Promosi Indonesia untuk sukses menjadi market focus London Book Fair (LBF) 2019 sudah dimulai. Tahun ini, tepatnya pada 10–12 April 2018, Indonesia mengawali debutnya sebagai peserta LBF dan mendapatkan banyak respons positif.
Hal tersebut terlihat dengan terbelinya hak cipta 14 judul buku dari 300 judul yang dibawa saat pameran. Negara yang membeli adalah China (10 judul), Inggris (1 judul), Perancis (2 judul), dan Amerika Serikat (1 judul).
Kepala Bidang Pemasaran di Komite Pelaksana Indonesia Market Focus LBF 2019 Thomas Nung Atasana memperkirakan, total nilai dari 14 judul yang terjual hak ciptanya tersebut mencapai 113.625 dollar Amerika Serikat. Dia menambahkan, nilai perkiraan ini belum termasuk tambahan 6 judul lagi yang terjual setelah pameran selesai.
“Bisa saja ada lebih banyak lagi yang terbeli setelah pameran, tetapi belum ada laporan lagi. Sebab, dari 300-an judul yang dibawa, ada sekitar 135 judul yang diminati. Jadi, kemungkinan jumlah pembelian itu bertambah bisa terjadi,” ujarnya.
Kiprah perdana Indonesia di LBF itu pun bisa dikatakan cukup bagus. Ketua Harian Komite Pelaksana Indonesia Market Focus LBF 2019 Laura Prinsloo menyebut, penjualan hingga 20 judul buku dari LBF sudah bagus.
“Mencapai signing on the spot itu luar biasa karena tidak mudah. Sebab, untuk menerbitkan satu judul buku, itu modalnya sangat besar. Berarti, mereka yakin dengan kualitas buku Indonesia,” ujar perempuan yang juga menjabat sebagai Ketua Komite Buku Nasional (KBN).
Terus berpromosi
Kehadiran Indonesia di LBF 2018 merupakan rangkaian kontrak tiga tahun kala ditetapkan menjadi market focus LBF 2019 pada tahun lalu. Untuk menjadi market focus, Indonesia harus menandatangani komitmen hadir selama tiga tahun berturut-turut. Penandatanganan kesepakatan ini dilakukan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) pada 2017.
“LBF memang membuka peluang untuk memperluas pasar jual beli hak cipta buku. Karena LBF menjadi pusatnya buku berbahasa Inggris dan memang dikhususkan untuk segmen business to business.
Melihat potensinya yang besar itu, kami bekerja sama dengan Kemendikbud, dalam hal ini diwakili IKAPI dan KBN, mengadakan beragam acara sebagai bagian dari promosi menuju LBF 2019,” ujar Direktur Pengembangan Pasar Luar Negeri Bekraf Bonifasius Pudjianto Terkait banyaknya acara untuk promosi, hal ini dibenarkan oleh Laura. Kegiatan promosi sudah berlangsung sejak Maret 2018. “Pada Mei lalu, kami mengundang 6 penerbit UK untuk dikenalkan kepada para penulis Indonesia. Di situ, kami adakan juga business matchmaking. Ke-6 penerbit itu juga kami bawa ke Makassar International Writer Festival. Kebetulan, beberapa dari mereka juga suka mengadakan festival literasi internasional di Inggris. Dari sini, kami berharap bisa terjadi kolaborasi setelah mereka melihat festival literasi di Makassar,” ujarnya.
Menyambut Hari Aksara Nasional pada 8 September mendatang, festival literasi bertajuk LitBeat akan digelar pada 10–11 September 2018 di Perpustakaan Nasional, Jakarta. Festival ini akan mengangkat banyak tema, tidak hanya soal perbukuan, tetapi juga sampai ke transformasi ke bidang film, musik, dan lainnya. Akan ada 59 pembicara dengan 30 kelas yang bisa diikuti peserta.
Para pembicaranya datang dari berbagai negara, antara lain Inggris, Jepang, Malaysia, Turki, dan Jerman. Sedangkan dari Indonesia akan ada pembicara seperti Rhenald Kasali, Ika Natassa, Joko Pinurbo, Yusi Avianto Pareanom, Oppie Andaresta, dan masih banyak lagi.
Pada Oktober 2018, Indonesia akan mengundang sejumlah pembicara dari Inggris untuk hadir ke beberapa acara di Indonesia, seperti Ubud Writers and Readers Festival, Wallacea, dan Indonesia Kontemporer.
Rebranding booth untuk mempromosikan diri sebagai market focus LBF 2019 akan dilakukan pada keikutsertaan Indonesia di Frankfurt Book Fair (FBF) dan Sharjah International Book Fair (pameran buku terbesar untuk Timur Tengah). Bekraf pun sudah mengalokasikan 10 travel grants untuk 10 co-exhibitor ke FBF dan 5 penerbit ke Sharjah.
“Kegiatan promosi juga berlangsung di Inggris sendiri. Kami bekerja sama dengan British Council, mengadakan acara publishing dan translation forum di London pada 19 November mendatang. Di acara ini, penerbit UK, media UK, bloger, dan semua stakeholder yang ingin tahu tentang dunia penerbitan dan literatur Indonesia diundang. Semua berusaha agar saat LBF 2019 nanti bisa sukses,” ujar Laura.
Domestik diperkuat
Promosi dalam bentuk pameran pun dilakukan melalui Indonesia International Book Fair (IIBF) 2018 pada 12–16 September 2018 di JCC, Jakarta. Dikatakan oleh Ketua IKAPI Rosidayati Rozalina, IIBF 2018 masih melanjutkan targetnya, yaitu menjadi hub transaksi hak cipta di tingkat Asia Tenggara.
“Selain itu, IIBF tahun ini juga menjadi momen yang tepat untuk mempromosikan kehadiran Indonesia sebagai Market Focus LBF 2019,” kata Rosidayati.
Tahun ini, IIBF 2018 tetap menghadirkan para penerbit lokal, penerbit asing, dan perpustakaan-perpustakaan. Jumpa penulis, peluncuran buku, seminar, atau talkshow, dan business matchmaking tetap akan dilangsungkan. Bahkan, ada juga grand prize haji dari Kerajaan Arab Saudi untuk pengunjung pameran. Hal yang baru adalah Zona Kalap, yakni penjualan buku dengan diskon tinggi.
Penerbit asing yang hadir di IIBF kali ini juga semakin banyak. Negara tersebut antara lain Malaysia, Singapura, Thailand, Jepang, Korea Selatan, China termasuk Taiwan, India, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, Tunisia, Maroko, Turki, Jerman, Inggris, dan Australia. Sejumlah penerbit dari berbagai negara hadir tergabung dalam stan buku impor (buku dalam bahasa asing).
Rosidayati mengatakan, dalam konsep business to business di IIBF, yang akan dikembangkan adalah transaksi hak cipta dalam konteks jual-beli. Kehadiran berbagai negara di IIBF tidak hanya menjadi ajang bagi penerbit Indonesia untuk menjual rights buku atau IP product ke penerbit dan lembaga mancanegara, tetapi juga membantu para penerbit dalam negeri untuk mendapatkan rights dari penerbit luar negeri.
“Karena, tidak bisa dimungkiri, jumlah buku terjemahan yang diterbitkan oleh penerbit Indonesia masih cukup tinggi. Dengan menghadirkan banyak penerbit asing, para penerbit dalam negeri bisa membeli rights dengan biaya yang lebih ekonomis dari pada mengunjungi pameran di luar negeri dengan biaya yang cukup besar,” ujar Rosidayati. [VTO]
Acuan Desain yang Selaras Zaman
Dalam waktu dekat, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) akan meluncurkan Indonesia Trend Forecasting (ITF) 2019/2020. ITF 2019/2020 diharapkan dapat menjadi acuan berkarya bagi pelaku ekonomi kreatif pada subsektor mode, desain interior, desain produk, dan kriya.
Deputi Riset, Edukasi, dan Pengembangan Bekraf Boy Berawi menjelaskan, riset pembacaan tren ini berangkat dari masalah ketika mayoritas pelaku ekonomi kreatif, khususnya para desainer di Indonesia, selalu mengacu pada tren dari luar negeri sebagai referensi. Akibatnya, desain, pewarnaan, serta material yang dihasilkan kurang menonjolkan ciri khas Indonesia. Untuk itu, riset ini disusun sebagai acuan guna menggambarkan tren global yang dapat dikemas dengan keunikan ragam desain Indonesia.
Sebelumnya, Bekraf telah meluncurkan ITF 2017/2018 dengan tema Greyzone. Setelah dievaluasi, adanya ITF memberi pengaruh positif pada dunia desain. Produk kreatif yang dirancang berdasarkan riset tren ini dianggap lebih menarik dan tidak monoton. Hasil riset yang lalu juga telah banyak digunakan sebagai bahan ajar di beberapa sekolah dan universitas. Tahun ini, pengembangan lebih jauh dari sisi sosialisasi dan upaya implementasi akan kian digencarkan.
Membaca gerak zaman
Riset trend forecasting ini disusun dengan kombinasi metode kualitatif dan kuantitatif. Alurnya secara garis besar, penelitian ini diawali dengan studi literatur tentang fenomena-fenomena global di seluruh dunia. Setelah itu, dipilihlah kata kunci yang diprediksi akan memberikan dampak pada perubahan pola pikir dan pada akhirnya mempengaruhi perkembangan tren. Kata kunci kemudian diuji dengan menggunakan mesin crawling. Kata kunci yang terpilih lantas diidentifikasi sebagai fenomena penggerak tren (trend driver).
Penggerak tren tersebut lalu diturunkan menjadi empat tema tren utama yang selanjutnya digunakan untuk mendefinisikan cerita, konsep, bentuk, warna, dan bahan. Setelah itu, dilakukan pengintegrasian konsep tema tren dengan empat subsektor desain, yaitu fashion, kriya, desain produk, dan desain interior.
ITF 2019/2020 mengangkat tema besar Singularity. Tema ini erat kaitannya dengan perubahan zaman. Pakar tren sekaligus koordinator ITF Dina Midiani mengatakan, tema ini ingin menggambarkan suatu keadaan yang mengindikasikan beragam pergeseran teknologi dan sikap-sikap yang menyertainya; situasi yang gambaran ke depannya masih kita raba. Di dalam konsep Singularity, ada unsur pertanyaan, kekhawatiran, optimisme, serta harapan akan apa yang terjadi di masa depan.
Tema ini diturunkan ke dalam empat tren utama, yaitu Exuberant, Neo Medieval, Svarga, dan Cortex. Exuberant mewakili sikap optimistis dan antusias dalam memandang kecerdasan buatan (AI), sekaligus perasaan santai karena kesadaran bahwa hal ini sudah menyentuh keseharian. Dalam pengaplikasiannya, produk-produk dalam tema ini menunjukkan keceriaan dan optimisme lewat permainan warna yang colourful, dengan unsur seni urban atau yang berbau futuristis.
Neo Medieval mencerminkan sikap khawatir akan kemungkinan di masa depan, yang memicu timbulnya “benteng pertahanan”. Pandangan akan “benteng pertahanan” ini membangkitkan romantisme dalam sejarah, di mana tema abad pertengahan menyatu dengan kemajuan teknologi. Secara visual, tema ini memunculkan kesan gaya khas pejuang, futuristik, kuat, tegas, dan elegan dengan palet warna-warna yang netral dan membumi.
Svarga melihat sisi kemanusiaan dari kecerdasan buatan, yaitu jembatan dari beragam perbedaan tampilan untuk menjadi satu harmoni. Keterbukaan ini menciptakan multikulturasi. Desain-desain dalam tema ini memperlihatkan tabrak corak yang tetap memperhatikan keseimbangan antara satu dengan yang lainnya.
Cortex merupakan paradoks kecerdasan buatan di era evolusi digital, ketika digitalisasi membaur dengan seluruh aspek kehidupan manusia. Kecerdasan buatan dipandang sebagai neokorteks eksternal yang membantu manusia dalam proses riset desain, yang berujung pada inovasi. Inovasi material dengan bantuan teknologi itu mewarnai tema ini. Bentuk abstrak terstruktur, tidak terduga, fleksibel, dan dinamis dalam siluet maupun tekstur menjadi poin utama tema ini.
Ciptakan wadah
Bekraf bersama tim ITF menyiapkan beragam cara untuk menyosialisasikan ITF 2019/2020. Seperti tahun lalu, berbagai seminar dan lokakarya bagi pelaku kreatid di bidang desain dilakukan. Cakupan daerahnya pun diperluas. Bekraf juga telah mempersiapkan sebuah portal yang akan memuat hasil riset trend forecasting ini, yang diharapkan mampu menjangkau lebih banyak pelaku kreatif.
“Fungsi portal ini adalah membentuk wadah atau komunitas bagi para pelaku kreatif dan masyarakat umum yang tertarik pada perkembangan tren di masa depan. Para desainer, pelaku kreatif, maupun konsumen dapat memanfaatkan portal ini untuk mengakses informasi mengenai tren dengan lebih mudah. Di samping itu, portal ini juga memungkinkan adanya diskusi antarsesama pelaku kreatif dalam komunitas berdasarkan subsektor yang diminati,” ujar Boy.
ITF 2019/2020 sekaligus portalnya akan diluncurkan pertengahan September ini. Menjadi amunisi bagi subsektor desain di Indonesia untuk meningkatkan daya saing ke depannya. [NOV]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 1 September 2018.