Infrastruktur diyakini oleh pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla mampu meningkatkan perekonomian negara dan memeratakan kesejahteraan rakyat. Tak heran, pembangunan infrastruktur pun menjadi fokus utama.

Namun, dengan kemampuan negara saat ini, bisa dikatakan mustahil untuk bisa membiayai semua proyek infrastruktur yang ada. Total investasi untuk mendanai pembangunan infrastruktur 2015–2019 mencapai Rp 4.769 triliun. Sementara itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya mampu memenuhi 41,3 persen atau Rp 1.969,6 triliun dari total pendanaan tersebut.

“Kalau kita ingin jadi negara maju lebih cepat, dibutuhkan kelengkapan dan input yang memadai, antara lain kapital, SDM, dan lahan. Kapital memang penting, tapi tidak serta-merta bisa optimal mendorong perekonomian jika tidak ada lingkungan yang mendukung. Salah satu faktor lingkungan itu adalah infrastruktur,” ujar Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro pada acara PINA Day 2018 di Jakarta, Kamis (18/1).

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro.(Foto-foto : Iklan Kompas/Egbert Siagian)

Oleh karena itu, Bambang menambahkan, pemerintah menghadirkan skema pendanaan alternatif dengan menggunakan pendekatan creative financing bernama Pembiayaan Investasi Non-Anggaran Pemerintah (PINA), yang dibutuhkan untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dalam penyediaan infrastruktur.

Data The World Bank (2015) dan McKinsey (2013) menyebutkan, sebelum krisis moneter 1998, stok infrastruktur Indonesia sebesar 49 persen. Saat krisis menerpa hingga 2012, stok infrastruktur Indonesia hanya sebesar 38 persen. Padahal, rata-rata standar global, stok infrastruktur sebuah negara idealnya berada pada angka 70 persen. Kurangnya stok infrastruktur mengakibatkan daya saing menurun dan pertumbuhan ekonomi terhambat.

BUMN Indonesia pun tidak cukup untuk menuntaskan pembiayaan infrastruktur tersebut. Menurut perhitungan pemerintah, BUMN hanya mampu berkontribusi sebesar 22,2 persen atau Rp 1.058,7 triliun. Oleh karena itu, partisipasi sektor swasta diharapkan mampu menutup kekurangan sebesar 36,5 persen.

“Skema pembiayaan ini sudah digunakan oleh negara lain, seperti China, Kanada, dan Australia. Ambil contoh lainnya seperti Turki yang membangun bandara internasionalnya tanpa menggunakan APBN. Bahkan, mereka sudah berencana untuk membangun bandara baru yang direncanakan akan menjadi bandara terbesar di dunia. Semuanya ditargetkan tanpa menggunakan APBN. Nah, kalau mereka bisa, kenapa Indonesia tidak bisa?” ujar Bambang.

Peran PINA

PINA tidak hanya berperan sebagai unit di Bappenas yang melakukan fasilitasi pembiayaan investasi, tetapi diharapkan mampu memberikan informasi-informasi penting terkait proyek menarik yang dapat dijadikan tempat investasi. Hal ini dikatakan oleh CEO PINA Ekoputro Adijayanto di Jakarta, Rabu (17/1).

“Paling tidak, dengan adanya PINA, kita sudah bisa menceritakan proyek-proyek mana yang menarik bagi investor untuk berinvestasi. Tak hanya investor dalam negeri, tetapi juga luar negeri,” ujarnya.

PINA memiliki tiga peran pokok terhadap iklim investasi. Pertama sebagai fasilitator, yakni memfasilitasi investor dengan investee. Kedua menjadi pipeline dengan menyusun proyek-proyek mana yang feasible dan bankable yang ditandai dengan IRR (internal rate of return) di atas 13 persen. Ketiga, membangun ekosistem dengan cara berpromosi.

Tak kalah penting, PINA memiliki peran sosialisasi dan koordinasi dengan banyak pihak. Hal tersebut diwujudkan dalam sejumlah kegiatan seperti forum sosialisasi yang melibatkan para pemangku kepentingan. Secara berkelanjutan juga terus berkoordinasi dengan berbagai asosiasi terkait yang berpotensi menjadi investee atau investor.

“Investor swasta terkadang tidak tahu proyek mana yang siap, feasible, dan bankable, karena mendapatkan proyek yang seperti itu tidaklah mudah. Dengan adanya PINA, mereka dapat menemukan proyek-proyek yang sesuai dengan harapan,” ujarnya.

Eko menjelaskan, peran dan fungsi PINA juga terus diperkuat dengan secara berkala melakukan penelitian dan kajian terkait pendanaan investasi. PINA juga mendorong terciptanya perbaikan tata kelola dan regulasi, yakni dengan mengembangkan rencana strategis dan pedoman tata kelola yang baik.

Saat ini, Eko menjelaskan, ada 34 proyek senilai Rp 348 triliun yang siap dibiayai melalui PINA, mulai dari jalan tol hingga bandara. Untuk meyakinkan investor luar, PINA terus melakukan pendekatan ke pihak-pihak otoritas moneter. Kerja sama dengan sekuritas-sekuritas lokal dan perbankan Indonesia juga dilakukan guna menyikapi cross currency investment.

Memang, saat ini, pembangunan infrastruktur masih didominasi pemerintah. Hadirnya PINA diharapkan bisa menjadi katalis untuk mendorong pihak swasta dapat masuk ke dalam investasi pembangunan infrastruktur sehingga iklim investasi bisa optimal. “Karena infrastruktur tidak hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga swasta,” tegas Eko.

Negara-negara yang memiliki ketertarikan kuat terhadap investasi di Indonesia di antaranya Korea Selatan, Kanada, Jepang, China, Singapura, dan Australia. Negara-negara tersebut telah memilih jenis investasi yang dianggap cocok dan menguntungkan banyak pihak. Misalnya, Australia yang fokus terhadap pariwisata di Labuan Bajo. Sementara itu, Jepang berminat berinvestasi pada pembangunan jalan tol dan bandara.

Agar lebih fleksibel bergerak, PINA menggandeng Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Harapannya, OJK bisa membuat peraturan yang lebih fleksibel dan mengeluarkan instrumen investasi baru, terutama kaitannya dengan pembiayaan infrastruktur.

“Kami akan terus berusaha agar suku bunga bisa terus ditekan agar arus investasi bisa mengalir dan terus bertambah. Harapannya, investor domestik tertarik untuk menanamkan investasinya di sektor infrastruktur atau instrumen investasi lainnya,” ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso.

OJK juga mendorong lebih banyak investor swasta untuk masuk ke pasar modal. Saat ini, sudah ada enam skema sumber pendanaan alternatif. Obligasi daerah, green bonds, perpetual bonds, dana investasi infrastruktur, efek beragun aset, dan Tabungan Perumahan Rakyat adalah beberapa alternatif sumber pendanaan. Beberapa sumber pendanaan alternatif ini merupakan cara OJK untuk mewujudkan konsep pembiayaan ekuitas. Sebab, dalam pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan adalah pembiayaan ekuitas.

Dalam PINA Day 2018, selain menghadirkan Menteri PPN/Bappenas Bambang Brodjonegoro dan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso sebagai pembicara, ada juga dialog bertajuk “Pembiayaan Proyek Infrastruktur dan Struktur Kerjasama PINA”. Selain itu, juga sosialisasi Peraturan OJK nomor 1/2016 dan POJK Nomor 56/2017 kepada dana pensiun dan perusahaan asuransi.

Di PINA Day 2018 ini yang sangat menarik adalah bukan sekadar ajang promosi mengenalkan PINA, tetapi juga “deal business” serius investor dan investee yang melibatkan sejumlah lembaga investasi besar dalam dan luar negeri serta pemilik proyek infrastruktur dan industri. [VTO/BYU]

 

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 24 Januari 2018