengan orang Solo karena orangtuanya menganggap Solo bukanlah bangsanya.
Baginya, wawasan kebangsaan yang dimaksud adalah sebuah pikiran dan tindakan yang mengedepankan rasa kebersamaan, toleransi, dan tidak mengedepankan sikap individualistis dalam bernegara. Oleh karena itu, penting sekali memupuk dan menumbuhkan sikap wawasan kebangsaan agar tidak mudah mengontak-kotakkan diri demi kepentingan pribadi atau golongan. Sukirno juga menekankan bahwa kita merupakan satu bangsa dengan orang yang memiliki afiliasi politik berbeda, religi berbeda, dan pandangan politik berbeda.
Sepaham dengan Sukirno, Kepala Badan Kesatuan Kebangsaan Politik (Kesbangpol) Jateng Haerudin mengutarakan bahwa wawasan kebangsaan itu untuk semua. Kita harus melihat bagaimana kaum milenial ini menerapkan wawasan kebangsaan dalam kesehariannya. Bahkan, Haeruding melontarkan bahwa Jawa Tengah memiliki wawasan kebangsaan yang bagus. Hal ini terungkap dalam sebuah survei yang telah dilakukan beberapa waktu lalu, di mana Indeks Bela Negara yang diwakili Semarang mendapatkan nilai tertinggi. Begitu pun dengan Indeks Toleransi yang walaupun masuk ke dalam kategori sedang, tetapi masih lebih tinggi dari Jawa Barat dan Jawa Timur.
Menurut Haerudin, rasa dan paham kebangsaan kaum milenial di Jawa Tengah masih di atas rata-rata. Meski demikian, harus terus diperbaiki karena masih ada ancaman intoleransi, teroris, maupun pengaruh teknologi. Kondisi wawasan kebangsaan kita masih harus diperjuangkan menuju hal-hal positif. Doktrin lebih banyak diperoleh dari media sosial dan komunikasi digital, yang ada ujaran kebencian terhadap penyelenggara negara atau bahkan ada anggapan bahwa negara lain lebih baik dari Indonesia.
Pengaruh teknologi informasi pada paham kebangsaan
Arus teknologi informasi yang meluncur deras tanpa disadari tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga memberikan dampak negatif yang tidak sedikit. Dosen FISIP Undip Turtiantoro juga mengakui bahwa dampak teknologi cukup riskan, yang orang bisa melalukan pelanggaran hukum di mana pun dan kapan pun karena tidak memiliki pemahaman.
Bagi Turliantoro, wawasan kebangsaan itu menyangkut pola pikir atau cara pandang kita. Wawasan kebangsaan kita dari dari semua kalangan baik muda maupun yang sudah berumur sebenarnya masih kokoh. Hanya saja, banyak yang belum paham efek digitalisasi. Oleh karena itu, dalam memberikan pencerahan dalam transaksi elektronik perlu dipertimbangkan dampak negatif yang muncul. Lakukan saring sebelum sharing.
Sukirno menganggapi bahwa sudah sejatinya meneruskan semangat juang para pendahulu pada kaum muda. Oleh karena itu, negara harus melakukan sosialisasi tentang ideologi bangsanya. Merupakan suatu hal terpuji jika seluruh komponen bangsa menularkan semangat bersatu, di antaranya rela berkorban dan bela negara.
Tidak bisa dimungkiri bila arus teknologi informasi sekarang ini dapat menggoyahkan rasa kebangsaan, terutama untuk kalangan milenial. Menanggapi derasnya arus teknologi dan pengaruh negatif dari media digital, Haerudin menyarankan agar wawasan kebangsaan dan nilai-nilai ke-Bhineka Tunggal Ika-an serta nilai-nilai NKRI diterapkan dalam keseharian kita. Kalau wawasan kebangsaan sudah tertanam dalam diri kita, tidak akan terpengaruh oleh hal-hal negatif yang akan mengikisnya.
Oleh karena itu, dalam penyampaian wawasan kebangsaan pada kaum milenial perlu digarisbawahi bahwa hendaklah benar-benar dapat dipahami, diterima sekaligus diterjemahkan melalui laku tindak tanpa harus menambahkan dan mengurangi. [ADV-ANF/ AYA]