Pengetahuan bukanlah sesuatu yang berada di menara gading dan sulit digapai. Pengetahuan berada dekat dengan kita, tak mengenal sekat, dan bisa kita rengkuh. Lebih dari itu, konkret dan membuat kian berdaya.
Di Indonesia, banyak orang masih berupaya memenuhi standar minimal untuk hidup sejahtera. Salah satu isunya, tingkat pendidikan yang rendah. Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia 2018 adalah 31 persen. Artinya, hampir 70 persen penduduk pada usia kuliah (18–23 tahun) tidak mengenyam pendidikan tinggi. Pendidikan formal terakhir sebagian besar masyarakat Indonesia sampai di jenjang SD, SMP, SMA, dan bahkan sebagian lagi tidak sempat mencecap sekolah.
Terkait hal tersebut, Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando mengatakan, bangku terakhir bagi semua orang yang sudah putus sekolah adalah perpustakaan umum. Perpustakaan menyediakan buku-buku ilmu terapan yang bisa dijadikan bekal untuk meningkatkan kesejahteraan. Dengan adanya fasilitas seperti ruangan dan komputer dengan akses internet, perpustakaan juga bisa dimaksimalkan sebagai ruang belajar, berbagi, dan berketerampilan bagi masyarakat sekitar. Seperti dikatakan Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Woro Titi Haryanti, perpustakaan dapat menjadi hub atau pusat untuk berbagai kegiatan kolaboratif.
Jika masalah kita adalah rendahnya tingkat pendidikan formal, kita juga harus berani keluar dari anggapan bahwa pendidikan hanya bisa didapatkan lewat jalur formal. “Yang paling pokok adalah mengubah paradigma atau cara berpikir lama. Ada banyak cara untuk meningkatkan literasi dan membuat orang menjadi profesional dalam bidang tertentu,” jelas Syarif.
Literasi terbukti menjadi sarana ampuh untuk pemberdayaan. UNESCO pun menyerukan pemanfaatan perpustakaan untuk mendukung upaya literasi nasional. Didasari pemikiran tersebut, pemerintah membentuk program transformasi berbasis inklusi sosial lewat perpustakaan. Program yang mengambil tema “Literasi untuk Kesejahteraan” ini sudah menjadi program nasional yang bertujuan meningkatkan perekonomian rakyat melalui penguatan literasi.
Program ini telah mencakup 59 perpustakaan tingkat kabupaten dan 300 perpustakaan desa di 21 provinsi. Perpustakaan-perpustakaan yang sudah menjalankan program ini diharapkan menjadi stimulan, menularkannya ke perpustakaan lain sehingga gerakan ini merata di seluruh Indonesia.
Saat ini, sudah ada 156 staf perpustakaan daerah dan provinsi yang dilatih menjadi fasilitator untuk mereplikasi program di 300 perpustakaan desa. Sebanyak 900 pengelola perpustakaan juga dilatih untuk mengembangkan perpustakaan berbasis sosial, termasuk pengetahuan dan keterampilan penggunaan komputer dan internet dasar.
Pengetahuan kontekstual
Program “Literasi untuk Kesejahteraan” telah mengadakan 3.088 kegiatan dan diikuti 108.474 anggota masyarakat. Bentuk programnya antara lain pelatihan mengakses informasi lewat internet, pelatihan keterampilan tertentu, sampai pendampingan. Untuk menjalankan program ini, perpustakaan bekerja sama pula dengan banyak pihak, antara lain Disperindag, LSM, pemerintah daerah, dan pihak swasta.
Ada banyak cerita tentang bagaimana seseorang bisa menjadi lebih sejahtera dengan membuka diri terhadap pengetahuan dan meningkatkan literasinya. Puji Rahayu, misalnya. Ibu rumah tangga ini suatu kali mengikuti pelatihan pembuatan keripik kentang di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Aceh Tengah. Setelah selesai pelatihan, ia praktik mengolah keripik kentang di rumahnya. Kentang memang tumbuh subur di desanya, dan karena itu sangat mudah diperoleh dengan harga dan kualitas yang baik. Dengan membaca buku soal pengolahan makanan yang ada di perpustakaan, Puji lalu membumbui keripik buatannya dengan bermacam rasa.
“Usaha ini menambah pemasukan keluarga yang selama ini bergantung pada suami saya yang bekerja sebagai petani kopi. Penghasilan tambahan sekarang rata-rata Rp 2,7 juta per bulan,” tutur Puji.
Di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, seorang pemuda bernama Joni mengembangkan hobinya membuat kerajinan ukir-ukiran. Kadang, ia juga memanfaatkan kayu limbah untuk karyanya ini.
“Untuk menambah inovasi karya saya, saya juga sering membaca buku dan informasi dari internet di perpustakaan desa tentang membuat kerajinan ukir dari kayu,” ujar Joni. Karya ukiran Joni dijual dengan harga Rp 50 ribu sampai Rp 400 ribu. Nilai tambahnya kira-kira tiga kali lipat modal awalnya.
Perpustakaan yang ada di masing-masing daerah memang menjadi sarana yang jitu untuk pemberdayaan. Alasannya, program dan koleksi perpustakaan bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi daerah. Pengetahuan yang kontekstual seperti inilah yang bisa langsung dimanfaatkan dan berdampak bagi masyarakat. [NOV]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 15 Oktober 2019.