Berbagai hal dilakukan pemerintah untuk terus melestarikan seni dan budaya Indonesia. Salah satunya melalui program Gerakan Seniman Masuk Sekolah (GSMS). Melalui program ini, seniman bisa langsung datang berinteraksi dengan siswa di sekolah.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Hilmar Farid saat ditemui pada Kamis (3/5) menuturkan, GSMS bertujuan menjawab pertanyaan tentang akses sekolah yang belum memiliki guru kesenian.

“Daripada menunggu jumlah guru di bidang kesenian meningkat, pemerintah berinisiatif mengisi kekurangan tersebut dengan mendelegasikan seniman masuk sekolah. Kata kuncinya yaitu memperluas akses anak-anak terhadap kesenian,” ungkap Hilmar.

Program GSMS ini diharapkan bisa menjangkau untuk daerah-daerah yang termasuk daerah 3 T (tertinggal, terluar, dan terdepan).  Sebagai sebuah model di tingkat nasional, kegiatan ini diharapkan bisa diadopsi oleh pemerintah daerah.

Pola program

Program GSMS dijalankan sebagai pelajaran ekstrakurikuler. Artinya, seniman mengenalkan dan mengajarkan seni kreasi ataupun tradisi sesuai bidangnya (tari, musik, teater, seni sastra, seni rupa, dan seni media baru) kepada para siswa di waktu yang telah terjadwal di luar jam sekolah.

Kegiatan ini melibatkan para seniman daerah yang memiliki kompetensi di bidang kesenian kepada para siswa.  Program berlangsung selama 4 bulan, terbagi menjadi 27 kali pertemuan dengan materi ajar yang sebelumnya telah disusun oleh seniman. Kegiatan ini memberikan peluang dan kesempatan kepada seniman dan sekolah bersinergi untuk memberikan pembelajaran seni budaya di sekolah (SD, SMP, SMA/SMK).

Pada akhir program, keseluruhan materi yang telah diberikan oleh seniman dipresentasikan melalui pementasan pertunjukan atau pameran hasil belajar para peserta didik.  Hal ini untuk memberikan ruang dan kesempatan berkreasi dan apresiasi kepada peserta.

“Karena seniman terjun di sekolah yang umum, diharapkan anak-anak bisa lebih mampu  mengekspresikan diri mereka secara artistik dengan menggunakan bahasa kesenian,” tambah Hilmar.

Kriteria seniman

Kriteria para seniman yang akan didelegasikan ke sekolah melalui beberapa pertimbangan kriteria. Pertama, berpegang pada aspek paling mendasar dari kesenian itu sendiri. Dengan berpegang pada aspek substansial, proses pengajaran dapat dilakukan secara lebih luwes dan dinamis, tetapi mengenai sasaran.

Kedua, bahan ajar diupayakan menggunakan kesenian yang hidup di tempat masing-masing. Selain mengenalkan dan mempraktikkan kesenian daerah tersebut, siswa juga bisa memahami dirinya sendiri dan orang lain melalui kesenian tersebut.

Ketiga, dalam proses belajar-mengajar, seniman dapat menerapkan pendekatan atau metode yang berbeda-beda. Namun, secara umum, tetap mengacu pada prinsip dasar yang sama yaitu proses kreatif sebagai kegiatan eksplorasi yang menyenangkan.

Keempat, seniman pengajar dapat mendorong siswa agar dapat mengapresiasi seni dengan cara yang lebih baik. Kelima, seniman pengajar harus dapat membuat kisi-kisi yang memuat materi ajar sesuai dengan waktu, intensitas pertemuan, dan kemampuan siswa secara umum.

Berkesinambungan

Kegiatan yang pertama kalinya dilaksanakan pada tahun anggaran 2016 ini akan dilaksanakan secara berkesinambungan dengan pengembangan-pengembangan secara teknis mengikuti perkembangan pendidikan.

Tahun 2016 GSMS melibatkan 7 provinsi, yaitu NTB, NTT, Bali, Papua, Jatim, Jambi, dan Aceh. Tahun 2017, program GSMS telah dilaksanakan di 26 provinsi di Indonesia.  Sebanyak 8 provinsi tidak dapat mengikuti program GSMS (Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Yogyakarta, Bali, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua Barat) dikarenakan provinsi-provinsi tersebut terlambat memberikan respons akan adanya program GSMS.

Pelaksanaan GSMS tahun 2018 direncanakan akan melibatkan 1.320 seniman yang akan diutus ke 1.320 sekolah di 29 provinsi di Indonesia. Satu orang seniman akan mengajar 20 siswa, jadi keseluruhan akan ada 26.400 siswa yang akan terlibat.

Titik berat program ini adalah mengajarkan kesenian kepada siswa tidak sekadar untuk mengenali proses kreatif dalam seni itu sendiri, tetapi juga menjadikan kesenian sebagai wahana penguatan karakter melalui pemahaman dan penyerapan nilai-nilai positif. [*/INO]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 8 Mei 2018